Belajar Malu Dari Fathimah dan Hussain (Membaca vs TV)
Publikasi: 10/02/2004 08:46 WIB
eramuslim - "Iiihhh... malu..." Fathimah menjerit kecil sambil
menutupi matanya. Begitu pula Hussain, sang adik langsung ikut berucap,"Matiin
aja Om, tipinya...". Saya dan istri tak urung menjadi salah tingkah dibuatnya.
Memang siang itu, kebetulan di salah satu acara infotainment TV swasta sedang
diulas beberapa selebriti yang akan menghabiskan waktunya di acara penghujung
tahun 2003, salah satunya adalah Ibu Inul Daratista yang --maaf-- dengan goyang
ngebor sporadisnya nyaris mendominasi layar TV 21 inch saya.
Dan secara tak sengaja, dua bocah balita itu sedang konsentrasi melihat
acara-acara yang ada sambil sesekali mengganti channel, tapi siapa nyana, mata
dua anak itu tertumbuk pada acara yang memang secara fithrah merupakan tontonan
aneh bagi mereka, maka tak ayal terlontarlah respon seperti itu...
Langsung saja saya rebut remote control TV yang sedang Hussain pegang, dan
saya tekan tombol OFF tanpa babibu lagi."Fiuuuh..., aman", batin saya. Tapi tak
berhenti sampai disitu, Fathimah masih saja menutupi kedua matanya dengan
tangannya, masih sambil bergumam,"Iiiih... malu, ih maluuu..." Lho...?!?!
***
Sudahkah anak-anak kita merespon begitu cepat setiap tontonan yang mereka
saksikan di layar TV...? Sudahkah kita merasa aman kalau dengan membiarkan
anak-anak kita duduk manis berlama-lama di depan TV dibanding berkotor-kotor
dengan teman-temannya di halaman...? Sudahkah kita mempunyai anak-anak yang
responsif dan reaktif dengan tontonannya seperti layaknya Fathimah dan
Hussain...?
Saya disini bukan ingin mengajak berdebat kusir masalah klasik mengenai
apakah TV memang layak untuk anak-anak kita ataukah tidak. Saya yakin kita semua
akan berpolemik panjang mengenai itu semua. Tapi yang membuat saya
tergelitik adalah kemampuan kita (baca:orang tua) untuk memberikan pengaruh
(influence) kepada anak-anak kita terhadap semua yang diberikan TV sehingga
anak-anak kita akan mampu dengan sendirinya mempunyai daya kekebalan
(immunne) terhadap acara-acara nyeleneh yang tidak patut ditonton oleh
mereka.
Saya iseng-iseng menemukan artikel di internet mengenai korelasi negatif TV
dan anak-anak ini, yang merupakan tulisan dari Dr. Ellen Abell (Extension Family
and Child Development Specialist, Alabama Cooperative Extension System, U.S.A),
dia kurang lebih mengatakan seperti ini,"The visual nature of television or
other media stimuli do not develop the part of the brain responsible for
language. Children who watch too much television and do not read enough may have
trouble paying attention and listening to comprehend language. It's important
that parents take time reading out loud to their children and help them
develop their own reading and comprehension skills. I suggest that parents make
plans with their children for weekly television viewing. Select shows that you
will allow children to watch instead of leaving the television on all the
time".
Nah, disini kita kembali diusik untuk jujur pada diri kita sendiri, apakah
kita sudah menempatkan TV sebagai satu-satunya hiburan rohani yang menyegarkan?
Apakah kita tidak bisa menemukan alternatif hiburan selain apa yang disuguhkan
TV kepada kita? Apakah semua informasi akan out of date dari ingatan kita
manakala TV tidak menghiasi pandangan kita setiap hari?
Kembali kita harus menghadapi hal yang retoris, dilematis bahkan ironis. Dari
artikel yang saya kutip diatas, Dr. Ellen sudah memberikan alternatif (bahkan
bukan sekedar alternatif, tapi bisa menjadi solusi), yaitu hidupkan budaya
membaca!
Membaca bisa memberikan kesan visual dan imajinatif tak kalah hebat dengan TV
(tentunya buku yang dibaca haruslah menarik dan atraktif menurut usia dan pola
fikir anak), apalagi ditambah dengan bantuan orang tua yang bisa memberikan
atmosfir yang hidup untuk suasana baca tersebut. Banyak anak malas membaca
karena kurangnya motivasi dari orang tua terhadap mereka, bukan karena memang
mereka tidak bergairah membaca.
Dan mungkin yang kedua adalah, jangan sungkan dan bosan untuk selalu
menanamkan kepada anak apa-apa yang haq dan yang bathil baik secara teoritis
maupun aplikatif. Yang ingin saya utarakan adalah, sering kita menasehati anak
tanpa kita berusaha untuk menjadi teladan yang baik (uswah hasanah) bagi mereka.
Walhasil, mereka akan gamang dalam menentukan sikap. Praktisnya, tingkah laku
anak bisa jadi adalah cerminan (mir'ah) dari pola didik yang diterapkan orang
tuanya kepadanya.
***
Saya bersyukur Allah SWT menasihati saya dengan sikap reaktif Fathimah dan
Hussain terhadap hal-hal miring yang terpampang jelas di depan mereka. Betapa
saya banyak bersikap acuh tak acuh ketika melihat tayangan yang seyogyanya
sudah tidak pantas dikonsumsi lagi (bahkan untuk dewasa, apalagi untuk anak
seusia mereka?!?!).
Sambil memangku Hussain, saya melihat geli ke arah istri saya yang sedang
"ditodong" oleh Fathimah untuk membacakan sebuah novel anak