Joserizal Jurnalis, dokter spesialis wilayah perang: 

“Banyak Bicara Pecah, Banyak Bekerja Berkah” 
Berjihad dengan jarum suntik. Begitulah yang
terpancang kuat di dada Dokter Joserizal Jurnalis,
SpBO (Spesialis Bedah Orthopedi). Di saat dokter lain
sibuk melayani pasien di berbagai rumah sakit dengan
upah melimpah, dia justru memilih berpayah-payah
terjun ke daerah yang membahayakan nyawa. Ketua
Presidium MER-C (Medical Emergency Rescue Committee)
ini ratusan kali menangani pasien korban perang dan
bencana alam. Mulai dari Tual (Maluku Tenggara),
Ambon, Galela, Halmahera, Bengkulu, sampai Aceh.

Tanggal 29 Oktober 2001 lalu Jose dan empat orang
relawan MER-C —dr Hendry Hidayatullah, dr Yogi
Prabowo, dr Dany K Ramdhan, dan Muhammad Azzam—
berangkat ke Afghanistan. Tujuannya apalagi kalau
bukan untuk berjihad memberi bantuan medis gawat
darurat.

Bersama rekan-rekannya Jose mengendarai mobil sejauh
seribu kilometer lebih. Alasannya, “Misi MER-C memang
mendatangi tempat yang tak ada lagi dokter mau yang
mendatangi.” Mereka berhasil menembus Afghanistan
lewat Quetta (perbatasan Pakistan-Afghanistan di
sebelah tenggara), bahkan menerobos kawasan selatan
sampai Kandahar yang merupakan jantung pertahanan
Taliban.

Di Kandahar, mereka mempertaruhkan nyawa di bawah
guyuran bom-bom Amerika yang turun bagai hujan lebat
tak kunjung padam. Dalam perjalanan, jip yang
dikendarai Jose terus diikuti pesawat tempur Amerika,
mungkin dikira rombongan milisi Taliban (yang terbiasa
mengendarai kendaraan jenis ini). “Pesawat-pesawat itu
rasanya ada di atas kepala. Ledakan bom yang cukup
dekat membuat telinga kami sakit dan berdengung,”
kenang Jose.

Jose mengaku sempat takut juga. Tapi keadaan mencekam
seperti itu sudah dialaminya berkali-kali sepanjang
tiga tahun ini. Cuma, di Afghanistan memang
membutuhkan urat nyali ekstra. “Saya pernah ke Maluku
atau Aceh, tapi kan tidak ada rudal dan pesawat
tempur. Kalau di Afghanistan, itu santapan tiap hari.”

Rentetan bom itu terus mengiringi aksi medis MER-C.
Untunglah pengalamannya di berbagai kawasan darurat di
dalam negeri telah membekalinya cukup banyak. Alumnus
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini
sudah terbiasa melakukan operasi dengan peralatan
seadanya. Bahkan sewaktu di Galela (Maluku Utara), Tim
MER-C pernah mengamputasi kaki pasien dengan gergaji
kayu.

Kondisi yang sama terjadi di Afghanistan. Pasien
membludak sementara fasilitas medis di rumah sakit
sangat minim. Peralatan suntik-menyuntik pun terpaksa
dipakai beberapa kali. Celakanya, tidak ada alkohol
atau zat untuk mensterilkan peralatan itu. Apa boleh
buat, alat-alat itu pun terpaksa direbus di air
mendidih.

Banyak lagi pengalaman mengesankan yang membuat Jose
senantiasa rindu untuk kembali di daerah-daerah merana
itu. Termasuk, beberapa kejadian ajaib yang
mencengangkan. Semua itu dikisahkan kepada Saiful
Hamiwanto dan Pambudi Utomo dari Suara Hidayatullah.
Berikut ini petikannya.


Apa yang paling berkesan dari misi kemanusiaan ke
Afghanistan kemarin?

Banyak perubahan dalam diri saya setelah dari sana,
terutama dalam memaknai jihad dan perjuangan. Saya
sangat kagum kepada orang-orang Afghan. Mereka tawakal
dan hanya bergantung kepada tali Allah. Padahal mereka
hidup miskin, susah, alamnya gersang, dan dibombardir
tiap hari. Wajah-wajah Mujahidin yang luka-luka adalah
wajah yang ikhlas dan... Subhanallah. Yang dilawan
adalah angkatan perang terkuat di dunia (Amerika
Serikat). 

Saya bertemu Gubernur Kandahar Mullah Hassan dan
Mullah Najibullah di Spin Boldak yang zuhud dan
bersahaja. Mereka adalah orang yang berperan besar
dalam memukul tentara Uni Soviet beberapa tahun lalu.
Kaki Mullah Hassan putus sampai paha akibat perang
itu. Namun beliau tegar, optimis, terbungkus dalam
tutur kata yang lembut dan penuh hormat pada orang
lain. Rasanya saya sedang berjumpa dengan para sahabat
Rasulullah Saw.

Tapi citra yang dibentuk oleh Barat adalah Taliban
yang keras, biadab, dan pelanggar HAM?

Sikap kepada orang kafir yang menindas mereka memang
tegas. Namun kepada saudara sesama Muslim sangat
ramah. Saya sendiri ketika bertemu pertama kali,
terasa seperti teman akrab yang sudah lama tidak
berjumpa. Batin kami seolah tersambung. Mereka tidak
menganggap kami sebagai orang asing. Begitu salam,
Mullah Hassan langsung memeluk saya dengan hangat.
Bayangkan, seorang gubernur, orang besar yang punya
reputasi luar biasa di medan tempur, memeluk saya
tanpa harus cium-cium tangan segala. Kesannya sangat
mendalam. Mereka sangat egaliter. Persahabatan begitu
indah.

Menurut Anda, orang Afghan pantang menyerah dan tidak
takut. Kenapa Kabul begitu mudah jatuh?

Saya sempat bertanya tentang hal ini. Menurut mereka,
Taliban tidak kalah. Mereka mundur dan membiarkan
Kabul jatuh sebab tidak ingin korban sipil berjatuhan.
Selain itu, mereka ingin agar masyarakat menilai
sendiri, bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan
non-Taliban. Karena sikap itu, tidak mengherankan bila
waktu itu sebenarnya belum terjadi pertempuran face to
face antara Taliban dan Amerika Serikat. Yang terjadi
cuma bom-bom berjatuhan, dan kadang mengenai orang
Amerika sendiri.

Malah ada pula yang lucu. Taliban mengecat beberapa
tank dan pesawat tempur rusak bekas Uni Soviet dulu
dan dibiarkan di tempat terbuka. Pesawat Amerika
terkecoh dan membombardir tank dan pesawat rusak itu.

Sempat banyak komentar tentang kepergian Anda,
misalnya kenapa mesti ke sana sementara di sini masih
banyak yang harus ditolong?

Persoalannya begini, seperti di Tual waktu awal
kerusuhan, ummat Islam terjepit dan tidak ada yang
menolong. Bagi saya, ahli bedah ortopedi, tidak perlu
menunggu turunnya fatwa yang menyatakan berangkat ke
Afghanistan ini fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Saya
baca bukunya Abdullah Azzam, seandainya pemimpin kita
melarang, kita bisa menolaknya. Ini menggambarkan
betapa tinggi nilai jihad.

Saya juga tak perlu membuka buku-buku fiqih mazhab ini
itu. Kalau sibuk memperdebatkan konsepsi fiqih,
sementara situasinya sudah mendesak, jangan-jangan itu
hanya jadi alasan untuk menghindari jihad. Bagi saya,
terjun ke Afghanistan sudah merupakan fardhu ‘ain,
sebab ada saudara yang dibantai. Dan saya yakin tenaga
saya sangat diperlukan di sana. Saya pun tidak perlu
minta izin orang tua, bahkan istri. Tentu saja saya
harus memberitahu istri dan keluarga, tapi tidak perlu
ada izin.

Sesama Muslim itu bersaudara, tidak peduli dia berada
dimana. Amerika sedang membombardir Afghanistan, masak
kita diam saja?

* * *


“Ummat Islam selalu teraniaya,” kata Joserizal.
Kenyataan itu dilihatnya sejak di Tual, daerah konflik
pertama yang dikunjunginya (April 1999). Jose yang
saat itu tergabung dalam Tim Medis Mahasiswa (TMM) UI
merasa prihatin. Pertama, tenaga medis tidak netral
dalam menangani korban kerusuhan. Padahal ini
merupakan syarat mutlak dalam etika profesi tenaga
medis. Tenaga medis yang kebetulan mayoritas
non-Muslim, enggan menolong korban yang beragama
Islam.

Kedua, penyaluran bantuan (yang datang dari berbagai
pihak) tidak adil. Bantuan itu dibagi tiga, yaitu
untuk Kristen (Protestan), Katolik, dan Islam. Ini
juga terjadi di Ambon, dimana ummat Islam yang
mencapai 50% hanya mendapat 1/3 dari total bantuan.

Ketiga, ketika ummat Islam teraniaya, tidak ada LSM
yang peduli. LSM seperti ICRC (Palang Merah
Internasional), juga Palang Merah Indonesia (PMI),
tidak ke sana.

Ketimpangan di atas mengusik pikiran Jose dan
kawan-kawan. Lantas muncul keinginan untuk mendirikan
Bulan Sabit Merah. Sayang, keinginan itu tidak bisa
terwujud, terbentur Konvensi Jenewa yang tidak
membenarkan satu negara mempunyai lebih dari satu
lembaga kemanusiaan. Seperti kita tahu, di Indonesia
sudah ada PMI.

Diskusi berlanjut, diikuti tujuh orang dokter dan
beberapa mahasiswa FK UI. Keputusan akhir menyepakati
berdirinya lembaga yang bisa bergerak cepat di daerah
gawat darurat medis. Lahirlah MER-C pada 14 Agustus
1999.

Sekarang lembaga kemanusiaan ini mempunyai cabang di
berbagai daerah, di antaranya Jakarta (pusat), Manado,
Malang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Di luar
negeri pun ada, yaitu di Jerman. “Insya Allah sebentar
lagi Aceh,” kata Jose.

MER-C berasaskan Islam. Hal ini sempat menjadi
perdebatan di antara pendiri MER-C sebab ada yang
khawatir hal itu akan mempersempit ruang gerak. Namun
Jose ngotot agar lembaga ini tidak malu-malu
mengibarkan bendera Islam. “Tak perlu takut, sebab
Islam mempunyai ajaran elegan yaitu rahmatan lil
‘alamin. Asas ini memungkinkan kita untuk leluasa
bergerak dimana saja dan untuk siapa saja,” alasannya.

* * *


Dengan menganut asas Islam, apakah MER-C membuka
peluang bagi relawan non-Muslim untuk bergabung?

Silakan saja. Kalau memang bisa bekerja sesuai dengan
pogram kami, kenapa tidak? Pernah ada orang Bali yang
beragama Hindu mengajukan lamaran. Kami oke saja. Kami
yang berasas Islam ini tidak takut kok sama siapa
saja.

Di lapangan apakah tidak ada kecurigaan pihak
non-Muslim ketika Anda dan kawan-kawan bekerja?

