Yth Pak Saaf, Saya bisa memahami "niat baik" yang ditawari deklarasi global tersebut, walau masih mempertanyakan asal-usul perumusan nilai, seperti misalnya apakah sekedar sikap antiklimaks dari kebuasan imprealisme, penonjolan politik etis untuk kamuflase sikap terhadap new emerging countries-kah, suatu bentuk baru dari imprealisme-kah, dan lain sebagainya; sehingga sampai pada pertanyaan : berasal dari akar falsafah kemasyarakatan apa nilai-nilai itu dirumuskan. Kemudian kenyataan yang telah berlangsung hingga hampir 60 tahun, apakah telah terbangun persamaan hak, ataukah malah menimbulkan tiran baru yang berdiri atas nama moralitas dan hak asasi manusia. Apakah memang tidak ada setiap sudut perkampungan di dunia ini kelompok masyarakatnya tidak bisa dan tidak berkemampuan merumuskan falsafahnya sendiri mengenai hak-hak dasar manusia itu, sehingga harus meresepsi dan meratifikasi sistem nilai global tersebut yang seakan-akan benar secara universal. Belum lagi bila sistem ini harus diperbandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam kitab suci. Bila khazanah kebudayaan kita sendiri memiliki potensi untuk diungkapkan nilai kemanusiaan dan nilai kemasyarakatannya, kenapa hal ini tidak kita lakukan secara mandiri? Pada kenyataannya orang-orang Barat sendiri melakukan hal itu, di Eropah Barat dan Amerika Serikat mereka menonjolkan sistem HAM yang mereka bangun dari kultur mereka sendiri. Umpatan fascist akan sering bapak dengar di perkampungan non-pri atau migrant; sehingga kenyataannya HAM universal itu secara de facto tidak berlaku di negara-negara tersebut. Namun anehnya mereka memaksakan sistem nilai itu ke negara-negara berkembang atau negara-negara pesaing mereka dengan berbagai cara. Beruntung India memiliki Gandhi yang memiliki karakter yang sangat kuat, menanamkan ahimsa dsb sebagai karakter bangsa, sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan HAM universal tersebut. Di Indonesia, bangsa Minangkabau dan Aceh menurut pendapat Belanda sendiri adalah bangsa-bangsa yang memiliki karakter kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kuat. Kalau boleh saya berpendapat, bangsa Minangkabau justru memiliki karakter yang paling kuat dari seluruh suku bangsa di Indonesia ini. Begitu kuatnya sehingga mereka berani menampilkan identitas diri di sekitar istana negara, Papua, wilayah perbatasan, hingga sampai ke Belanda sendiri. Saya sudah pernah bercerita tentang hal itu. Kalau boleh saya meneruskan cerita, tentang guru saya bernama Kisdaryono almarhum. Beliau bergelar Ir in electrical engineering, MSc in electrical engineering, MEd in education, MScSoc in social science, PhD in sociology, sekedar menunjukkan kredibilitas akademis beliau, dan beliau termasuk pengagum "Sociology Reinterpreted"-nya Peter L Berger. Dalam salah satu kuliah beliau menjelaskan tentang "fenomena Malin Kundang", yaitu fenomena seseorang yang pergi lama merantau. Di rantau pola pikirnya berubah karena tata nilai yang berbeda. Ketika kembali ke kampung, dia mendapatkan kondisi yang tidak sesuai dengan harapannya, sehingga mulai mengingkari berbagai hal. Fenomena seperti ini adalah khas untuk Minangkabau, saya tidak menemukan di daerah lain. Paling hanya bertemu dengan Sampuraga di Tapanuli Selatan. Kalau di Sunda kita mengenal kisah incest Sangkuriang, di Melayu kisah pungguk merindukan bulan, di Jawa kisah selendang bidadari Jaka Tarub, dsb. Ternyata bukan hanya legenda orang Pantai Aia Manih Padang saja, juga dapat ditemukan hampir di seluruh nagari di Minangkabau. Di Sulit Air saja sudah ada 2 prasasti tentang hal itu, satu Batu Tagantuang di Taram dan dua Batu Taonggok di lereng Gunung Merah Putih. Karena itu saya menghargai upaya bapak untuk menggali akar budaya kita sendiri bila itu untuk memantapkan jatidiri kita sebagai orang Minang. Wassalam.
"Dr.Saafroedin BAHAR" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamualaikum w.w. Ananda Dt Endang, Karena kita sudah beralih topik, maka judul 'Perempuan Minang' tersebut di atas sebaiknya kita ganti jadi 'Hak Asasi Manusia'. Saya bergembira Ananda berminat terhadap hak asasi manusia ini dan merasa mendapat kehormatan dengan permintaan Ananda untuk menerangkannya. Kebetulan saya menggeluti bidang ini selama 12 tahun di Komnas HAM, dan akan lengser akhir Agustus 2007 mendatang. Pada tahun 2002 dahulu terdorong oleh kebutuhan untuk mempunyai gambaran yang agak komprehensif tentang hak asasi manusia dan yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia, saya menulis dan -- dengan bantuan rekan saya Drs Bambang W Soeharto -- menerbitkan sebuah buku lengkap mengenai tema ini, dengan judul: "Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia", 781 halaman pokok, dan xli halaman tambahan. Kata Pengantar oleh Prof Miriam Budiardjo. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Sekiranya Ananda benar-benar berminat, dengan senang hati akan saya kirimkan satu copy. Tolong dikirim alamat Ananda. Saya merasa berbahagia mendapat kesempatan menangani hak asasi manusia ini, yang sejak tahun 2004 saya fokuskan pada perlindungan hak masyarakat hukum adat. Dengan menangani hak asasi manusia dalam lembaga negara yang khusus dibentuk untuk itu, bukan saja saya mendapat kesempatan manangani kasus-kasus khusus hak asasi manusia, tetapi juga untuk memprakarsai kebijakan negara yang terkait dengan itu. Dengan cara itu, secara tidak langsung dan secara kecil-kecilan sesuai dengan posisi saya, saya merasa ikut mempersiapkan suatu Indonesia yang tidak lebih buruk dari keadaan sekarang, kalaulah tidak akan lebih baik, bagi anak cucu saya. Dalam hubungan ini rasanya perlu kita persamakan dahulu pemahaman kita tentang hak asasi manusia. Secara yuridis formal, hak asasi manusia itu diakui sebagai hak yang melekat dengan diri setiap orang, yang perlindungan dan pemenuhannya dipertanggungjawabkan kepada negara cq pemerintah. Dengan kata lain, perwujudan hak asasi manusia itu tidaklah secara serta merta, tetapi masih memerlukan usaha dan tindak lanjut, sehingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 tersebut mensifatkan hak asasi manusia sebagai 'common standards of achievements for all peoples and all nations". Sebagai konsekuensinya, sudah barang tentu wujud hak asasi manusia akan berbeda antara suatu negara dengan negara lainnya, antara negara yang sudah maju dengan negara yang belum maju, antara negara yang menghornati hak asasi manusia dengan yang tidak menghomati hak asasi manusia, antara negara imperialis dengan negara terjajah. Oleh karena itu memang akan sangat menarik untuk mengetahui bagaimana proses kelahiran instrumen- instrumen hukum internasional hak asasi manusia ini, baik pada taraan internasional maupun pada tataran nasional. Hanya dibutuhkan tiga tahun [1945-1948] untuk lahirnya Deklarasi Universsal tersebut, tetapi dibutuhkan waktu 18 tahun sesudahnya (1948-1966) untuk disahkannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dibutuhkan waktu 40 tahun pula sesudahnya oleh Republik Indonesia untuk meratifikasi kedua kovenan ini menjadi Undang-undang Nomor 11 dan 12 Tahun 2005. Sudah barang tentu tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara besar mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan instrumen hukum internasional hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa negara-negara kecil tidak dapat menyuarakan dan membela pendiriannya. Kecuali di Dewan Keamanan yang mengenal adanya hak veto, umumnya pengambilan keputusan dilakukan dengan voting, sehingga jumlah yang besar dari negara-negara kecil akan dapat mengalahkan segelintir negara-negara besar. Jadi tak usah terlalu berkecil hati, Ananda. Saya mengerti bahwa kesibukan Ananda menyulitkan Ananda untuk menulis makalah untuk Semiloka tanggal 19-21 Juni mendatang. Tidak apa, karena kompleksitas masalah yang akan dibahas tidak akan selesai dalam waktu tiga hari tersebut. Masih cukup waktu untuk menelaahnya lebih lanjut. Namun, sekali lagi dan secara sungguh-sungguh saya mengajak Ananda untuk menuliskan pandangan Ananda secara utuh tentang adat dan masyarakat hukum adat Minangkabau, sehingga para sanak sapalanta ini tidak hanya mendapat gambaran sepotong-sepotong saja tentang pandangan Ananda, seperti selama ini. Saya berterima kasih kepada para penulis masalah adat yang telah menulis buku-buku adat yang banyak sedikitnya bersifat komprehensif, seperti Idrus Hakimi Dt Radjo Penghulu yang saya kenal dekat sewaktu saya masih aktif di LKAAM Sumbar, 1966-1972, atau Bp Amir M.S. Dt Mangguang nan Sati sekarang ini. Seperti pernah saya sampaikan tempohari, saya berharap banyak pada Ananda untuk menulis tentang ABS SBK, secara utuh dan tidak secara sepotong-sepotong. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa akan banyak bedanya jika kita mempunyai wawasan yang luas, dengan jika mempunyai wawasan yang sebagian demi sebagian saja. Ada contoh yang sudah kuno mengenai hal ini, yaitu tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui bagaimana wujud gajah. Bagi yang satu, gajah itu seperti pohon, karena yang dirabanya adalah kaki gajah. Bagi yang lain, gajah itu seperti cemeti, karena yang dipegangnya ekor gajah. Yang lain lagi membantah, gajah itu seperti goni besar, karena yang dirabanya adalah perut gajah. Saya percaya banyak yang mengharapkan pencerahan engkap Ananda tentang adat Minangkabau dalam hubungannya dengan ABS SBK. Wassalam, Saafroedin Bahar. Wassalam, Saafroedin Bahar. --- Datuk Endang wrote: > Ysh Pak Saaf, > Terima kasih atas informasinya dan menambah > pengetahuan baru. Saya kurang tahu proses > pembentukan The Universal Declaration of Human > Rights itu di tahun 1948 apakah juga melibatkan > negara-negara jajahan atau bekas jajahan, dan tidak > semata dipelopori oleh para negara penjajah dan > imprealis yang tiba-tiba bertobat. Ternyata sampai > sekarang masih ada kelas-kelas negara di PBB. > Ternyata dengan alasan HAM, mereka neo-imprealis ini > menduduki negara berdaulat dan membunuhi ribuan > penduduknya. Dengan alasan HAM pula mereka mengutuk > pemboman di Tel Aviv yang menewaskan 1-2 > penduduknya. Teman saya yang tinggal di Gaza > mempertanyakan HAM setiap hari ketika harus melewati > 10 check-point dari rumah ke kantornya yang berjarak > 10 km dan menghabiskan waktu 4 jam. > Setiap hari! Saya kurang tahu kondisi HAM di > Indonesia, sebaiknya Pak Saaf bercerita. Namun lucu > juga membaca deklarasi itu dalam bahasa Minang, > rasa-rasanya kita sudah go international. > > Terima kasih atas undangan Pak Saaf untuk acara di > Padang. Kebetulan mulai Minggu besok hingga dua > bulan ke depan saya akan banyak berada di Maluku dan > Papua, sehingga tentunya tidak bisa hadir. Untuk > makalah tidak bisa saya siapkan, hanya saya menitip > saja falsafah HAM seperti yang disampaikan Ibu > Zoer'aini : ... urang buto paambuih lasuong, urang > pakak palapeh badie, urang pandai untuok barundiong, > urang bodoh diabaok baiyo, urang lumpuoh .. untuk > pausie ayam ato panungguih rumah gadang ... > > Demikian Pak Saaf. Wassalam. > > > "Dr.Saafroedin BAHAR" wrote: > Assalamualaikum w.w. Ananda Dt Endang, > > Boleh saya ikut menyela ? Instrumen hukum > internasional HAM itu bukan berasal dari Barat, > Ananda, tapi tercantum dalam Piagam PBB, dan > dikembangkan oleh seluruh negara-negara di dunia, > termasuk oleh Republik Indonesia. Sebagian besar > anggota PBB itu malah bukan dari Barat. Sekedar > informasi, dua kovenan PBB tentang hak sipil dan > politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya, telah > diratifikasi jadi Undang-undang Nomor 11 dan 12 > Tahun > 2005. > > Mohon jangan disisihkan masyarakat hukum adat > Minangkabau itu dari keseluruhan Negara kesatuan > Republik Indonesia, Ananda. Kita orang Minangkabau > ikut lho menegakkan dan membela Republik Indonesia > ini > [Ingat peran PDRI, 1948-1949). Hak masyarakat hukum > adat termasuk yang dilindungi oleh instrumen hukum > internasional dan hukum nasional hak asasi manusia > ini. > > Untuk lebih menjernihkan masalah ini, kalau Ananda > ada`waktu, datanglah ke Semiloka tanggal 18-21 Juni > mendatang di Fakultas Hukum Universitas Andalas, > Kampus Limau Manih, Padang. Dalam semiloka itu akan > kita bahas 20 masalah masyarakat hukum adat > Minangkabau dari perspektif hak asasi manusia, > antara > lain tentang hak anak, hak perempuan, dan hak > lansia. > Ananda dapat memberi masukan yang Ananda rasa`perlu > bagi semua peserta. Kalau boleh saya meminta, tolong > sampaikan makalah sumbangan Ananda, sehingga menjadi > dokumen yang dapat dimanfaatkan semua orang untuk > masa`datang. > > Wassalam, > Saafroedin Bahar --------------------------------- Moody friends. Drama queens. Your life? Nope! - their life, your story. Play Sims Stories at Yahoo! Games. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---