Joserizal Jurnalis, dokter spesialis wilayah perang: “Banyak Bicara Pecah, Banyak Bekerja Berkah” Berjihad dengan jarum suntik. Begitulah yang terpancang kuat di dada Dokter Joserizal Jurnalis, SpBO (Spesialis Bedah Orthopedi). Di saat dokter lain sibuk melayani pasien di berbagai rumah sakit dengan upah melimpah, dia justru memilih berpayah-payah terjun ke daerah yang membahayakan nyawa. Ketua Presidium MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) ini ratusan kali menangani pasien korban perang dan bencana alam. Mulai dari Tual (Maluku Tenggara), Ambon, Galela, Halmahera, Bengkulu, sampai Aceh.
Tanggal 29 Oktober 2001 lalu Jose dan empat orang relawan MER-C —dr Hendry Hidayatullah, dr Yogi Prabowo, dr Dany K Ramdhan, dan Muhammad Azzam— berangkat ke Afghanistan. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk berjihad memberi bantuan medis gawat darurat. Bersama rekan-rekannya Jose mengendarai mobil sejauh seribu kilometer lebih. Alasannya, “Misi MER-C memang mendatangi tempat yang tak ada lagi dokter mau yang mendatangi.” Mereka berhasil menembus Afghanistan lewat Quetta (perbatasan Pakistan-Afghanistan di sebelah tenggara), bahkan menerobos kawasan selatan sampai Kandahar yang merupakan jantung pertahanan Taliban. Di Kandahar, mereka mempertaruhkan nyawa di bawah guyuran bom-bom Amerika yang turun bagai hujan lebat tak kunjung padam. Dalam perjalanan, jip yang dikendarai Jose terus diikuti pesawat tempur Amerika, mungkin dikira rombongan milisi Taliban (yang terbiasa mengendarai kendaraan jenis ini). “Pesawat-pesawat itu rasanya ada di atas kepala. Ledakan bom yang cukup dekat membuat telinga kami sakit dan berdengung,” kenang Jose. Jose mengaku sempat takut juga. Tapi keadaan mencekam seperti itu sudah dialaminya berkali-kali sepanjang tiga tahun ini. Cuma, di Afghanistan memang membutuhkan urat nyali ekstra. “Saya pernah ke Maluku atau Aceh, tapi kan tidak ada rudal dan pesawat tempur. Kalau di Afghanistan, itu santapan tiap hari.” Rentetan bom itu terus mengiringi aksi medis MER-C. Untunglah pengalamannya di berbagai kawasan darurat di dalam negeri telah membekalinya cukup banyak. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini sudah terbiasa melakukan operasi dengan peralatan seadanya. Bahkan sewaktu di Galela (Maluku Utara), Tim MER-C pernah mengamputasi kaki pasien dengan gergaji kayu. Kondisi yang sama terjadi di Afghanistan. Pasien membludak sementara fasilitas medis di rumah sakit sangat minim. Peralatan suntik-menyuntik pun terpaksa dipakai beberapa kali. Celakanya, tidak ada alkohol atau zat untuk mensterilkan peralatan itu. Apa boleh buat, alat-alat itu pun terpaksa direbus di air mendidih. Banyak lagi pengalaman mengesankan yang membuat Jose senantiasa rindu untuk kembali di daerah-daerah merana itu. Termasuk, beberapa kejadian ajaib yang mencengangkan. Semua itu dikisahkan kepada Saiful Hamiwanto dan Pambudi Utomo dari Suara Hidayatullah. Berikut ini petikannya. Apa yang paling berkesan dari misi kemanusiaan ke Afghanistan kemarin? Banyak perubahan dalam diri saya setelah dari sana, terutama dalam memaknai jihad dan perjuangan. Saya sangat kagum kepada orang-orang Afghan. Mereka tawakal dan hanya bergantung kepada tali Allah. Padahal mereka hidup miskin, susah, alamnya gersang, dan dibombardir tiap hari. Wajah-wajah Mujahidin yang luka-luka adalah wajah yang ikhlas dan... Subhanallah. Yang dilawan adalah angkatan perang terkuat di dunia (Amerika Serikat). Saya bertemu Gubernur Kandahar Mullah Hassan dan Mullah Najibullah di Spin Boldak yang zuhud dan bersahaja. Mereka adalah orang yang berperan besar dalam memukul tentara Uni Soviet beberapa tahun lalu. Kaki Mullah Hassan putus sampai paha akibat perang itu. Namun beliau tegar, optimis, terbungkus dalam tutur kata yang lembut dan penuh hormat pada orang lain. Rasanya saya sedang berjumpa dengan para sahabat Rasulullah Saw. Tapi citra yang dibentuk oleh Barat adalah Taliban yang keras, biadab, dan pelanggar HAM? Sikap kepada orang kafir yang menindas mereka memang tegas. Namun kepada saudara sesama Muslim sangat ramah. Saya sendiri ketika bertemu pertama kali, terasa seperti teman akrab yang sudah lama tidak berjumpa. Batin kami seolah tersambung. Mereka tidak menganggap kami sebagai orang asing. Begitu salam, Mullah Hassan langsung memeluk saya dengan hangat. Bayangkan, seorang gubernur, orang besar yang punya reputasi luar biasa di medan tempur, memeluk saya tanpa harus cium-cium tangan segala. Kesannya sangat mendalam. Mereka sangat egaliter. Persahabatan begitu indah. Menurut Anda, orang Afghan pantang menyerah dan tidak takut. Kenapa Kabul begitu mudah jatuh? Saya sempat bertanya tentang hal ini. Menurut mereka, Taliban tidak kalah. Mereka mundur dan membiarkan Kabul jatuh sebab tidak ingin korban sipil berjatuhan. Selain itu, mereka ingin agar masyarakat menilai sendiri, bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan non-Taliban. Karena sikap itu, tidak mengherankan bila waktu itu sebenarnya belum terjadi pertempuran face to face antara Taliban dan Amerika Serikat. Yang terjadi cuma bom-bom berjatuhan, dan kadang mengenai orang Amerika sendiri. Malah ada pula yang lucu. Taliban mengecat beberapa tank dan pesawat tempur rusak bekas Uni Soviet dulu dan dibiarkan di tempat terbuka. Pesawat Amerika terkecoh dan membombardir tank dan pesawat rusak itu. Sempat banyak komentar tentang kepergian Anda, misalnya kenapa mesti ke sana sementara di sini masih banyak yang harus ditolong? Persoalannya begini, seperti di Tual waktu awal kerusuhan, ummat Islam terjepit dan tidak ada yang menolong. Bagi saya, ahli bedah ortopedi, tidak perlu menunggu turunnya fatwa yang menyatakan berangkat ke Afghanistan ini fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Saya baca bukunya Abdullah Azzam, seandainya pemimpin kita melarang, kita bisa menolaknya. Ini menggambarkan betapa tinggi nilai jihad. Saya juga tak perlu membuka buku-buku fiqih mazhab ini itu. Kalau sibuk memperdebatkan konsepsi fiqih, sementara situasinya sudah mendesak, jangan-jangan itu hanya jadi alasan untuk menghindari jihad. Bagi saya, terjun ke Afghanistan sudah merupakan fardhu ‘ain, sebab ada saudara yang dibantai. Dan saya yakin tenaga saya sangat diperlukan di sana. Saya pun tidak perlu minta izin orang tua, bahkan istri. Tentu saja saya harus memberitahu istri dan keluarga, tapi tidak perlu ada izin. Sesama Muslim itu bersaudara, tidak peduli dia berada dimana. Amerika sedang membombardir Afghanistan, masak kita diam saja? * * * “Ummat Islam selalu teraniaya,” kata Joserizal. Kenyataan itu dilihatnya sejak di Tual, daerah konflik pertama yang dikunjunginya (April 1999). Jose yang saat itu tergabung dalam Tim Medis Mahasiswa (TMM) UI merasa prihatin. Pertama, tenaga medis tidak netral dalam menangani korban kerusuhan. Padahal ini merupakan syarat mutlak dalam etika profesi tenaga medis. Tenaga medis yang kebetulan mayoritas non-Muslim, enggan menolong korban yang beragama Islam. Kedua, penyaluran bantuan (yang datang dari berbagai pihak) tidak adil. Bantuan itu dibagi tiga, yaitu untuk Kristen (Protestan), Katolik, dan Islam. Ini juga terjadi di Ambon, dimana ummat Islam yang mencapai 50% hanya mendapat 1/3 dari total bantuan. Ketiga, ketika ummat Islam teraniaya, tidak ada LSM yang peduli. LSM seperti ICRC (Palang Merah Internasional), juga Palang Merah Indonesia (PMI), tidak ke sana. Ketimpangan di atas mengusik pikiran Jose dan kawan-kawan. Lantas muncul keinginan untuk mendirikan Bulan Sabit Merah. Sayang, keinginan itu tidak bisa terwujud, terbentur Konvensi Jenewa yang tidak membenarkan satu negara mempunyai lebih dari satu lembaga kemanusiaan. Seperti kita tahu, di Indonesia sudah ada PMI. Diskusi berlanjut, diikuti tujuh orang dokter dan beberapa mahasiswa FK UI. Keputusan akhir menyepakati berdirinya lembaga yang bisa bergerak cepat di daerah gawat darurat medis. Lahirlah MER-C pada 14 Agustus 1999. Sekarang lembaga kemanusiaan ini mempunyai cabang di berbagai daerah, di antaranya Jakarta (pusat), Manado, Malang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Di luar negeri pun ada, yaitu di Jerman. “Insya Allah sebentar lagi Aceh,” kata Jose. MER-C berasaskan Islam. Hal ini sempat menjadi perdebatan di antara pendiri MER-C sebab ada yang khawatir hal itu akan mempersempit ruang gerak. Namun Jose ngotot agar lembaga ini tidak malu-malu mengibarkan bendera Islam. “Tak perlu takut, sebab Islam mempunyai ajaran elegan yaitu rahmatan lil ‘alamin. Asas ini memungkinkan kita untuk leluasa bergerak dimana saja dan untuk siapa saja,” alasannya. * * * Dengan menganut asas Islam, apakah MER-C membuka peluang bagi relawan non-Muslim untuk bergabung? Silakan saja. Kalau memang bisa bekerja sesuai dengan pogram kami, kenapa tidak? Pernah ada orang Bali yang beragama Hindu mengajukan lamaran. Kami oke saja. Kami yang berasas Islam ini tidak takut kok sama siapa saja. Di lapangan apakah tidak ada kecurigaan pihak non-Muslim ketika Anda dan kawan-kawan bekerja? Curiga mungkin ada. Tapi kami buktikan dengan menolong siapa saja tanpa membedakan golongan, etnis, atau agama. Di Tual, kami sering menolong pihak Kristen dan berkunjung ke rumah sakit Katolik. Salah satu pasien yang saya tolong adalah kemenakan Brigjen TNI Max Tamaela (mantan Panglima Kodam Pattimura, orang Kristen). Tangannya hancur kena bom dan harus diamputasi. Saya bilang bahwa saya Muslim, ahli bedah, dan akan menolong. Setelah keluarganya mengizinkan, ya saya tolong sebagaimana mestinya. Alhamdulillah tak jadi diamputasi. Kalau saya biarkan dia terkapar, sementara saya punya kemampuan untuk menolong, saya berdosa. Dalam sejarah kita mengenal Shalahuddin al-Ayyubi —tokoh yang saya kagumi— rela menolong musuhnya, Raja Richard The Lion Heart. Ada pengalaman mengesankan ketika melakukan pertolongan medis di daerah non-Muslim? Ya, misalnya di Tual. Ada pasien non-Muslim yang akan dioperasi dan harus dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan kami dicegat kelompok Merah. Mereka menenteng panah, golok, senjata rakitan, bom, tombak, diacung-acungkan di depan hidung saya. Alhamdulillah lolos, setelah sopir kami, orang Irian beragama Katolik, berteriak, “Jangan diganggu, ini dokter yang sudah menolong saudara kamu.” Di Halmahera, kami sempat putus komunikasi dengan dunia luar selama satu bulan. Saya kebingungan sebab terisolir bersama masyarakat yang terkepung musuh dan terus-menerus diserang paling tidak dua kali seminggu. Aparat keamanan kewalahan. Tidak ada lagi bantuan bahan bakar, makanan, dan peralatan medis. Kami terancam kelaparan. Saya juga tak pernah melupakan prosesi penguburan massal warga Muslim yang dibantai di Masjid Al-Muhajirin Poppilo. Kondisinya sangat menyedihkan. Ratusan mayat terbakar hangus, dan tampak jelas sebelumnya mengalami siksaan berat. Pembunuhan di rumah ibadah merupakan hal yang keji dan tidak kenal etika, apalagi banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Apa Ayatur-Rahman fii Jihaadil Afghan (ayat-ayat Allah di medan jihad Afghan) pernah juga Anda Alami di tempat lainnya? Betul, misalnya di Tual. Ummat Islam cuma 20%, kampungannya terjepit di tepi pantai, sementara orang-orang Kristen berada di kawasan yang lebih tinggi. Orang-orang Merah menyerang dengan gencar dengan berbagai macam senjata. Hebat, ummat Islam mampu bertahan. Setelah suasana aman dan Islam-Kristen berbaur kembali, baru saya tahu sebabnya. Orang Kristen mengaku sudah setengah mati menyerang tapi akhirnya lari sebab mereka melihat banyak sekali orang berpakaian putih-putih, tersebar dimana-mana, bahkan di pohon dan genting rumah. Ini kan aneh, tapi betul-betul terjadi. Kejadian semacam ini juga terjadi di Halmahera dan Saparua. Mungkin itu disebabkan sikap ikhlas mujahidin dalam membela agamanya. Yang berjuang di awal-awal konflik adalah orang-orang yang mungkin dulu akhlaknya tidak baik tapi hatinya terpanggil dan ikhlas. Jadi, tolong hargailah orang-orang ini, jangan dilupakan. Tidak banyak lho orang yang mau maju ke medan perang membela agama. Dan tidak ada bedanya darah seorang profesor dan gelandangan di medan jihad, kalau memang itu diniatkan secara ikhlas. Anda beberapa kali lolos dari ancaman maut. Apa yang Anda lakukan? Sebenarnya konsep hidup seorang mujahid justru mengharapkan jangan lolos dari maut. Kalau bisa ya biarlah mati, sebab insya Allah akan syahid. Memang Anda bercita-cita mati syahid? Jelas dong. Mati syahid adalah kedudukan tertinggi dalam ajaran agama kita. Kalau ada orang Islam yang tidak ingin mati syahid, wah rugi sekali. Tapi ternyata mati syahid itu tidak gampang. Bagaimana cara Anda melakukan pertolongan medis dalam situasi yang serba terbatas dan sulit itu? Memang sangat sulit. Perlengkapan tidak ada. Tapi kita kan diberi otak oleh Allah dan ini harus dipakai untuk mengatasi situasi sulit. Ketika di Maluku misalnya, tidak ada persediaan antibiotik. Maka saya menggunakan madu sebagai gantinya. Orang-orang yang patah tulang dan terluka saya olesi madu. Berdasar literatur, di dalam madu ini ada zat yang merangsang perkembangan jaringan dan pembunuh kuman. Teori ini kurang populer di Fakultas Kedokteran, justru banyak ditentang. Tapi saya sudah membuktikannya di lapangan. Untuk melaksanakan aksi di lapangan, darimana MER-C memperoleh dana? Kami mengandalkan peran masyarakat, tidak pernah ada kucuran dari konglomerat atau luar negeri. Dana semacam ini biasanya dilandasi kepentingan tertentu. Kalau ada tawaran bantuan besar tetapi didasari kepentingan selain kemanusiaan atau tidak sejalan dengan visi dan misi MER-C, insya Allah akan kami tolak. Sebelum melakukan aksi di lapangan kami biasa ngeteng (mengumpulkan dana). Modal terpentingnya adalah trust (kepercayaan). Maka dana dari masyarakat pun kami salurkan sesuai amanah. Kalau amanahnya untuk Ambon, ya kami salurkan ke Ambon. Kami juga membuktikan dengan bekerja serius. Di Afghanistan, kami terjun langsung ke kancah perang. Kami juga yakin bantuan yang ikhlas akan membawa berkah. Ketika akan berangkat ke Afghanistan, ada orang yang menyumbang uang cukup banyak. Padahal hidupnya sangat sederhana. Saya lihat sendiri, sebab saya yang mengambil uangnya. Rumahnya biasa-biasa saja, terletak di sebuah gang sempit di Jakarta. Beliau ikhlas melepaskan bantuan. Yang semacam ini insya Allah lebih berkah daripada uang berjuta-juta tapi hasil korupsi. Dalam waktu mendatang, MER-C akan tetap menitikberatkan pada aksi reaksi cepat atau mungkin akan lebih luas daripada itu? Spesifikasi reaksi cepat tetap akan kami pertahankan, dengan melibatkan dokter-dokter yang mempunyai kerelaan hati. Selain itu, mungkin juga akan menjadi lembaga ZIS (zakat infaq shadaqah) khusus untuk kesehatan agar aksi kami bisa lebih cepat. Seperti kasus Afghanistan kemarin, semestinya begitu hari Selasa ada penyerangan maka hari Rabu kami sudah berangkat. Tapi karena kami harus mengumpulkan dana dulu, jadinya tidak bisa secepat itu. Mau minta ke lembaga ZIS ternyata sulit. Idealnya memang harus ada satu lembaga yang mengumpulkan dan mendistribusikan dana untuk berbagai sektor, termasuk kesehatan. * * * Joserizal lahir di Padang, 11 Mei 1963. Masa kecil sampai remaja dihabiskan di kota kelahiran. Tamat SMA hijrah ke Jakarta demi menuruti cita-cita orang tua agar dirinya menjadi dokter. “Dalam hal pendidikan, saya selalu menuruti keinginan orang tua,” ujar suami Dian Susilawati, Msi ini. Padahal ketika kecil Jose ingin jadi astronot atau tentara. Ketika menjadi siswa SMAN 2 Padang, ingin menjadi ahli nuklir. Namun ketaatannya kepada orang tua membuat Jose lebih memilih profesi dokter. Repot juga meniti profesi yang sebenarnya tak disukai. Apalagi Jose tidak suka dijejali hafalan rumus yang banyak dijumpai di bangku kuliah kedokteran. Akibatnya dia sempat mangkir dan lebih asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, atau politik. Cerita ringan seperti novel silat Kho Ping Ho sampai buku berat seperti Madilog karya Tan Malaka dilahapnya. Namun dasar otaknya encer, gelar dokter bisa juga diraih (1988). Jose lantas bertugas di sebuah Puskesmas di Padang. Ketaatan kepada orang tua pula yang mendorong Jose mengambil program spesialis bedah ortopedi. Ceritanya bermula dari sebuah tragedi, ketika ibunya ditimpa musibah kecelakaan. Kakinya patah dan harus menjalani operasi. Dua tahun kemudian ternyata tulang yang patah itu tidak tersambung sehingga harus dioperasi ulang. Rupanya ini memberi kesan yang mendalam, dan sejak saat itu Jose ingin mendalami spesialis bedah ortopedi. Gelar ini berhasil digondol tahun 1999. Meski telah menyandang titel dokter spesialis, perasaan Jose tetap biasa-biasa saja. “Saya baru merasa sebagai ‘dokter sungguhan’ setelah terjun ke Maluku,” ujarnya terus terang. “Inilah hikmahnya taat kepada orang tua, yaitu Allah selalu memberi jalan terbaik. Sekarang saya tidak hanya bisa mencari nafkah tapi juga berjihad.” Namun ada satu hal yang tidak ditaati Jose, yaitu nama. Orang tua sebenarnya memberi nama Yus Rizal, yang kurang lebih berarti memberi kemudahan kepada orang lain. Namun Jose kecil enggan menyandang nama itu. “Kurang keren sih,” katanya sembari tertawa. Dia ingin nama yang terdengar gagah dan keren: Joserizal. “Maklum ya, masih anak-anak.” * * * Seorang dokter spesialis punya kesempatan jadi kaya, tapi Anda justru lebih sering terjun di kegiatan sosial-kemanusiaan. Mengapa? Betul, saya bisa saja enak-enakan cari duit. Tapi semua yang saya lakukan ini menyangkut masalah amanah. Allah Swt menganugerahi keahlian, dan ini harus dipertanggungjawabkan. Mungkin bagi orang sekuler akan terdengar klise. Tapi saya rasakan bahwa pertanggungjawaban amanah ini merupakan inti ajaran Islam. Seandainya ummat ini aman-aman saja, hidup makmur, tidak dizalimi, mungkin saya akan sibuk dengan praktik, kursus, melanjutkan program doktor dan bila perlu profesor. Tapi dalam kenyataannya kan tidak seperti itu. Ummat ini membutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian tertentu dan mau sedikit berkorban. Bagaimana dengan kebutuhan ekonomi keluarga? Saya praktik di beberapa rumah sakit, istri saya punya penghasilan sebagai pegawai negeri, dan ada sedikit tabungan. Kalau saya pas tidak di rumah, ternyata ada saja orang yang menolong. Kami yakin bahwa orang yang menolong agama Allah pasti akan ditolong oleh Allah melalui sesama Muslim. Seandainya tidak ada yang mau menolong, tidak masalah. Bagaimana cara menanamkan pemahaman kepada keluarga agar bisa ikhlas melepas kepergian Anda ke medan jihad? Yang terpenting adalah penanaman aqidah dan tauhid. Harus muncul keyakinan bahwa kita hanya bergantung kepada Allah Swt, bukan yang lain. Kalau sudah seperti ini, anak-anak tidak akan takut lagi kepada hantu. Istri tidak perlu khawatir saya tinggal sebab Allah akan selalu menolong. Yang menjaga keselamatan keluarga adalah Allah, bukan Joserizal. Jadi ya tidak masalah. Kalau tidak ada pemahaman seperti itu, repot. Wah, nanti istri gua bagaimana, sekolah anak-anak, mertua saya, dan semacamnya. Akhirnya ya tidak akan berangkat. Anda belajar hal seperti itu di mana? Terutama sejak dari Maluku, dan lebih kuat setelah dari Afghanistan. Di sanalah saya melihat orang-orang yang hanya takut kepada Allah, dan tidak takut kepada siapapun. Ini berbeda dengan kebanyakan orang, tidak punya duit ngeri, tidak utang ke IMF ngeri, selalu minder. Bicaranya sih luar biasa. Kalau pidato selalu mengatakan, “Puji syukur kepada Allah Swt dan seterusnya.” Apa benar perpecahan rawan terjadi di medan jihad? Dalam hal menyikapi perbedaanpun saya banyak belajar di sana. Perbedaan di antara kita harus diminimalisir, apalagi ketika di medan jihad. Kita dituntut untuk bekerja. Kalau kita sibuk bicara dan diskusi, perbedaan akan makin besar, perpecahan makin mungkin terjadi. Muncullah kenakalan dalam pikiran untuk berpetualang, dan kadangkala nafsu kita yang membimbing pikiran, bukan Allah. Kalau kita banyak bekerja berkah Allah akan semakin banyak turun. Anda juga menginginkan anak-anak kelak memilih jalan hidup seperti itu? Jelas, sebab begitu mulianya mati syahid itu. Kalau anak-anak mati syahid, dia bisa memberi syafaat kepada orang tua yang tidak mati syahid. Maka saya akan mendorong Aisha, Nabila, dan Saladin (nama anak-anaknya) menjadi mujahid dan mujahidah. Bagaimana tanggapan rekan seprofesi terhadap apa yang Anda lakukan selama ini? Banyak yang sinis. Ngapain pergi jauh-jauh dan nampang di televisi, mau cari popularitas ya? Saya jawab, nampang di televisi itu ada risikonya lho, gua bisa dicatat CIA sebagai pendukung Taliban. Ya begitulah, komentar yang standarnya nilai-nilai duniawi. Mereka tidak memahami makna ukhuwah Islamiyah dan jihad. Tapi kalau orang tahu betapa tingginya nilai syahid, mungkin komentarnya tidak seperti itu. Bagaimana Anda bisa meninggalkan tempat praktik? Saya minta izin dan harus menyiapkan dokter pengganti. Kepergian saya jangan sampai menelantarkan pasien. Sampai kapan Anda akan terus aktif di lembaga kemanusiaan? Jihad itu seumur hidup. Saya akan menjadi relawan seumur hidup, meskipun tak lagi menjadi ketua presidium MER-C. Rata-rata teman di MER-C punya komitmen seperti itu. Kami tidak ingin seperti orang kebakaran jenggot, mendirikan lembaga karena ada kasus Maluku dan ketika sudah aman lantas selesai. Lembaga ini hendaknya menjadi media ummat dalam aksi kemanusiaan, tidak hanya untuk ummat di Indonesia tapi juga dunia. Dalam waktu dekat insya Allah kami akan berangkat ke Chechnya.• __________________________________________________ Do You Yahoo!? Yahoo! Greetings - Send FREE e-cards for every occasion! http://greetings.yahoo.com RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ===============================================