Tapak constitutional democracy telah di rintis di Indonesia. Pemikiran Pak 
Natsir dan gerakan Masyumi berjasa besar penapakan ini. Tugas generasi baru 
Indonesia ialah menegakkan semula constitutionalism ini.  
  
Semenjak dahulu hingga sekarang kekentalan rasa keserumpunan, kejiranan dan 
keserantauan Sdr. Anwar Ibrahim tetap kukuh, tidak pernah luntur. Walaupun di 
kotak kotakkan dalam kerangka sistem rupa bangsa, jiwa keserumpunan, kejiranan 
dan keserantauan masih menebal. 
  
12 Jan 09 
Natsir, Politikus Intelektual
Oleh ANWAR IBRAHIM
(Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia) 
 
PERTEMUAN pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim 
dengan Indonesia . Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik 
di antara kedua negara— Indonesia dan Malaysia —pulih setelah mengalami 
konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu Indonesia dari sedikit 
pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka, dan 
lain-lain.
Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari 
Lebaran melalui Radio Republik Indonesia siaran Medan , yang saya dengar di 
kampung saya di Pulau Pinang . Ayah saya, yang ketika itu anggota parlemen dari 
partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya ini.
 
Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan 
beberapa pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana 
menemui kekasih yang belum pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi 
Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru 
berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan 
melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin 
Masyumi—aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia—saya lebih 
banyak mendengar dari berkata-kata.
 
Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu 
adalah sosok, sikap, dan tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan 
dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di sana saya dibawa ke sebuah toko buku 
Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu. Toko buku tersebut 
merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur, 
Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological 
Studies. Di toko itu, dan di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua 
buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta, lantas membelinya.
 
Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, 
serta ideologi dalam perjuang­an dan gerakan politik. Saya kagum terhadap 
intelektualitas dan gagasan para filsuf. Melalui Capita Selecta saya tampak 
sosok intelektual Mohammad Natsir. Melaluinya saya mengenali Henri Pirenne, 
nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan 
polemik besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun 
Barat. Muhammad et Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan 
bagaimana Islam menjadi faktor penentu ­dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis 
ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum di kalangan sarjana 
bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi 
rasionalisme, dan humanisme.
 
Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya 
diperkaya oleh imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan 
politik mutakhir. Tatkala saya sudah membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia , 
beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial di Malaysia, dengan 
kehadiran jumlah masyarakat Cina , India , dan lain-lainnya yang substantif. 
Beliau sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di 
antara organisasi Islam dan masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri 
Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering meng­ulangi pesan 
Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung 
sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina 
prasarana sambil memusnahkan lingkungan.
 
Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford , Inggris, dan beberapa universitas 
lainnya di Amerika Serikat, khususnya di Universitas Georgetown . Di 
universitas ini saya memberikan mata kuliah yang khusus tentang rantau ini, 
karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur Tengah dan 
negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga 
muncul persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi.
 
Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil 
terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka 
mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah ”demokrasi 
konstitusional” di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan 
compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. 
Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi 
sebagai pelopor constitutional democracy di dunia membangun selepas Perang 
Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul 
The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
 
Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau 
berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar 
Said Co­kroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di negara Arab kita 
menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh 
islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas 
Al-Azhar. Di Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara 
Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha 
Hussain dan tokoh-tokoh Islam.
Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan 
Islam, dengan intelektual muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna 
bagi generasi muda muslim di Malaysia. Di Kuala Lumpur hari ini terdapat 
anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka juga sebahagian 
dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang 
negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih 
relevan dalam negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia .
 
Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia­ ialah Fiqud Dakwah. 
Saya selaku Presiden ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke 
dalam edisi­ Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi ka­mi.­ Saya 
begitu terkesan oleh buku ini karena metode dak­wahnya bersifat moderat dan 
berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi 
orga­nisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana.
 
Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan 
Sukan, saya berkunjung ke Indonesia . Saya ingin menemui Pak Natsir di 
kediamannya, tapi beliau lebih dulu menemui saya di hotel. Saya sangat terharu 
karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia merupakan pemikir Islam besar. 
Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi.
 
Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan 
Petisi 50. Ternyata pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde 
Baru. Maka, ketika saya menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir 
ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami hanya mengobrol secara 
umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam 
mendengar penjelasan saya.
Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di 
hospital ketika beliau sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya 
sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasakan layanan sebegini tidak layak 
untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau mendapat layanan yang 
lebih baik. 
Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah berpulang ke 
rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang 
adil dari luar rantau ini.
*Artikel ini telah disiarkan dalam majalah Tempo edisi 14 Julai 2008.
http://anwaribrahimblog.com/2009/01/12/natsir-politikus-intelektual/#more-4838
 
 
  
  
  
  
  
  
 


      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke