Iklan! Sihir Industri Kapitalisme
Teuku Kemal Fasya

Kehadiran  iklan  begitu  mengguncang sekarang! Ia bukan hanya sekedar
promosi  sebuah  produk,  tetapi  telah menjadi sebuah sistem ide yang
memiliki  nilai-nilainya sendiri secara otonom. Iklan menjelma menjadi
sebuah  ideologi  di abad modern. Apa yang kita rasakan sebagai "citra
baru"  dari  produk-produk  seperti Coca-Cola, Marlboro, atau Kentucky
Fried  Chicken  tidak dapat dipisahkan dari jasa iklan, yang membangun
selera  ekstra.  Iklan  membawa  kita pada suatu suasana yang dibangun
pada momen tertentu dalam ingatan kita lewat bahasa puitis.

Kita  boleh  menyangkal dengan berbagai pembelaan dan motivasi politis
bahwa kita membeli barang tertentu bukan karena iklan. Tetapi apa yang
disebut Gadamer dengan tersisipnya "makna ketiga" dalam sistem ingatan
seseorang  sedikit  banyak  mesti  hadir  di  saat seseorang menemukan
barang  yang pernah diiklankan. Rasa bersalah yang timbul setelah kita
membeli  barang,  kalaupun  ternyata  tidak  sesuai  dengan  "rekayasa
imajinasi",  hanya  melahirkan  sikap sublimasi pada diri sendiri, dan
bukan  pada  barang  -  apalagi  pada  "liciknya"  pengaruh sihir yang
dibangun  iklan.  Pada  era  modern  seperti sekarang, seseorang tidak
mungkin  berada  dalam  vacuum  idea  saat  melihat  barang  yang akan
dibelinya.  Iklan  memiliki  semacam  alat sensor, bisa berupa tafsir,
dugaan, propaganda liris, ataupun tuduhan terhadap barang tertentu.

Pusar Kajian

Dalam tulisan Advertising as the Magic System Raymond Williams melihat
bahwa  iklan  sebagai  fenomena  budaya  dalam  konteks  modern  harus
dipahami  ulang karena peranannya sebagai ideologi cukup mencengkeram.
Untuk  memahami  perkembangan periklanan, sekaligus menangkap kekuatan
makna   yang  "bersinar-sinar"  seperti  terlihat  dewasa  ini,  orang
sebaiknya  menelusuri  sejarah budaya iklan itu sendiri. Lebih lanjut,
orang  dapat  mulai menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi kontemporer
yang  dihasilkan  dengan  sangat  subtil  dan  imajinatif  oleh  iklan
sehingga  terasa  seolah-olah  tanpa agresivitas dan paksaan. Williams
memperlihatkan   bahwa   turbulensi  kebudayaan  yang  menjadi  corong
kepentingan   kapitalisme   dalam   sistem  perdagangan  barang  hanya
menggunakan  sihir  iklan  untuk fungsi penandaan nilai komoditas. Ini
sebuah  ciri bahwa kepentingan produksi budaya kapitalisme hanya untuk
sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.

Williams  mencatat  bahwa  periklanan  berusia  setua  umur masyarakat
sendiri. Sejak masa Yunani Kuno pengumuman telah ditulis pada lembaran
papirus  dan  dipancang  di  dinding  kota  dengan tujuan promosi ide,
misalnya,  ketika terjadi perdebatan Socrates di pengadilan (Apologia)
sebelum kematiannya. Pada masa Romawi Kuno seruan untuk hadir di suatu
acara  ditempelkan  di  tembok-tembok  pengumuman  kota  Roma, seperti
undangan  melihat  pertempuran  berdarah  para  gladiator di coloseum.
Pesan-pesan  seperti  ini  menjadi  semacam  "ritual kecil" yang dapat
dengan cepat dikerjakan, dan sangat cepat pula dilupakan.

Dari  sekedar  proses  khusus  untuk  menarik  perhatian  dan  memberi
informasi  iklan berkembang pesat menjadi sistem penyampaian informasi
komersial pun pemberian saran-saran dan harapan yang terlembaga secara
baik. Dalam sejarah masyarakat Inggris penyebaran informasi yang lebih
terorganisir  dimulai  pada  abad  ke  17  sejalan dengan perkembangan
buku-buku  berita,  merkuri,  dan  surat kabar. Laju pertumbuhan surat
kabar  dari 1690-an juga membuat volume periklanan bertambah. Sebagian
besar masih diklasifikasi menurut jenis dalam seksi reguler koran atau
majalah,   dan  ada  pula  yang  diberi  ilustrasi.  Bahan-bahan  yang
diiklankan  tergantung  pada  apa  yang  dibutuhkan atau ditawarkan ke
publik,  seperti  penjualan  komoditi di toko-toko tertentu, pelayanan
personal,  pengumuman publikasi buku-buku, detil tentang pembantu yang
melarikan diri, sampai penjualan kuda atau anjing.

Revolusi  industri,  sekaligus hubungannya dengan revolusi komunikasi,
secara  fundamental  mengubah  sifat  dasar iklan. Lahirnya perusahaan
dengan  produksi  skala  besar  membutuhkan  strategi  penjualan  yang
berbeda.  Hadirnya  media  massa  cetak yang membutuhkan iklan sebagai
sumber   pemasukan   terbesarnya  menjadi  cukup  penting.  Perusahaan
penerbitan  berita  umum  pun,  seperti  Times  dan News of the World,
berkembang  pesat,  apalagi dengan diberikannya keringanan pajak. Pada
1855  pajak periklanan dan biaya meterai dihapuskan sehingga sirkulasi
surat kabar dan produksi iklan meluas.

Depresi  terbesar dalam dunia periklanan akibat kejatuhan harga barang
yang  luar biasa terjadi pada periode 1875 hingga 1890-an. Bencana ini
menjadi  titik  tolak  baru  untuk  mereorganisir industri kepemilikan
menjadi   lebih   besar   dan   mengkombinasikannya  dengan  keinginan
pertumbuhan  pangsa  yang  lebih  besar pula. Hal itu dimaksudkan agar
dapat  mengkontrol  pasar  jika  sewaktu-waktu  mengalami  depresi dan
kegoncangan  finansial  secara  luas.  Saat  itulah bisnis iklan tidak
hanya  menjadi bisnis tempelan, namun berubah menjadi bisnis baru yang
mengambil tempat cukup penting di bidang produksi dan digunakan setiap
pemilik modal untuk meningkatkan rangking produksi.

Dalam  seratus  tahun  terakhir,  iklan  telah berkembang dari sekedar
pengumuman  pelayanan  toko  dan  seni  memikat yang dilakukan pemasok
barang  pinggiran menjadi organisasi bisnis raksasa para kapitalis. Ia
menguasai   seluruh  lapisan  komunikasi  di  media  massa  cetak  dan
elektronik  sehingga  keduanya  tidak  dapat  hidup tanpa iklan. Iklan
telah menjadi sistem jual tanpa batas negara pun jenis-jenis usaha dan
penawaran.  Ia juga menjadi alat pengaruh di wilayah politik, merembes
dan  mendikte nilai-nilai yang dianut masyarakat. Iklan mengambil alih
seluruh  sistem  komunikasi  masyarakat  dan  akhirnya  hanya tersedia
sebuah lorong sempit untuk memahami masyarakat, yaitu lewat iklan!

Iklan  telah  menjadi kegilaan yang tidak relevan lagi di abad modern.
Minuman  bir  tidaklah  cukup  sebagai  sebuah minuman tanpa ada janji
bahwa  dengan  meminum  bir kita akan kelihatan lebih jantan, tangguh,
dan  bersahabat.  Sederetan janji-janji yang tidak relevan lagi dengan
khasiat  dan  manfaat  barang  ditebar.  Inilah  yang disebut Williams
sebagai  puncak  kegagalan  idealitas  nilai  dan makna yang ada dalam
masyarakat.   Masyarakat   kita  sekarang  merupakan  masyarakat  yang
tergantung   pada   barang.   Sistem  periklanan  menjadi  sihir  yang
terorganisir  dengan  upaya  pengaburan  fungsi  dan  penyodoran ilusi
kebebasan  memilih barang. Seluruh bujuk rayu, cumbuan, dan saran yang
disajikan  dengan  sangat subtil telah mengesankan iklan hanya sebagai
alat  penawaran  yang  manusiawi  dalam  mengkomunikasikan kepentingan
penawaran, bukan sebagai instrumen represi kebebasan manusia.

Apresiasi

Williams tidak menjelaskan dengan eksplisit kecuali membuat demarkasi,
semacam  peringatan  bagi  manusia  agar  tidak terjebak dalam keadaan
genting  akibat  daya  destruksi  yang  dibangun iklan. Sejarah budaya
tersebut  memberi pelajaran bagaimana mayoritas masyarakat tidak mampu
mengontrol hasil produksi yang hanya dikuasai sekelompok kecil pemilik
modal. Ia juga tidak mengulas lebih panjang peran ideologi iklan dalam
melahirkan   budaya   baru,  tapi  hanya  menjelaskan  efek-efek  yang
ditimbulkan  dalam budaya ekonomi. Tidak terlihat upaya dekonstruksi -
seperti  yang  diinginkan Derrida misalnya, dalam mencari "titik-titik
buta" yang dapat kita pelajari bersama.

Mengikuti  perspektif  Derrida, dengan melihat secara khusus teks-teks
yang  digunakan  dalam iklan misalnya, kita dapat membangun kesimpulan
filosofis  tentang  kedudukan bahasa dalam iklan sebagai ideologi atau
sistem  gagasan.  Bahasa  di  dalam iklan berdiri sebagai sesuatu yang
hanya  eksotik dibaca dan didengar. Seolah-olah kata-kata tsb. memberi
kita  ide  dan  visi  baru  yang  membuat  kita tidak puas dengan cara
berfikir   lama.   Namun  kata-kata  yang  hadir  terkesan  artifisial
dibandingkan  dengan yang secara substansial dibutuhkan manusia. Dalam
iklan-iklan  di  Indonesia misalnya, slogan seperti "Bukan Basa-Basi",
"Pas  Susunya",  atau  "Selembut  kasih ibu" kalau kita keluarkan dari
konteksnya  menjadi kata-kata hambar makna. Hanya dengan tampilan yang
berulang-ulang, terutama secara visual, orang baru tersengat oleh daya
sihir kata-kata ini, suka atau tidak suka.

Modernisasi  di  satu  sisi  melahirkan budaya yang hanya pantas untuk
dinikmati  sebagai  penghiburan,  bukan  budaya  yang memiliki wawasan
penalaran.  Namun,  ini  kadang  bisa  menjadi berkah. Dalam pemikiran
Umberto  Eco, semangat klasik yang melulu mengharuskan kita takzim dan
serius  melihat  sebuah  repertoar teatrikal atau simponi musik klasik
tidak  selalu  tepat  bagi masyarakat sekarang. Banyak yang menganggap
bahwa  budaya  iklan adalah budaya rendahan dan kacangan. Namun apakah
ini  bermasalah? Budaya yang selama ini dianggap "tinggi" lebih banyak
mengenang  kejayaan romantik masa lalu dan kemenangan para aristokrat,
atau  budaya  yang  dipelajari di universitas dengan dasar ilmiah yang
sangat   ketat,   sehingga   kadang  kala  sulit  untuk  memahami  dan
mempelajarinya.  Padahal  generasi  sekarang sudah mulai jengah dengan
"kebenaran"  yang  terkandung  dalam  kebudayan  tinggi. Generasi muda
mulai  menantang  karakter  "antik"  dalam budaya massa. Mereka justru
menemukan dirinya dalam konser musik rock atau dalam sirkuit olah raga
otomotif.

Berkaitan  dengan  iklan  - yang dapat dianggap sebagai budaya massa -
seharusnya  tetap ditempatkan sebagai budaya alternatif, bukan sebagai
lawan   yang   akan   mencekik,  seolah-olah  seluruh  kehidupan  kita
tergadaikan di sana.

Budaya Iklan?!

Ditarik  lebih  jauh  dari  apa yang dimaksud dengan budaya iklan, ada
pemahaman   lain   yang  tidak  seekstrim  pernyataan  Williams.  Dari
keseluruhan   aspek   yang  secara  intrinsik  dimiliki  budaya  iklan
sebenarnya  ada  sisipan bernilai di sana, yaitu kreativitas konsumen.
Kritik  dan  kekhawatiran  akan  budaya  iklan  muncul  dengan  asumsi
konsumen  memiliki  keterbatasan  dalam menilai iklan, sehingga muncul
budaya pendangkalan baru, budaya konsumtif yang pasif.

Konsumen  bukanlah  agen tunggal yang tidak kreatif. Konsumen terlibat
dalam proses mengkonsumsi iklan, terlibat juga dalam proses penciptaan
kreatif  dengan  tebar  gosip  atau  pernyataan  yang termuat di media
massa.  Dengan  kata lain konsumen juga memproduksi signifikansi baru,
beraktifitas  terus-menerus dalam produksi makna. Makna yang ditangkap
konsumen  dari  promotional culture disebarkan menjadi lebih kompleks,
lebih  konotatif,  lebih  retoris bahkan lebih liris daripada ide atau
konsep iklan itu sendiri.

Memang  dalam  beberapa  hal,  kita  dapat  mengatakan  bahwa konsumen
tercengkeram  oleh  upaya  peniruan. Namun tiruan ini bukanlah seperti
hasil  fotokopi  dari  mesin  laser.  Iklan menawarkan, konsumen dapat
mengapropriasi  penawaran  tersebut,  bahkan  membuat  penawaran baru.
Dalam  pemikiran  ideal,  sebenarnya  setiap  orang mesti memanfaatkan
ruang  yang  ada  untuk  menawarkan  sesuatu  yang  menjadi  identitas
dirinya.

Komoditi yang diiklankan memiliki objek keinginan yang membangun momen
imajinasi  konsumen.  Momen  imajinasi inilah yang membuat kita merasa
begitu  dekat  dan  bisa  membangun  komunikasi  awal dengan produsen.
Alhasil, kita dapat menerima komoditi tersebut tanpa resiko, sekaligus
menggamit citra sosial yang diembannya. Prinsip-prinsip rangsangan ini
membuat sesuatu seakan-akan begitu hidup.

Produsen  iklan  juga  harus  melakukan riset mendalam di tengah corak
keinginan  masyarakat  yang  menjadi  sasaran komoditinya. Iklan harus
mampu  menggairahkan  hidup  masyarakat  dengan  imajinasi yang tepat.
Sodoran  iklan  dewasa  ini seolah-olah mengetahui betul apa yang kita
maui,  dan  memberikan  apa  yang  kita  impikan.  Kontak dengan calon
pembeli  atau  peminat  pun  dibangun  dengan berbagai jalur baik yang
humanis maupun mekanis.

Perhatikan,  misalnya,  salah satu iklan rokok yang tampilan visualnya
sama  sekali tidak memperlihatkan seseorang yang sedang merokok. Iklan
itu  menggambarkan  seorang  eksekutif  yang  duduk  di pinggir pantai
dengan  pakaian  formal  langsung menceburkan diri dalam laut membantu
seorang  nelayan  yang sedang bermasalah dengan perahunya. Slogan yang
diluncurkan  pun  cukup  bermakna:  "Menembus  Batas".  Maka imej yang
tampak adalah sikap setia kawan yang mampu melewati batas-batas status
sosial dan rela membantu tanpa pamrih. Dilihat dalam konteks Indonesia
sekarang  -  dengan  perbedaan antara kelompok kaya dan miskin - iklan
ini menjadi begitu "mulia" oleh pesan ganda yang ditawarkan.

Yang   perlu   disadari   dari   promotional   culture   adalah  sifat
demokratisnya,  yang  masih  menyediakan  ruang  bagi siapa saja untuk
mempertimbangkan  penawaran  yang dilakukan. Setiap orang bisa menolak
dan   bisa  menerima.  Bahkan  setiap  orang  punya  kesempatan  untuk
mengiklankan  apa  saja  yang dapat menjadi objek keinginan bagi orang
lain.

Teuku   Kemal   Fasya,  mahasiswa  magister  Ilmu  Religi  dan  Budaya
Universitas Sanata Dharma




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, bulan Juni 2008.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Harap memperhatikan urgensi posting email, yang besar dari >200KB.
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, tidak dianjurkan! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim 
melalui jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
==========================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke