RE: [RantauNet] SISI LAIN DARI KEHIDUPAN HAMKA...2/2

2002-03-05 Terurut Topik Azizar Aras

Waalaikummussalam Wr Wb

Tanpa ada niat untuk membenarkan salah satu sikap penilaian saya setuju
dengan membakar buku yang memang tidak ada kebenarannya (sesama dalam
ISLAM), namun jika itu pelajaran Agama lain yang berjalan seiring dengan
ISLAM, saya cendrung untuk tidak membakarnya dulu guna kita juga belajar
laiknya kita membaca buku pengetahuan lainnya, ini dimaksud untuk
mengkounter jika kita berhadapan diskusi dengan penganut lain dalam
kehidupan, kita sudah faham apa yang mereka fahami dan mampu mencari
jawabannya sesuai AGAMA kita ISLAM
Kalau komentar Gus Dur.. ya..kita juga sudah mahfum yang rada rada
berbicara diluar konteks (kadang kadang), karena dia juga manusia biasa dan
sebaiknya tidak harus risih dengan titel yang secara alami diberikan oleh
jamaahnya sebagai Ulama Besar kepada Buya Hamka ( berdasarkan pernyataan Gus
Dur benarkah Buya Hamka seorang besar ?), yang penting kita tidak terjebak
dalam diskusi yang tidak ada manfaatny dalam membina tali ukuah sesama umat
yang semakin banyak provaksi ketimbang muatan da'wah seutuhnya
Salam
AAR

-Original Message-
From: Adi Noviadri [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Tuesday, March 05, 2002 11:15 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [RantauNet] SISI LAIN DARI KEHIDUPAN HAMKA...2/2


Assalamu'alaikum wr.wb.

Ada  cerita lain yang cukup layak untuk disimak  dalam buku ini. Berbeda
dengan penulis lain yang menceritakan segi- segi  positif  dari Buya Hamka.
Abdurrahman  Wahid  ,seorang tokoh  NU yang terkemuka mengetengahkan segi
kehidupan  Buya Hamka  yang  dinilai oleh Gus Dur sebagai layak  pula  untuk
diketengahkan dalam pengantar buku ini. Bagaimana  pandangan Gus Dur
terhadap Buya Hamka? Dalam tulisan pengantarnya yang berjudul:  “ Benarkah
Buya Hamka Seorang Besar?”,  tokoh  NU itu  menilai Buya Hamka sbb: “Buya
Hamka mendapat pendidikan agama  dari  sumber yang memiliki keabsahan
penuh,  dilihat dari  sudut  pandangannya sendiri.  Hal  itu  terlihat  dari
episode  yang  dikisahkan juga dalam buku ini,  ketika  Buya Hamka
berkunjung ke Pakistan untuk menghadiri forum  Islam.

Ketika forum itu memutuskan Gerakan Ahmadiyah sebagai  paham yang  terlarang
dalam Islam , maka Buya Hamka membakar buku-buku  yang diterimanya dari
Gerakan Qadiani tsb. Kita  tidak usah  terkejut karena  orang seperti Buya
Hamka  masih  juga berbudaya  “ membakar buku “ , karena sikap itu timbul
dari sikap keagamaan yang dibentuk sumber pemikiran absolut  yang bersifat
sangat  eksklusif dalam  memperlakukan  kebenaran.  Terlepas  dari setuju
atau tidaknya kita kepada “ budaya   “ seperti  itu,  Buya  Hamka bukanlah
orang satu-satunya  yang bersikap  seperti itu. Itu adalah bagian dari “
keulamaan  “ yang  dibentuk oleh sumber pemikiran yang sudah puas  dengan
kebenarannya sendiri” (halaman 34,35).

Episode yang dimaksud  Abdurrahaman Wahid itu adalah  bagian tulisan  H.
Achmad  Syathari yang berjudul “ Hamka  Manusia Biasa “  dalam buku itu.
maka berceritalah H.Achmad Syathari sbb:  “  Dipenghujung  1957, Pemerintah
Pakistan  mengadakan Pertemuan   Islam   Internasional   (International
Islamic Colloquium).  Buya  Hamka  dan  sejumlah  tokoh-tokoh  Islam
Indonesia  lainnya juga hadir. Pertemuan ini  ditandai  atau diwarnai
perdebatan  yang sengit, ketika  bahasan  berkisar tentang  Ahmadiyah .
Sebagaimana layaknya suatu  perdebatan, ada  yang pro dan kontra . Buya
termasuk dalam kelompok yang menentang”.

Cerita  berikutnya  adalah ketika Buya  kembali  kehotelnya. Untuk
menghilangkan kepenatan dan mengusir  udara  dingin, beliaududuk
santai   sambil;   menghangatkan   badanya diperapian.   Saat  itulah,
tokoh-tokoh  Ahmadiyah   datang berkunjung kekamarnya, sambil menyerahkan
setumpuk buku buku tentang   Ahmadiyah.  Nampaknya  tokoh-tokoh   Qadiani
itu berusaha  untuk  meyakinkan Hamka tentang  kebenaran  Ajaran Ahmadiyah.
Setelah mengucapkan terima  kasih  atas  “kebaikan”  tamunya  itu,  yang
telah memberikan  setumpuk buku-buku gratis ,  dan  konon  katanya ilmiah
pula , Hamka kembali duduk didepan perapian. Kejadian berikutnya sungguh
tidak diduga  Setumpuk  buku-buku  Ahmadiyah yang baru  saja
diterimanya, satu  demi satu dibakar dalam perapian. “Ah , lumayan  untuk
menambah hangatnya badan . Rupanya orang Ahmadiyah itu  baik hati,  mau
datang kekamar saya membawa bahan bakar  ,disaat kayu  dalam  perapian
hampir habis”, kata  Hamka(halaman 265).

Bagaimana  pandangan  Abdurrahman   Wahid   mengenai peristiwa  ini?   Dalam
tulisan pengantar buku  tsb,  beliau mengatakan bahwa sikap ulama-ulama itu
adalah suatu kepicikan dalam   pandangan  yang  merupakan  bagian  keulamaan
yang dibentuk  oleh  sumber  pemikiran  yang  sudah  puas  dengan
kebenarannya  sendiri. Penilaian Gus Dur  ini  memang  sudah sewajarnya  .
Betapa tidak, bahwa ulama-ulama sudah  mengganggap  buku-buku  itu  begitu
berbahayanya   sehingga perlu dibakar

Wassalam,

Adi NS




RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http

[RantauNet] SISI LAIN DARI KEHIDUPAN HAMKA...2/2

2002-03-04 Terurut Topik Adi Noviadri

Assalamu'alaikum wr.wb.

Ada  cerita lain yang cukup layak untuk disimak  dalam buku ini. Berbeda
dengan penulis lain yang menceritakan segi- segi  positif  dari Buya Hamka.
Abdurrahman  Wahid  ,seorang tokoh  NU yang terkemuka mengetengahkan segi
kehidupan  Buya Hamka  yang  dinilai oleh Gus Dur sebagai layak  pula  untuk
diketengahkan dalam pengantar buku ini. Bagaimana  pandangan Gus Dur
terhadap Buya Hamka? Dalam tulisan pengantarnya yang berjudul:  “ Benarkah
Buya Hamka Seorang Besar?”,  tokoh  NU itu  menilai Buya Hamka sbb: “Buya
Hamka mendapat pendidikan agama  dari  sumber yang memiliki keabsahan
penuh,  dilihat dari  sudut  pandangannya sendiri.  Hal  itu  terlihat  dari
episode  yang  dikisahkan juga dalam buku ini,  ketika  Buya Hamka
berkunjung ke Pakistan untuk menghadiri forum  Islam.

Ketika forum itu memutuskan Gerakan Ahmadiyah sebagai  paham yang  terlarang
dalam Islam , maka Buya Hamka membakar buku-buku  yang diterimanya dari
Gerakan Qadiani tsb. Kita  tidak usah  terkejut karena  orang seperti Buya
Hamka  masih  juga berbudaya  “ membakar buku “ , karena sikap itu timbul
dari sikap keagamaan yang dibentuk sumber pemikiran absolut  yang bersifat
sangat  eksklusif dalam  memperlakukan  kebenaran.  Terlepas  dari setuju
atau tidaknya kita kepada “ budaya   “ seperti  itu,  Buya  Hamka bukanlah
orang satu-satunya  yang bersikap  seperti itu. Itu adalah bagian dari “
keulamaan  “ yang  dibentuk oleh sumber pemikiran yang sudah puas  dengan
kebenarannya sendiri” (halaman 34,35).

Episode yang dimaksud  Abdurrahaman Wahid itu adalah  bagian tulisan  H.
Achmad  Syathari yang berjudul “ Hamka  Manusia Biasa “  dalam buku itu.
maka berceritalah H.Achmad Syathari sbb:  “  Dipenghujung  1957, Pemerintah
Pakistan  mengadakan Pertemuan   Islam   Internasional   (International
Islamic Colloquium).  Buya  Hamka  dan  sejumlah  tokoh-tokoh  Islam
Indonesia  lainnya juga hadir. Pertemuan ini  ditandai  atau diwarnai
perdebatan  yang sengit, ketika  bahasan  berkisar tentang  Ahmadiyah .
Sebagaimana layaknya suatu  perdebatan, ada  yang pro dan kontra . Buya
termasuk dalam kelompok yang menentang”.

Cerita  berikutnya  adalah ketika Buya  kembali  kehotelnya. Untuk
menghilangkan kepenatan dan mengusir  udara  dingin, beliaududuk
santai   sambil;   menghangatkan   badanya diperapian.   Saat  itulah,
tokoh-tokoh  Ahmadiyah   datang berkunjung kekamarnya, sambil menyerahkan
setumpuk buku buku tentang   Ahmadiyah.  Nampaknya  tokoh-tokoh   Qadiani
itu berusaha  untuk  meyakinkan Hamka tentang  kebenaran  Ajaran Ahmadiyah.
Setelah mengucapkan terima  kasih  atas  “kebaikan”  tamunya  itu,  yang
telah memberikan  setumpuk buku-buku gratis ,  dan  konon  katanya ilmiah
pula , Hamka kembali duduk didepan perapian. Kejadian berikutnya sungguh
tidak diduga  Setumpuk  buku-buku  Ahmadiyah yang baru  saja
diterimanya, satu  demi satu dibakar dalam perapian. “Ah , lumayan  untuk
menambah hangatnya badan . Rupanya orang Ahmadiyah itu  baik hati,  mau
datang kekamar saya membawa bahan bakar  ,disaat kayu  dalam  perapian
hampir habis”, kata  Hamka(halaman 265).

Bagaimana  pandangan  Abdurrahman   Wahid   mengenai peristiwa  ini?   Dalam
tulisan pengantar buku  tsb,  beliau mengatakan bahwa sikap ulama-ulama itu
adalah suatu kepicikan dalam   pandangan  yang  merupakan  bagian  keulamaan
yang dibentuk  oleh  sumber  pemikiran  yang  sudah  puas  dengan
kebenarannya  sendiri. Penilaian Gus Dur  ini  memang  sudah sewajarnya  .
Betapa tidak, bahwa ulama-ulama sudah  mengganggap  buku-buku  itu  begitu
berbahayanya   sehingga perlu dibakar

Wassalam,

Adi NS




RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar-- subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===