Terbuang
Oleh Riz Koto 

"Menurut Uda, iya patut Edi yang memegang surat itu. Uni wa-ang ya...
walaupun kakak, kan padusi. Supik, apalagi. Iya tu, bawalah ke Jawa."
Begitu kata Uda Khaidir, suami kakak perempuan tertuaku. Wajahnya
terlihat memelas dan capek, mungkin karena terbawa oleh pertengkaran
kami beradik-kakak satu ibu yang sejak siang tadi belum juga reda. 

Kakakku yang tertua, Uni Saijah, ngotot dialah yang memegang semua surat
tanah ladang dan sawah pusaka kami yang luas, pusaka tinggi
turun-temurun kaum kami, di mana berdiri rumah gadang yang sudah jarang
dihuni namun masih kokoh. Masalahnya, aku beristri orang Jawa dan
tinggal di Jakarta serta jarang pula pulang ke Padang. Tambahan lagi,
adikku yang laki-laki juga beristri orang bukan orang Minang, Batak
pula. 

Menurut kakakku, Uni Saijah, hak mereka terancam bila aku memegang surat
itu karena istri-istri kami bisa saja memanipulasi hingga pusaka itu
jatuh ke tangan mereka. 

Sebelum meninggal tiga hari yang lalu, dan baru dikuburkan kemarin lusa,
pamanku telah berpesan waktu aku pulang sebulan lalu, ketika dia sakit
keras, bahwa semua soal warisan, sawah dan ladang, aku kini yang
"pegang". Dan itu dinyatakan mamak kami, Pandeka Sago, di hadapan Uni
Saijah dan Meinidar, juga Ina, adik perempuan terkecilku. Saman, adik
laki-lakiku, tidak hadir saat itu, tapi dia setuju saja. Bagaimana pun,
dia boleh dibilang akulah yang menyekolahkannya di Jawa hingga sekarang
menjadi tentara. 

Sebagai anak laki-laki tertua, memang akulah yang kini menjadi ninik
mamak setelah mamak kami meninggal. Dan seyogianya aku pulalah yang
memegang surat-surat tanah sawah dan ladang pusaka. Apalagi, secara
langsung mamakku telah beramanat bahwa akulah yang memegang dan
menguasai semua pusaka keluarga. 

Bagi aku sendiri, ini semua hanyalah beban. Sebagai orang Minang,
sebagai anak laki-laki yang menjadi ninik mamak, memang memegang
kekuasaan atas semua pusaka, melindungi rumah gadang beserta sawah dan
ladang. Namun, menurut adat pula, paling tidak yang dipahami keluargaku,
semua warisan dimiliki oleh kaum perempuan. Merekalah yang sebenarnya
punya. 

Entahlah, aku tak tahu persis aturan adat Minang yang sesungguhnya. Ada
keinginanku untuk menanyakan ke pangulu. Tapi perjuangan hidupku di
Jakarta tak pernah memberi kesempatan kepadaku untuk melakukannya.
Alhasil, adat Minang yang kuketahui soal pusaka ini ya seperti yang kami
percayai sekeluarga, seperti yang dicontohkan mamakku turun-temurun. 

Sebenarnya di batinku kini ada protes, yang sesungguhnya cukup keras:
bahwa sebagai anak lelaki di keluarga mestinya aku mendapat dua pertiga
seperti aturan Islam, agama yang kami peluk, yang dapat kunikmati
bersama anak-anak dan istriku. Paling tidak aku punya harapan dari hakku
sebagai pewaris laki-laki. Bukankah adat bersandi syarak, syarak
bersandi Kitabullah. 

Tapi, jangankan untuk meminta hak seperti itu, meminta hasil sawah dan
kebun sekali-sekali saja sebagai patigan, aku merasa berat. Takut dicap
sebagai tak beradat, tak punya harga diri di mata kaum. 

Alhasil, sampai sekarang aku terus mempertahankan kebesaranku tanpa
mendapat apa pun, bahkan terjebak dalam kebanggaan terus memberi, untuk
kemenakan-kemenakanku di kampung. 

Di situlah kebanggaan itu terus diikatkan. Kadang-kadang aku menangis.
Tidakkah mereka, paling tidak kakak dan adik-adikku yang perempuan itu,
merenungkan sedikit, apakah yang kudapat dari pusaka-pusaka yang luas
dan banyak itu, sebagai anak laki-laki, saudara laki-laki mereka yang
siap berperang. Aku benar-benar temben, merasa jadi anak mande terbuang.


"Aaa... bilo jadi berangkat ke Jakarta?" Lamunanku terhenti oleh
pertanyaan Uda Khaidir. 

"Eh, oo... yaaa...." Uda Khaidir menatapku heran, wajahnya makin lelah.
Ada rasa kasihan di matanya. Pelan-pelan ia mengambil sebatang rokok
lalu menyulutnya, mengisapnya dalam-dalam, kemudian berkata dengan asap
menyembur dari mulutnya seolah letusan gunung berapi, bagiku. 

"Tak usah terlalu diperdalam benar," katanya pelan. "Inilah orang awak
ko, urang Minang, laki-laki yang punya kuasa, tetapi tidak memiliki."
Aku terhenyak. Aku tak menyangka Uda Khaidir memahami kegundahanku. 

"Aaa... kalau salah-salah, ada dua yang terjadi di awak. Nan pertama,
basibagak saja, kuasai semua. Aaa... kasihan nan perempuan. Mamak kaya,
tetapi kemenakan berceceran, hidup susah." Uda Khaidir mengisap rokoknya
lagi dalam-dalam. 

"Kalau tidak begitu, bila kemenakan banyak yang laki-laki, bunuh-bunuhan
jadinya dengan kemenakan. Aaa ini... tak satu dua kali terjadi." 

Uda Khaidir memperbaiki duduknya. Tanpa menatapku, dia melanjutkan
bicaranya. 

"Nan kedua, mamak banyak mengalah, takut sama kemenakan, kalah dengan
keserakahan kemenakan perempuan. Akibatnya, mamak banyak jadi penjaga
pusaka saja. Kalau ada masalah, mamak yang ke depan." Aku terdiam. Tak
tahu apa yang hendak aku katakan. Bagaimana pun, Uda Khaidir adalah
"orang luar". Bila salah-salah omong, bisa runyam jadinya. 

"Maafkan Uda ciek lu ya Ed... kalau uda salah kata. Ya... uda ini urang
luar, tapi uda iba ka si Edi." Oh, aku trenyuh. Rupanya Uda Khaidir
menangkap apa yang aku rasakan. Tapi di balik semua itu saya merasa
bangga punya urang sumando Uda Khaidir. Aku merasa punya kakak laki-laki
kandung. 

"Oh ndak, Uda. Tidak ada yang perlu dimaafkan, Uda benar. Terima kasih,
Da." Kami cukup lama saling diam. Asap rokok Uda Khaidir makin tebal
membubung, bersama membubungnya gundah di hatiku. 

"Entah kapan Edi balik ke Jawa, aaa... ini ada uang untuk beli tiket."
Aku kaget, dan belum dapat bereaksi uang itu sudah sampai di saku
bajuku. Aku hanya bisa menatap Uda Khaidir. Ingin aku memeluknya, tapi
kuurungkan karena pantang laki-laki Minang memeluk urang sumando-nya.
Aku hanya meraih tangannya, menyalaminya dan berterima kasih. 

Surat-surat pusaka itu kubawa ke Jakarta. Hanya itu. 

* * *

* Jakarta, 2007

Catatan:

 
padusi  = perempuan




patigan = sepertiga hasil sawah/ladang 
          untuk keperluan kaum, termasuk untuk mamak
pangulu = penghulu, kepala suku
temben  = bloon
mande   = ibu ciek= satu, sebagai penegas
urang sumando= ipar
ko      = ini
bilo    = kapan
wa-ang  = kamu (laki-laki)
basibagak = jagoan
ka      = ke
lu      = dulu
 

 


The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you.

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke