Re: [R@ntau-Net] Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain (Membaca vs TV)

2004-02-16 Terurut Topik -- (*o*) --

- Original Message - 
From: "Aber Jambak" <[EMAIL PROTECTED]>

***

Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan sikap reaktif Fathimah dan Hussain 
terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas di depan mereka. Betapa saya banyak 
bersikap acuh tak acuh ketika melihat tayangan yang 
seyogyanya sudah tidak pantas dikonsumsi lagi (bahkan untuk dewasa, apalagi untuk anak 
seusia mereka?!?!).



Kotabaru, Yogyakarta

Maulana Muzaqi



> berapa sih usia kakak beradik ini? tapi, hebat juga pendidikan sex fatimah dan 
hussain ini ya, kecil-kecil sudah sanggup melihat pantat inul dari sudut pandang 
pornografi. mudah2an reaksi mereka murni faktor ikutan, transfer ngeres pikiran orang 
dewasa yg mereka serap tanpa preseden.  saya tak tega membayangkan, bila mereka masih 
usia sd, yg mereka ingat adalah adegan ranjang saat memandang pantat inul yg 
berputar-putar tsb. mudah2n paman-paman dan tante2 yg lain di rn cukup waras, tidak 
ikut2an seperti paman yg menulis artikel ini, mengajari kemenakannya untuk ngeres kala 
melihat pantat perempuan dewasa berputar-putar. kasihanilah para kemenakan anda...

--Gm



Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net



[R@ntau-Net] Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain (Membaca vs TV)

2004-02-10 Terurut Topik Aber Jambak




Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain (Membaca vs TV)
Publikasi: 10/02/2004 08:46 WIB
eramuslim - "Iiihhh... malu..." Fathimah menjerit kecil sambil 
menutupi matanya. Begitu pula Hussain, sang adik langsung ikut berucap,"Matiin 
aja Om, tipinya...". Saya dan istri tak urung menjadi salah tingkah dibuatnya. 
Memang siang itu, kebetulan di salah satu acara infotainment TV swasta sedang 
diulas beberapa selebriti yang akan menghabiskan waktunya di acara penghujung 
tahun 2003, salah satunya adalah Ibu Inul Daratista yang --maaf-- dengan goyang 
ngebor sporadisnya nyaris mendominasi layar TV 21 inch saya. 
Dan secara tak sengaja, dua bocah balita itu sedang konsentrasi melihat 
acara-acara yang ada sambil sesekali mengganti channel, tapi siapa nyana, mata 
dua anak itu tertumbuk pada acara yang memang secara fithrah merupakan tontonan 
aneh bagi mereka, maka tak ayal terlontarlah respon seperti itu...
Langsung saja saya rebut remote control TV yang sedang Hussain pegang, dan 
saya tekan tombol OFF tanpa babibu lagi."Fiuuuh..., aman", batin saya. Tapi tak 
berhenti sampai disitu, Fathimah masih saja menutupi kedua matanya dengan 
tangannya, masih sambil bergumam,"Iiiih... malu, ih maluuu..." Lho...?!?!
***
Sudahkah anak-anak kita merespon begitu cepat setiap tontonan yang mereka 
saksikan di layar TV...? Sudahkah kita merasa aman kalau dengan membiarkan 
anak-anak kita duduk manis berlama-lama di depan TV dibanding berkotor-kotor 
dengan teman-temannya di halaman...? Sudahkah kita mempunyai anak-anak yang 
responsif dan reaktif dengan tontonannya seperti layaknya Fathimah dan 
Hussain...?
Saya disini bukan ingin mengajak berdebat kusir masalah klasik mengenai 
apakah TV memang layak untuk anak-anak kita ataukah tidak. Saya yakin kita semua 
akan berpolemik panjang mengenai itu semua. Tapi yang membuat saya 
tergelitik adalah kemampuan kita (baca:orang tua) untuk memberikan pengaruh 
(influence) kepada anak-anak kita terhadap semua yang diberikan TV sehingga 
anak-anak kita akan mampu dengan sendirinya mempunyai daya kekebalan 
(immunne) terhadap acara-acara nyeleneh yang tidak patut ditonton oleh 
mereka.
Saya iseng-iseng menemukan artikel di internet mengenai korelasi negatif TV 
dan anak-anak ini, yang merupakan tulisan dari Dr. Ellen Abell (Extension Family 
and Child Development Specialist, Alabama Cooperative Extension System, U.S.A), 
dia kurang lebih mengatakan seperti ini,"The visual nature of television or 
other media stimuli do not develop the part of the brain responsible for 
language. Children who watch too much television and do not read enough may have 
trouble paying attention and listening to comprehend language. It's important 
that parents take time reading out loud to their children and help them 
develop their own reading and comprehension skills. I suggest that parents make 
plans with their children for weekly television viewing. Select shows that you 
will allow children to watch instead of leaving the television on all the 
time".
Nah, disini kita kembali diusik untuk jujur pada diri kita sendiri, apakah 
kita sudah menempatkan TV sebagai satu-satunya hiburan rohani yang menyegarkan? 
Apakah kita tidak bisa menemukan alternatif hiburan selain apa yang disuguhkan 
TV kepada kita? Apakah semua informasi akan out of date dari ingatan kita 
manakala TV tidak menghiasi pandangan kita setiap hari? 
Kembali kita harus menghadapi hal yang retoris, dilematis bahkan ironis. Dari 
artikel yang saya kutip diatas, Dr. Ellen sudah memberikan alternatif (bahkan 
bukan sekedar alternatif, tapi bisa menjadi solusi), yaitu hidupkan budaya 
membaca!
Membaca bisa memberikan kesan visual dan imajinatif tak kalah hebat dengan TV 
(tentunya buku yang dibaca haruslah menarik dan atraktif menurut usia dan pola 
fikir anak), apalagi ditambah dengan bantuan orang tua yang bisa memberikan 
atmosfir yang hidup untuk suasana baca tersebut. Banyak anak malas membaca 
karena kurangnya motivasi dari orang tua terhadap mereka, bukan karena memang 
mereka tidak bergairah membaca.
Dan mungkin yang kedua adalah, jangan sungkan dan bosan untuk selalu 
menanamkan kepada anak apa-apa yang haq dan yang bathil baik secara teoritis 
maupun aplikatif. Yang ingin saya utarakan adalah, sering kita menasehati anak 
tanpa kita berusaha untuk menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi mereka. 
Walhasil, mereka akan gamang dalam menentukan sikap. Praktisnya, tingkah laku 
anak bisa jadi adalah cerminan (mir'ah) dari pola didik yang diterapkan orang 
tuanya kepadanya.
***
Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan sikap reaktif Fathimah dan 
Hussain terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas di depan mereka. Betapa 
saya banyak bersikap acuh tak acuh ketika melihat tayangan yang seyogyanya 
sudah tidak pantas dikonsumsi lagi (bahkan untuk dewasa, apalagi untuk anak 
seusia mereka?!?!).
Sambil memangku Hussain, saya melihat geli ke arah istri saya yang sedang 
"ditodong" oleh Fathimah untuk membacakan sebuah novel anak