Bismillaah, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim
Sebuah Renungan:
LAYAKKAH TASAWUF UNTUK KITA ?
Antara Sufi dan Orang Sesat
Semula saya menyangka bahwa tasawuf itu adalah ajaran Islam yang
khusus untuk orang-orang tertentu saja. Sebab menurut cerita yang sampai
di telinga saya, kebanyakan para Sufi, yaitu orang-orang yang mengamalkan
ajaran tasawuf itu, selalu memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak
dimiliki orang-orang Islam awam. Mereka, misalnya bisa berjalan di atas
air; bisa memanggil hujan; bisa mengobati orang sakit dengan hanya air
putih saja; bisa menjinakkan binatang liar dan macam-macam lainnya.
Informasi lainnya, mengabarkan bahwa “Hati-hati belajar tasawuf, kalau
tidak kuat nanti bisa gila!”.
Ternyata kondisi ini masih tetap ada di masyarakat kita saat ini.
Buktinya, masih banyak orang memandang dengan sebelah mata apa yang
sedang kita bicarakan ini tasawuf ! Karena “bisa bikin gila” ini,
orang masih suka memandang bahwa tasawuf adalah ajaran sesat. Sebab
banyak juga orang-orang sesat yang punya kemampuan mirip dengan kemampuan
yang dimiliki oleh orang-orang tasawuf itu. Bisa terbang, bisa berjalan
di atas air, bisa mendatangkan hujan, bisa mendatangkan angin, dan lain
sebagainya. Pokoknya hal-hal yang “sakti” yang dapat dilakukan oleh orang
tasawuf, dapat dilakukan juga oleh orang jahat yang sesat.
Malah ada selentingan lain bahwa kalau orang jahat yang sesat itu tidak
pernah melakukan shalat, orang sufi pun shalatnya berbeda dengan orang
biasa. Sepertinya mereka ini memang tidak ada bedanya. Sama-sama tidak
sama dengan orang awam ! Mereka memang berbeda dengan orang awam.
“Hati-hatilah dengan orang sufi atau orang sesat !”, begitu cibiran di
belakang oleh orang-orang awam, bila berbicara tentang tasawuf. Benarkah
para sufi ini memang sesat dari ajaran Islam ?
Kehidupan Para Sufi
Istilah tasawuf memang tidak ditemukan di dalam hadits-hadits Nabi
Muhammad (SAW). Artinya, nabi Muhammad, memang tidak pernah mengajarkan
tasawuf kepada umatnya. Jika kemudian ada orang mengatakan bahwa tasawuf
itu adalah bid’ah (mengada-adakan yang tidak diajarkan oleh nabi),
mungkin ada benarnya juga. Seperti halnya Al-Qur’an, kata seorang teman
alumni IAIN adalah sebuah “bid’ah hasanah”, demikian juga dengan catatan
hadits Nabi semuanya tidak disuruh oleh Nabi Muhammad (SAW) semasa
hidupnya. Kemudian, dari adanya Kitab Al-Qur’an dan Kitab Hadits itu,
muncul pula Kitab Tasawuf, yang ditulis oleh orang setelah generasi
Sahabat. Maka muncullah istilah “ajaran tasawuf” itu, jauh setelah
meninggalnya Nabi Muhammad (SAW).
Dari beberapa buku (di antaranya adalah karangan Prof. Dr. H. Ahmadi Isa
MA; juga Syech Abdul Mun’im Qindil; juga MB. Rahimsyah AR; juga Abu
Khalid MA dan lain-lain) yang menceritakan tentang kehidupan para tokoh
sufi dan para sahabat Nabi di zaman dahulu, saya tidak menemukan sama
sekali bahwa para sufi itu adalah orang sesat seperti yang difahami oleh
masyarakat awam saat ini. Malah banyak juga saya temukan, orang yang
tadinya sesat berubah menjadi orang yang taat setaat-taatnya.
Di dalamnya juga saya menemukan ada nama-nama Wali Songo di Jawa, Aceh
dan lain sebagainya. Ada juga Rabi’ah al-adawiyah, yang kecintaannya
kepada Allah menjadi panutan dan diceritakan oleh banyak di ustad di
dalam ceramah-ceramah. Ada juga Hasan Al-Basri, yang pernah mengatakan
bahwa “yang mengetahui wali hanyalah wali pula”. Ada juga Sofyan
At-Tsauri yang begitu penyayang terhadap makhluk lainnya, yang konon
ketika meninggal, burung yang pernah dibeli dan dilepaskannya bebas, juga
ikut bersedih dan ikut masuh ke dalam kuburannya.
Pada umumnya, dari kisah-kisah yang tertulis itu, kita dapat menemukan
bahwa mereka orang yang disebut-sebut sebagai tokoh sufi itu
hidup dalam kesederhanaan di mata awam, tetapi selalu dihormati dan
disayangi pula masyarakatnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelembutan
hati mereka. Ya, mereka semua digambarkan sebagai manusia yang memiliki
hati yang lembut sehingga mampu mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan
cinta yang tulus. Mereka mampu mencintai makluk Allah lainnya,
semata-mata karena mereka memang sangat mencintai Allah dan rasul-Nya.
Hati mereka lembut.
Tak ada perlawanan terhadap petunjuk Allah. Mereka takut untuk
meninggalkan perintah Allah dan takut mendekati larangan Allah. Mereka
ditemukan sebagai orang yang WARA’ (istilah untuk orang yang selalu
meninggalkan sesuatu yang subhat), Kaffah dalam berislam, Ibadah mereka
selalu khusyuk, mereka tidak pernah lepas dari berzikir kepada Allah dan
do’a-doa mereka pun selalu dimaqbulkan oleh Allah.
Jalan Sufi, Jalan Kelembutan Hati
Apakah yang dicari oleh para sufi ? Mereka tidak mencari kesaktian,
tetapi mereka mendapatkannya dari Allah. Mereka hanya berusaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang telah menciptakan mereka. Mereka hanya
ingin dapat bercengkrama dengan Allah yang selalu mengasihi seluruh
makluk-Nya dan menyayangi setiap hamba-Nya. Mereka hanya menginginkan
bahwa Allah selalu ridha dan sayang kepada mereka. Untuk merekalah yang
bersusah payah untuk pertama-tama “ridha dan cinta kepada Allah”.
Mencintai tidaklah mungkin dengan kekasaran atau pembangkangan, maka
mereka selalu berusaha untuk menjadi orang yang paling taat kepada Allah.
Mencintai hanyalah bisa dilakukan dengan kelembutan hati, maka melakukan
zikir kepada Allah adalah untuk melembutkan hati-hati mereka. Maka
kelembutan hati adalah perilaku para sufi.
Kelembutan hati berarti terjauh dari sifat-sifat kesombongan. Kelembutan
hati berarti jauh dari sifat-sifat serakah. Kelembutan hati berarti
selalu menyayangi yang lemah. Kelembutan hati berarti tak ada yang tidak
ditaat dari semua perintah Allah. Maka soal Syariat, para sufi adalah
orang yang terdepan karena mereka selalu melakukannya dengan taat dan
tertib dan bahkan tidak mencampurkannya dengan hal-hal yang subhat
(meragukan). Itulah jalan sufi, jalan kelembutan hati.
Sesungguhnya Allah berkuasa membolak-balikkan kalbu setiap manusia, maka
Nabi Muhammad mengajarkan setiap umatnya untuk berdoa arag Allah
menetapkan hati kita kepada agama Allah. Sebuah hadits dari
Abdullah bin Amr bin Ash r.a, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah
(SAW) bersabda: “Sesungguhnya semua kalbu anak keturunan Adam,
seluruhnya, terletak di antara dua jari Tuhan yang Rahman, bagaikan satu
kalbu yang Dia gerakkan sesuai dengan kehendak-Nya”. Lalu beliau (SAW)
berujar: “Ya Allah yang memalingkan kalbu, palingkanlah kalbu kami ke
arah ketaatan kepada-Mu”. (HR. Ahmad dan Muslim).
Layakkah Ajaran Tasawuf Kita Laksanakan ?
Kalau zaman Rasul, tidak ditemukan istilah tasawuf, tetapi Nabi dan
para Sahabat selalu mengharungi kehidupan mereka dengan jalan tasawuf.
Zaman sekarang, ketika istilah tasawuf itu ada, banyak orang tidak
melaksanakan tasawuf karena sudah kekenyangan memahami istilah tasawuf
itu sendiri.
Saat ini kita hidup di zaman yang telah mengenal istilah tasawuf dan juga
mengenal ajaran-ajarannya, paling tidak mengetahui dari perilaku para
sufi (pelaksana tasawuf) yang terkenal. Kita memiliki dua-duanya bukan ?
Sebab kalau zaman Rasul dulu, yang dikenal adalah pelaksanaannya saja,
sedangkan istilahnya tidak. Maka kalau ditanya “Layakkah ajaran tasawuf
kita laksanakan ?” Jawabnya tentulah “Mengapa tidak ?”.
As-Salamun alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Syaifuddin Ma’rifatullah Aceh.