Curiga mungkin ada. Tapi kami buktikan dengan menolong
siapa saja tanpa membedakan golongan, etnis, atau
agama. Di Tual, kami sering menolong pihak Kristen dan
berkunjung ke rumah sakit Katolik. Salah satu pasien
yang saya tolong adalah kemenakan Brigjen TNI Max
Tamaela (mantan Panglima Kodam Pattimura, orang
Kristen). Tangannya hancur kena bom dan harus
diamputasi. Saya bilang bahwa saya Muslim, ahli bedah,
dan akan menolong. Setelah keluarganya mengizinkan, ya
saya tolong sebagaimana mestinya. Alhamdulillah tak
jadi diamputasi. Kalau saya biarkan dia terkapar,
sementara saya punya kemampuan untuk menolong, saya
berdosa. Dalam sejarah kita mengenal Shalahuddin
al-Ayyubi —tokoh yang saya kagumi— rela menolong
musuhnya, Raja Richard The Lion Heart.

Ada pengalaman mengesankan ketika melakukan
pertolongan medis di daerah non-Muslim?

Ya, misalnya di Tual. Ada pasien non-Muslim yang akan
dioperasi dan harus dibawa ke rumah sakit. Di
perjalanan kami dicegat kelompok Merah. Mereka
menenteng panah, golok, senjata rakitan, bom, tombak,
diacung-acungkan di depan hidung saya. Alhamdulillah
lolos, setelah sopir kami, orang Irian beragama
Katolik, berteriak, “Jangan diganggu, ini dokter yang
sudah menolong saudara kamu.”

Di Halmahera, kami sempat putus komunikasi dengan
dunia luar selama satu bulan. Saya kebingungan sebab
terisolir bersama masyarakat yang terkepung musuh dan
terus-menerus diserang paling tidak dua kali seminggu.
Aparat keamanan kewalahan. Tidak ada lagi bantuan
bahan bakar, makanan, dan peralatan medis. Kami
terancam kelaparan.

Saya juga tak pernah melupakan prosesi penguburan
massal warga Muslim yang dibantai di Masjid
Al-Muhajirin Poppilo. Kondisinya sangat menyedihkan.
Ratusan mayat terbakar hangus, dan tampak jelas
sebelumnya mengalami siksaan berat. Pembunuhan di
rumah ibadah merupakan hal yang keji dan tidak kenal
etika, apalagi banyak di antaranya adalah wanita dan
anak-anak.

Apa Ayatur-Rahman fii Jihaadil Afghan (ayat-ayat Allah
di medan jihad Afghan) pernah juga Anda Alami di
tempat lainnya?

Betul, misalnya di Tual. Ummat Islam cuma 20%,
kampungannya terjepit di tepi pantai, sementara
orang-orang Kristen berada di kawasan yang lebih
tinggi. Orang-orang Merah menyerang dengan gencar
dengan berbagai macam senjata. Hebat, ummat Islam
mampu bertahan.

Setelah suasana aman dan Islam-Kristen berbaur
kembali, baru saya tahu sebabnya. Orang Kristen
mengaku sudah setengah mati menyerang tapi akhirnya
lari sebab mereka melihat banyak sekali orang
berpakaian putih-putih, tersebar dimana-mana, bahkan
di pohon dan genting rumah. Ini kan aneh, tapi
betul-betul terjadi.

Kejadian semacam ini juga terjadi di Halmahera dan
Saparua. Mungkin itu disebabkan sikap ikhlas mujahidin
dalam membela agamanya. Yang berjuang di awal-awal
konflik adalah orang-orang yang mungkin dulu akhlaknya
tidak baik tapi hatinya terpanggil dan ikhlas. Jadi,
tolong hargailah orang-orang ini, jangan dilupakan.
Tidak banyak lho orang yang mau maju ke medan perang
membela agama. Dan tidak ada bedanya darah seorang
profesor dan gelandangan di medan jihad, kalau memang
itu diniatkan secara ikhlas.

Anda beberapa kali lolos dari ancaman maut. Apa yang
Anda lakukan?

Sebenarnya konsep hidup seorang mujahid justru
mengharapkan jangan lolos dari maut. Kalau bisa ya
biarlah mati, sebab insya Allah akan syahid.

Memang Anda bercita-cita mati syahid?

Jelas dong. Mati syahid adalah kedudukan tertinggi
dalam ajaran agama kita. Kalau ada orang Islam yang
tidak ingin mati syahid, wah rugi sekali. Tapi
ternyata mati syahid itu tidak gampang.

Bagaimana cara Anda melakukan pertolongan medis dalam
situasi yang serba terbatas dan sulit itu?

Memang sangat sulit. Perlengkapan tidak ada. Tapi kita
kan diberi otak oleh Allah dan ini harus dipakai untuk
mengatasi situasi sulit. Ketika di Maluku misalnya,
tidak ada persediaan antibiotik. Maka saya menggunakan
madu sebagai gantinya. Orang-orang yang patah tulang
dan terluka saya olesi madu. Berdasar literatur, di
dalam madu ini ada zat yang merangsang perkembangan
jaringan dan pembunuh kuman. Teori ini kurang populer
di Fakultas Kedokteran, justru banyak ditentang. Tapi
saya sudah membuktikannya di lapangan. 

Untuk melaksanakan aksi di lapangan, darimana MER-C
memperoleh dana?

Kami mengandalkan peran masyarakat, tidak pernah ada
kucuran dari konglomerat atau luar negeri. Dana
semacam ini biasanya dilandasi kepentingan tertentu.
Kalau ada tawaran bantuan besar tetapi didasari
kepentingan selain kemanusiaan atau tidak sejalan
dengan visi dan misi MER-C, insya Allah akan kami
tolak.

Sebelum melakukan aksi di lapangan kami biasa ngeteng
(mengumpulkan dana). Modal terpentingnya adalah trust
(kepercayaan). Maka dana dari masyarakat pun kami
salurkan sesuai amanah. Kalau amanahnya untuk Ambon,
ya kami salurkan ke Ambon. Kami juga membuktikan
dengan bekerja serius. Di Afghanistan, kami terjun
langsung ke kancah perang.

Kami juga yakin bantuan yang ikhlas akan membawa
berkah. Ketika akan berangkat ke Afghanistan, ada
orang yang menyumbang uang cukup banyak. Padahal
hidupnya sangat sederhana. Saya lihat sendiri, sebab
saya yang mengambil uangnya. Rumahnya biasa-biasa
saja, terletak di sebuah gang sempit di Jakarta.
Beliau ikhlas melepaskan bantuan. Yang semacam ini
insya Allah lebih berkah daripada uang berjuta-juta
tapi hasil korupsi.

Dalam waktu mendatang, MER-C akan tetap
menitikberatkan pada aksi reaksi cepat atau mungkin
akan lebih luas daripada itu?

Spesifikasi reaksi cepat tetap akan kami pertahankan,
dengan melibatkan dokter-dokter yang mempunyai
kerelaan hati. Selain itu, mungkin juga akan menjadi
lembaga ZIS (zakat infaq shadaqah) khusus untuk
kesehatan agar aksi kami bisa lebih cepat. Seperti
kasus Afghanistan kemarin, semestinya begitu hari
Selasa ada penyerangan maka hari Rabu kami sudah
berangkat. Tapi karena kami harus mengumpulkan dana
dulu, jadinya tidak bisa secepat itu. Mau minta ke
lembaga ZIS ternyata sulit. Idealnya memang harus ada
satu lembaga yang mengumpulkan dan mendistribusikan
dana untuk berbagai sektor, termasuk kesehatan.

* * *


Joserizal lahir di Padang, 11 Mei 1963. Masa kecil
sampai remaja dihabiskan di kota kelahiran. Tamat SMA
hijrah ke Jakarta demi menuruti cita-cita orang tua
agar dirinya menjadi dokter. “Dalam hal pendidikan,
saya selalu menuruti keinginan orang tua,” ujar suami
Dian Susilawati, Msi ini.

Padahal ketika kecil Jose ingin jadi astronot atau
tentara. Ketika menjadi siswa SMAN 2 Padang, ingin
menjadi ahli nuklir. Namun ketaatannya kepada orang
tua membuat Jose lebih memilih profesi dokter.

Repot juga meniti profesi yang sebenarnya tak disukai.
Apalagi Jose tidak suka dijejali hafalan rumus yang
banyak dijumpai di bangku kuliah kedokteran. Akibatnya
dia sempat mangkir dan lebih asyik membaca buku-buku
filsafat, sastra, atau politik. Cerita ringan seperti
novel silat Kho Ping Ho sampai buku berat seperti
Madilog karya Tan Malaka dilahapnya. Namun dasar
otaknya encer, gelar dokter bisa juga diraih (1988).
Jose lantas bertugas di sebuah Puskesmas di Padang.

Ketaatan kepada orang tua pula yang mendorong Jose
mengambil program spesialis bedah ortopedi. Ceritanya
bermula dari sebuah tragedi, ketika ibunya ditimpa
musibah kecelakaan. Kakinya patah dan harus menjalani
operasi. Dua tahun kemudian ternyata tulang yang patah
itu tidak tersambung sehingga harus dioperasi ulang.
Rupanya ini memberi kesan yang mendalam, dan sejak
saat itu Jose ingin mendalami spesialis bedah
ortopedi. Gelar ini berhasil digondol tahun 1999.

Meski telah menyandang titel dokter spesialis,
perasaan Jose tetap biasa-biasa saja. “Saya baru
merasa sebagai ‘dokter sungguhan’ setelah terjun ke
Maluku,” ujarnya terus terang. “Inilah hikmahnya taat
kepada orang tua, yaitu Allah selalu memberi jalan
terbaik. Sekarang saya tidak hanya bisa mencari nafkah
tapi juga berjihad.”

Namun ada satu hal yang tidak ditaati Jose, yaitu
nama. Orang tua sebenarnya memberi nama Yus Rizal,
yang kurang lebih berarti memberi kemudahan kepada
orang lain. Namun Jose kecil enggan menyandang nama
itu. “Kurang keren sih,” katanya sembari tertawa. Dia
ingin nama yang terdengar gagah dan keren: Joserizal.
“Maklum ya, masih anak-anak.”

* * *


Seorang dokter spesialis punya kesempatan jadi kaya,
tapi Anda justru lebih sering terjun di kegiatan
sosial-kemanusiaan. Mengapa?

Betul, saya bisa saja enak-enakan cari duit. Tapi
semua yang saya lakukan ini menyangkut masalah amanah.
Allah Swt menganugerahi keahlian, dan ini harus
dipertanggungjawabkan. Mungkin bagi orang sekuler akan
terdengar klise. Tapi saya rasakan bahwa
pertanggungjawaban amanah ini merupakan inti ajaran
Islam.

Seandainya ummat ini aman-aman saja, hidup makmur,
tidak dizalimi, mungkin saya akan sibuk dengan
praktik, kursus, melanjutkan program doktor dan bila
perlu profesor. Tapi dalam kenyataannya kan tidak
seperti itu. Ummat ini membutuhkan orang-orang yang
mempunyai keahlian tertentu dan mau sedikit berkorban.


Bagaimana dengan kebutuhan ekonomi keluarga?

Saya praktik di beberapa rumah sakit, istri saya punya
penghasilan sebagai pegawai negeri, dan ada sedikit
tabungan. Kalau saya pas tidak di rumah, ternyata ada
saja orang yang menolong. Kami yakin bahwa orang yang
menolong agama Allah pasti akan ditolong oleh Allah
melalui sesama Muslim. Seandainya tidak ada yang mau
menolong, tidak masalah.

Bagaimana cara menanamkan pemahaman kepada keluarga
agar bisa ikhlas melepas kepergian Anda ke medan
jihad?

Yang terpenting adalah penanaman aqidah dan tauhid.
Harus muncul keyakinan bahwa kita hanya bergantung
kepada Allah Swt, bukan yang lain. Kalau sudah seperti
ini, anak-anak tidak akan takut lagi kepada hantu.
Istri tidak perlu khawatir saya tinggal sebab Allah
akan selalu menolong. Yang menjaga keselamatan
keluarga adalah Allah, bukan Joserizal. Jadi ya tidak
masalah.

Kalau tidak ada pemahaman seperti itu, repot. Wah,
nanti istri gua bagaimana, sekolah anak-anak, mertua
saya, dan semacamnya. Akhirnya ya tidak akan
berangkat.

Anda belajar hal seperti itu di mana?

Terutama sejak dari Maluku, dan lebih kuat setelah
dari Afghanistan. Di sanalah saya melihat orang-orang
yang hanya takut kepada Allah, dan tidak takut kepada
siapapun. Ini berbeda dengan kebanyakan orang, tidak
punya duit ngeri, tidak utang ke IMF ngeri, selalu
minder. Bicaranya sih luar biasa. Kalau pidato selalu
mengatakan, “Puji syukur kepada Allah Swt dan
seterusnya.”

Apa benar perpecahan rawan terjadi di medan jihad?

Dalam hal menyikapi perbedaanpun saya banyak belajar
di sana. Perbedaan di antara kita harus diminimalisir,
apalagi ketika di medan jihad. Kita dituntut untuk
bekerja. Kalau kita sibuk bicara dan diskusi,
perbedaan akan makin besar, perpecahan makin mungkin
terjadi. Muncullah kenakalan dalam pikiran untuk
berpetualang, dan kadangkala nafsu kita yang
membimbing pikiran, bukan Allah. Kalau kita banyak
bekerja berkah Allah akan semakin banyak turun.

Anda juga menginginkan anak-anak kelak memilih jalan
hidup seperti itu?

Jelas, sebab begitu mulianya mati syahid itu. Kalau
anak-anak mati syahid, dia bisa memberi syafaat kepada
orang tua yang tidak mati syahid. Maka saya akan
mendorong Aisha, Nabila, dan Saladin (nama
anak-anaknya) menjadi mujahid dan mujahidah.

Bagaimana tanggapan rekan seprofesi terhadap apa yang
Anda lakukan selama ini?

Banyak yang sinis. Ngapain pergi jauh-jauh dan nampang
di televisi, mau cari popularitas ya? Saya jawab,
nampang di televisi itu ada risikonya lho, gua bisa
dicatat CIA sebagai pendukung Taliban. Ya begitulah,
komentar yang standarnya nilai-nilai duniawi. Mereka
tidak memahami makna ukhuwah Islamiyah dan jihad. Tapi
kalau orang tahu betapa tingginya nilai syahid,
mungkin komentarnya tidak seperti itu.

Bagaimana Anda bisa meninggalkan tempat praktik?

Saya minta izin dan harus menyiapkan dokter pengganti.
Kepergian saya jangan sampai menelantarkan pasien.

Sampai kapan Anda akan terus aktif di lembaga
kemanusiaan?

Jihad itu seumur hidup. Saya akan menjadi relawan
seumur hidup, meskipun tak lagi menjadi ketua
presidium MER-C. Rata-rata teman di MER-C punya
komitmen seperti itu. 

Kami tidak ingin seperti orang kebakaran jenggot,
mendirikan lembaga karena ada kasus Maluku dan ketika
sudah aman lantas selesai. Lembaga ini hendaknya
menjadi media ummat dalam aksi kemanusiaan, tidak
hanya untuk ummat di Indonesia tapi juga dunia. Dalam
waktu dekat insya Allah kami akan berangkat ke
Chechnya.•



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Greetings - Send FREE e-cards for every occasion!
http://greetings.yahoo.com

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke