Indra J. Piliang : Pak JK yang Saya Kenal


Saya belum lama mengenalnya. Sudah lama saya tahu namanya. Dalam
berbagai artikel, saya menulis namanya, sejak tahun 2003. Tetapi secara
pribadi, saya baru menjadi bagian dari langkah politiknya dan mengenali
lebih dekat sekitar bulan Agustus 2008, tatkala saya beberapa kali
datang sholat Jumat di Istana Wapres.



Dia selalu menyapa hangat: “Apa kabar?”, kalau sempat bersalaman. Kalau
tidak, dia selalu mengangkat tangannya dari kejauhan: “Hai, Indra!” 



Sebagai orang yang belajar bahasa, sastra, sejarah, politik, terakhir
komunikasi, saya tentu tidak akrab dengan pilihan bahasanya. Terlalu
cepat, apa adanya, diwarnai dialeg khas Bugis, kadang seakan bergumam.
Kalau memimpin rapat, ia sering menulis angka-angka. Ingatannya luar
biasa pada nama dan angka.



Saya hanya mengikutinya dari kejauhan. Maklum, saya sibuk di Sumatera
Barat, daerah pemilihan saya. Pertama kali, dia yang mengirimkan sms ke
saya, menanyakan sesuatu. Tertulis di sana: “JK”. Saya perlu mengecek
ke teman2 saya yang lain, apa itu benar nomor hpnya. Ternyata benar.



Beberapa kali saya bertemu dengannya lagi, baik di Jakarta atau di
Sumbar. Sewaktu dia datang untuk menghadiri pertemuan Saudagar Minang,
saya sempat makan pagi dengannya di Hotel Bumi Minang. Dari sanalah
saya mengetahui lebih jelas tentang informasi politik kelas tinggi.



Ketika hasil pemilu legislative diumumkan, saya ada di Jakarta.
Rapat-rapat marathon dilakukan di rumah anaknya, Jalan Mangunsarkoro,
bersebelahan dengan rumah dinasnya di Jl. Diponegoro. Hanya sedikit
yang hadir dan mampir, pada awalnya. Bisa dihitung dengan jari jemari.
Baru lebih banyak lagi yang datang, ketika dia berpasangan dengan
Wiranto untuk menjadi Capres-Cawapres 2009-2014.



Semula, ketika Tim Kampanye Nasional belum dibentuk, saya menyiapkan
coretan-coretan naskah pidato deklarasinya di Tugu Proklamasi. Banyak
yang dia tambahkan, ketika dibacakan. Kedua kalinya saya membuat naskah
untuk bahan Dialog dengan Budayawan di Gedung Kesenian Jakarta. Naskah
itu ternyata hilang. Dia menelepon saya mendiskusikan poin-poinnya.



Seiring dengan penempatan saya sebagai Wakil Koordinator Bidang
Pencitraan, sejumlah rapat pun menyebabkan saya tidak lagi punya waktu
membuatkan naskah apapun. Waktu terus mengejar kami. Apalagi, saya juga
secara sporadic menjadi Juru Bicara. Saya hanya sempat bertemu malam
hari, itupun kalau memang menyempatkan diri datang ke Mangunsarkoro,
dalam beberapa kesempatan. Saya ikut merayakan hari ulang tahunnya ke
67, dengan beberapa orang saja, setelah jam 24.00. Ketika ikut
rombongan ke Palu, saya bahkan tidak sempat berbicara sepatah katapun
dengannya. Yuddy Chirsnandi, Dradjat Wibowo dan Mochtar Ngabalin yang
paling sering ikut bersama rombongannya. Saya memang memutuskan untuk
tidak ikut lagi dengan rombongan, karena merasa tidak mengerjakan
apa-apa. 



Praktis, saya lebih banyak di tim pencitraan yang menangani iklan,
event kampanye terbuka, dllnya. Juga, saya lebih banyak ke media massa,
terutama televise. Sebetulnya saya tidak terlalu ingin menjalankan
tugas ganda ini, tetapi banyak sekali permintaan dari media televise.
Kalaupun sudah dibagi dengan anggota tim yang lain, tetap saja minimal
sekali saya tampil dalam sehari di televise. Kadang, sampai tiga kali
sehari. 



Pukulan hebat dari tim sukses pasangan yang lain juga menyebabkan saya
harus tampil, sekalipun saya sering merasa jengah dan malu meladeni.
Saya masih terlalu muda. Setahu saya, di antara para juru bicara tim
sukses ketiga kandidat, yang seumuran hanya saya, Poempida Hidayatullah
dan Fadli Zon. Selebihnya adalah senior-senior kami: Mallarangeng
bersaudara, Jeffrie Geovanie, Hasto Kristanto, Maruarar Sirait, dllnya.
Di televise, kecuali dalam acara CSIS di TVRI, suasana debat sama
sekali dibangun berdasarkan isu-isu sesaat. Tapi bagaimanapun, harus
ditanggapi, sesuai dengan mandate yang diberikan kepada saya. 



Para tim sukses itu sudah lama saya kenal. Dengan Fadli Zon sama-sama
masuk UI tahun 1991. Andi Mallarangeng sudah sebelum 2004 dan pasca
itu, dalam masalah desentralisasi dan pembuatan buku. Rizal
Mallarangeng juga sudah lama, tahun 1995 barangkali, ketika ketemu di
ISAFIS. Dengan Rizal pernah satu kantor di CSIS dan Fox Indonesia.
Kalau melihat daftar Dewan Penasehat The Indonesian Institute yang
dikomandani oleh Anies Baswedan (silakan cek di website), sebagiannya
menjadi anggota tim sukses semua capres-cawapres. Dengan Bara Hasibuan
juga sama, yakni sama-sama pernah di DPP PAN, lantas sama-sama keluar
pada tgl 21 Januari 2001. Anas Urbaninggrum adalah orang yang mengisi
LK II HMI Cabang Depok dimana saya menjadi pesertanya tahun 1994. 



Sebagai juru bicara, tentu saya harus menjalankan instruksi. Yang
menilai penampilan saya adalah para senior. Memang, public sering
memberikan penilaian, terutama di hp dan media online yang saya rasakan
dengan cepat “memenggal” sesuai dengan yang mereka maui. Dalam
debat-debat itu, saya merasa sudah merasa bicara keras, tetapi tatkala
ada rapat, sering malah dikatakan kurang keras. Kalau mengikuti hati
nurani, saya tidak ingin bicara keras. Masyarakat Indonesia, terutama
kaum ibu – termasuk istri dan ibu saya --,tidak menyukai pembicaraan
yang keras. 



Dalam hal ini, saya tentu berhadapan dengan himpitan beragam opini.
Terus terang, saya merasa sendirian dalam mengambil keputusan tentang
mana yang wajar, mana yang keras. Namun sampai kampanye berakhir, tidak
ada dari yang saya katakan masuk kategori black campaign, apalagi
sampai kena somasi atau gugatan pihak lain. Orang mungkin menilai saya
terlalu keras mengatakan bahwa Istana Bogor dipakai untuk hajatan
keluarga, tetapi apa yang saya sampaikan adalah fakta, bukan fitnah. 



Dalam seluruh penampilan itu, hanya 2 kali saya mendapat “teguran” halus dari 
Pak JK. 



Pertama, soal komposisi cabinet. Dalam diskusi di DPR memang saya
katakan bahwa dibandingkan dengan 24 partai politik SBY-Boediono, tentu
cabinet yang ingin dibentuk JK Wiranto lebih sedikit. Saya menyebut
angka: 20 kursi, dengan asumsi menteri coordinator dihilangkan. Sayang,
kalimat saya dikutip tidak utuh, sehingga yang terkesan adalah
pembubaran sejumlah kementerian. Padahal, bukan itu yang saya
maksudkan, karena Pak JK sendiri mengatakan bahwa dibandingkan dengan
jumlah penduduk, maka jumlah PNS di Indonesia masih sedikit. “Teguran”
soal cabinet ini disampaikan oleh Yuddy via sms. 



Kedua, soal ujian akhir nasional. Dalam debat di Metro TV, saya memang
mengkritik soal UAN ini, karena banyak sekali mendapatkan protes di
media massa dan juga dari orang-orang yang sms saya. Pak JK, dalam satu
kesempatan kemudian, mengatakan ke saya: “UAN itu ide saya.” Saya masih
mencoba menyanggahnya: “Kan bisa direvisi, Pak?” Pak JK kembali
menjelaskan intinya bahwa diperlukan standarisasi peserta didik. 



Hanya dua hal itu. Selebihnya, tidak ada masalah. Dialog saya dengan
Pak JK banyak dilakukan via sms, tetapi maksimal 2 sms sehari. Saya
tahu Pak JK sibuk, sehingga membatasi sms yang saya kirim. 



Pak JK tidak pernah marah. Sekalipun terlihat mengantuk, kalau kita
masih di sampingnya, maka dia akan selalu berdiskusi tentang banyak
hal. Diskusi keras sekalipun. Biasanya, kalau sudah malam dan dikode
oleh Paspampres, saya berinisiatif izin duluan, lalu di pos jaga saya
sms teman-teman yang ada di dalam untuk pulang. Pak JK tidak pernah
menunjukkan muka “mengusir” tamu-tamunya, selelah apapun dia. 



Saya beruntung sekali mengenalnya dan menjadi bagian dari Tim
Suksesnya. Bagi saya, dia terlalu sederhana untuk posisinya. Dia
terlalu apa adanya. Benar, dia senang mengatakan bahwa segala sesuatu
yang dia kerjakan adalah usahanya, idenya. Saya tidak melihat itu
sebagai suatu hal yang berlebihan, sebagaimana saya juga akan mengklaim
artikel-artikel yang saya tulis yang jumlahnya ratusan, sekalipun saya
bekerja di CSIS, dulu. 



Barangkali, karena dia adalah Wapres, maka orang-orang mengatakan bahwa
dia tidak berhak mengatakan prestasi itu. Atau, barangkali karena dia
adalah seorang Jusuf Kalla, maka dia dianggap kurang etis, kurang
santun, ketika menyatakan sesuatu yang memang dia kerjakan
sungguh-sungguh, dengan sepenuh hati. Kalau begitu, apakah saya juga
tidak berhak mengatakan bahwa ada dua naskah pidato yang saya serahkan
ke Pak JK, dengan alasan bahwa yang Capres adalah Pak JK? Saya tidak
terlalu mengerti, dimana letak kesalahan Pak JK dalam soal ini. 



Saya kira, inilah mentalitas yang buruk itu, ketika segala kesalahan
Orde Baru ditumpukan ke pundak Soeharto, bahkan oleh orang-orang
terdekatnya! Apakah ini juga akan terulang kepada presiden manapun?



Kini, ketika JK-Wiranto dinyatakan kalah oleh quick count, kembali
seluruh kesalahan ditimpakan kepadanya. Saya sungguh tidak mengerti
sama sekali pikiran ini. Kenapa orang-orang tidak menyalahkan saya
saja, sebagai perpanjangan lidah Pak JK di public? Kenapa mesti Pak JK
yang disalahkan, ketika dia kalah? Apakah hal yang sama juga akan
terjadi, ketika Pak JK menang atau Pak SBY menang? Akankah semua orang
itu mengatakan bahwa kemenangan JK atau SBY adalah semuanya karena JK
atau SBY? 



Inilah misteri dari logika itu: ketika orang-orang itu menyalahkan Pak
JK, orang-orang itu ingin mengatakan sebaliknya bahwa merekalah yang
membantu Pak SBY mengalahkan Pak JK. Merekalah yang berjuang untuk
melarikan konstituen Partai Golkar ke SBY, sehingga patut diapresiasi.
Mudah-mudahan misteri dari logika ini tidak terbukti. 



Pak JK telah kalah, tapi dia tidak salah. Yang salah adalah saya! Kalau
tidak ada yang mau mengakui bahwa mereka salah, silakan timpakan
seluruh kesalahan Pak JK ke saya. Dan saya tidak dibayar sesenpun untuk
ini, demi nama baik ayah dan ibu saya yang menjadi petani di Basung,
Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman sana dan kakak-adik saya yang
jualan sate dan nasi Padang! Biarlah kesalahan Pak JK di mata
orang-orang itu menjadi kesalahan saya, seluruhnya. 



Saya belum lama mengenalnya, tapi saya tahu, betapa mimpinya begitu
besar untuk Indonesia. Sebagian besar belum terwujud, namun saya tahu:
akan ada jalan Allah SWT untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, lewat jalur
yang lain. 



Jakarta, 11 Juli 2009.

Naskah ini adalah pandangan pribadi saya, seluruh tanggungjawabnya ada pada saya

Indra Jaya Piliang,

Diteruskan dengan izin penulis

Romi Pernando
Jakarta



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke