Kembali ke Nagari Dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi Lokal di Sumatera Barat
Sutoro Eko* Sumatera Barat, sebuah kampung halaman bagi etnis Minangkabau, merupakan daerah yang sangat unik dan eksotik dalam hal desentralisasi dan demokrasi lokal. Sejak lama orang Minangkabau mempunyai sejarah otonomi asli yang berbasis pada Nagari. Orang Minangkabau juga mempunyai tradisi demokrasi, yang mereka yakini jauh lebih unggul dari demokrasi bergaya aristokratis di Jawa atau demokrasi liberal ala Barat. Di sepanjang zaman proses desentralisasi dan demokrasi lokal di Sumatera Barat berlangsung secara dinamis. Ketika republik Indonesia baru berumur satu dekade, Sumatera Barat telah tampil sebagai penantang gigih desentralisasi melalui PRRI, meski dari kacatama Jakarta ia dianggap sebagai sebuah pemberontakan yang harus ditumpas secara represif. Pada masa Orde Baru, Sumbar lagi-lagi tampil sebagai penentang gigih terhadap intervensi dan penyeragaman (regimentasi) pemerintahan desa melalui UU No. 5/1979. Masyarakat Sumatera Barat dipaksa menerima intervensi Jakarta, meski mereka merasakan kehilangan identitas politik lokal dan self-governing community yang sudah lama berbasis pada nagari. Marginalisasi itu akhirnya bergeser menjadi eforia bagi masyarakat Sumbar ketika Orde Baru bangkrut yang disusul dengan kebangkitan desentralisasi dan demokrasi lokal. Sumbar tentu melakukan respons yang paling cepat terhadap desentralisasi, sehingga tidak heran kalau propinsi ini merupakan pelari terdepan dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Salah satu tema sentral kebangkitan desentralisasi dan demokrasi lokal di Sumbar adalah Kembali ke Nagari , yakni kembali ke identitas dan komunitas politik lokal yang desentralistik dan demokratis. Wacana kembali ke nagari juga punya kontribusi terhadap agenda desentralisasi dan demokrasi lokal yang lebih manusiawi dan berbasis pada keragaman (pluralisme), ketimbang model pemerintahan masa lalu yang lebih mengutamakan kesegaraman. Sebagai orang yang tengah belajar desentralisasi dan demokrasi lokal, saya sangat menaruh impresi (ketertarikan) serius pada nagari dan Minangkabau. Belajar pada nagari dan Minangkabau akan memberikan wawasan (insight) baru yang berbeda dari Jawa, memperkuat rasa lokalitas (sense of locality) dan juga mempertebal keyakinan bahwa Indonesia yang besar dan majemuk ini harus dikelola secara demokratis dan desentralistik dengan memperhatikan keragaman identitas lokal. Beberapa keyakinan tentang desentralisasi dan demokrasi lokal bisa dikemukakan di sini. Pertama, nagari dapat dipahami dengan kerangka pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing community). Konsep ini menggambarkan bahwa nagari adalah sebuah republik kecil, sebuah formasi pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Artinya nagari mempunyai otonomi (kemandirian) dalam membangun organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan lokal, mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan aturan (hukum) adat. Mengikuti hukum nasional, self-governing community berarti sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan kewenangan sesuai dengan asal-usulnya. Kedua, ketika nagari sudah masuk ke dalam formasi besar negara-bangsa Indonesia, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan nagari. Nagari sekarang berbeda dengan nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing community bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari sekarang tidak sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkhis (dari pemerintah nasional, Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten) telah melakukan desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya pada nagari. Dengan kalimat lain, otonomi nagari sekarang adalah pemberian negara. Karena itu, untuk membangkitkan (revitalisasi) semangat republik kecil , konsep subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah (Andreas Follesdal, 1999). Lokalisasi keputusan dan kewenangan pada pemerintahan terendah ini membutuhkan jaminan legal dan fasilitasi dari struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Kalau subsidiarity berjalan, maka nagari dalam beberapa hal -- tidak perlu lagi mohon petunjuk atau menunggu Perda dari Kabupaten. Ketiga, demokrasi ala Minangkabau bisa dipahami secara lebih tepat dengan menggunakan demokrasi komunitarian (komunitas) ketimbang demokrasi liberal ala Barat. Demokrasi liberal Barat menghendaki kompetisi, kebebasan individu, pemilihan secara langsung melalui voting, dan seterusnya. Sementara demokrasi komunitarian menonjolkan kebaikan bersama di tingkat komunitas, kerjasama, pengambilan keputusan melalui musyawarah, dan lain-lain. Secara historis-sosiologis, nagari mempunyai tradisi demokrasi komunitarian yang bersendikan adat dan syarak, tetapi sekarang unsur-unsur demokrasi liberal Barat telah masuk ke dalamnya. Bagaimana kita menjembatani perbedaan tradisi itu? Keempat, demokrasi tidak sekadar berbicara tentang aturan main dan prosedur pengelolaan kekuasaan (misalnya aturan tentang Trias Politica), tetapi juga berbicara tentang masyarakat sipil (civil society) dan pluralisme (terbuka, toleran, inklusif, nondiskriminatif, dll). Konteks Nagari Nagari adalah lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas (Mohtar Naim, 1990). Ia adalah sebuah republik kecil yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). Sebagai sebuah republik kecil , nagari mempunyai perangkat pemerintahan demokratis: unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nagari, secara antropologis, merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya. Ikatan bernagari di Minangkabau, dulu, bukan saja primordial-konsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Karena itu, nagari mempunyai kaitan ke atas; ke Luhak dan ke Alam, dan kaitan ke samping antara sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional. Sistem otonom seperti ini adalah cirikhas masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan mempertahankan diri dan pelestarian nilai-nilai masing-masing nagari, yang fokusnya adalah keragaman. Ikatan Luhak dan Alam adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya menjadi kesatuan-kesatuan emosional spiritual. Masyarakat Minang secara sadar membedakan antara kesatuan-teritorial-konsanguinal dalam bentuk republik nagari-nagari dengan kesatuan-totemis-kosmologis. Sebagai unit pemerintahan otonom, setiap nagari adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan melalui Kerapatan Adat yang berfungsi sekaligus sebagai badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di dalam Kerapatan Adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan secara musyawarah mufakat melaksanakan pemilihan Wali Nagari, melakukan peradilan atas anggotanya dan menetapkan peraturan demi kepentingan anak Nagari. Suasana demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat, baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum adat. Akan tetapi cerita tentang republik kecil sudah hampir hilang ketika terjadi proses negara masuk ke nagari dan nagari dimasukkan ke negara, sejak kolonialisme hingga Indonesia modern. Di zaman kolonialisme, nagari sebagian besar dimasukkan ke dalam sistem birokrasi Belanda dan ekonomi politik kolonial, sebagai bentuk kekuasaan tidak langsung (indirect rule) yang paling rendah. Selama kekuasaan mereka, pemerintah Belanda secara berulang-ulang mencampuri dan mengubah organisasi politik nagari. Intervensi pemerintah dalam nagari berlanjut pada era Indonesia modern pasca kemerdekaan. Pada tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai meyeragamkan pluralitas hukum, menkonsolidasi peraturan memusat dan membakukan perbedaan dalam pemerintahan lokal daerah. Model desa Jawa sebagai unit pemerintahan lokal paling rendah menjadi patokan seluruh Indonesia di bawah UU No. 5/1979. Di Minangkabau, ini dilaksanakan secara efektif pada tahun 1983. Desa pertama-tama didasarkan jorong, sebuah subdivisi nagari. Di Minangkabau ini berarti nagari dipecah ke dalam beberapa desa: 543 nagari di Sumatera Barat (termasuk Kepulauan Mentawai) menjadi 3516 desa. Alasan pemakaian yang mudah secara relatif struktur baru ini adalah bahwa UU tersebut memberikan uang bantuan desa ke setiap desa, dengan mengabaikan ukuran atau penduduknya. Dengan pelaksanaan UU No. 5/1979, nagari telah berhenti menjadi suatu unit administratif yang resmi. Namun, sebuah Perda tahun 1983 mengijinkan nagari sebagaii masyarakat hukum adat dan mengakui Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi yang mewakili masyarakat ini. Sejumlah pelaksanaan peraturan memberikan perintah terperinci bagaimana KAN diangkat menurut adat, dan bagaimana KAN menjalankan tugas-tugas utamanya: memperkuat nilai-nilai tradisional, menjaga kesatuan penduduk nagari, mengelola kekayaan dan menyelesaikan perselisihan masalah-masalah adat. Surat edaran Pengadilan Tinggi Sumatera Barat menyatakan bahwa perselisihan adat tidak akan diterima kecuali jika KAN telah memberikan sebuah keputusan. Nagari sebagai masyarakat hukum adat dan KAN dengan demikian, secara berlawanan asas, diatur secara formal sebagai institusi dan hukum informal . Kembali Ke Nagari Era reformasi pasca kejatuhan Soeharto adalah era kebangkitan desentralisasi dan demokrasi. Proses yang penuh kegembiraan (eforia) ini menjadi kesempatan baru bagi sebagian besar masyarakat Sumatera Barat untuk mewujudkan impiannya, kembali ke nagari. Kembali ke nagari menjadi tema utama desentralisasi di Sumatera Barat, menyusul implementasi UU No. 22/1999. Sebelum PEMILU 1999, wacana kembali ke nagari secara resmi digunakan oleh Gubernur Sumatera Barat. Sesudah November 1998, sebuah lokakarya tentang otonomi daerah digelar di Padang. Berpijak penemuan dan rekomendasi tim, Gubernur mengirimkan pertimbangannya kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Desember 1998. Dalam pesannya dia menyatakan bahwa pembebanan model desa sudah tidak bekerja dengan baik di Sumatera Barat karena model tersebut tidak sesuai dengan sistem sosial budaya . Oleh karena itu, Sumatera Barat berkeinginan untuk mempersiapkan draft UU tentang pemerintahan nagari yang mengakhiri prinsip penyeragaman dan hendak membangun suatu pemahaman (desa, nagari) menurut sistem sosial budaya lokal. Sejalan dengan ini, propinsi ingin kembali ke nagari sebagai unit pemerintah lokal paling kecil. Setelah diskusi yang panjang, propinsi mengundangkan Perda No. 9 Tahun 2000, yang menjadi efektif pada bulan Januari 2001. Bahasa perda itu penuh ditujukan ke adat. Pembukaan (Perda itu) menyatakan bahwa Sumatera Barat kembali ke pemerintahan nagari, diikuti dengan rumusan ritual bahwa adat berdasarkan Islam, Islam berdasarkan Al-Qur an; hukum agama mengatur; adat dipakai; alam adalah guru bagi umat manusia . Perda itu memberikan rintisan untuk kembali ke nagari dalam batas-batas wilayah sebelum 1979. Perda itu juga menyebutkan sumber-sumber daya nagari: pasar, ladang nagari, balai adat, mesjid dan surau, lahan/sawah, hutan, sungai, kolam, danau dan bagian dari laut yang dulu merupakan ulayat nagari, bangunan publik dan harta kekayaan yang bergerak dan harta lainnya. Pemerintah nagari terdiri dari seorang wali terpilih, sebuah badan legislatif terpilih, sebuah badan yang terdiri dari wakil-wakil empat kelompok/golongan atau lebih; yakni ninik mamak, ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda. Peraturan baru itu mengatur sebuah kerangka kerja umum pemerintah lokal tetapi menyerahkan kewenangan kepada kabupaten, untuk membuat peraturan sendiri. Legislasi tambahan juga harus memahami urusan dengan kepulauan Mentawai non-Minangkabau di bawah administrasi propinsi, dan dengan pertanyaan apakah dan bagaimana kini kotamadya juga dapat kembali menjadi nagari lagi. Bupati baru dan DPRD Kabupaten memberikan respons dengan kecepatan dan antusias yang agak berbeda terhadap perkembangan ini. Di dua kabupaten, Limapuluh Kota dan Solok, Bupati yang responsif, salah satu dari anggota pimpinan Asosiasi Lembaga Adat, telah mengambil sejumlah inisiatif untuk melaksanakan struktur baru itu sesegera mungkin, meninjau kembali struktur administratif kabupaten mereka dan mendorong menuju kembali ke sistem nagari. Mereka cepat mengumumkan peraturan kabupaten mereka dan siap mulai saat Perda menjadi efektif tanggal 1 Januari 2001. Solok adalah yang pertama di bulan Januari 2001, diikuti oleh Limapuluh Kota tiga bulan kemudian, sedangkan Agam adalah pengikut terakhir. Mereka telah menempati posisi baru yang lebih otonom dengan serius. Keduanya menghendaki agar pekerjaan yang jauh lebih intensif dengan tenaga pembangunan di daerah mereka. Sejalan dengan otonomi nagari yang lebih besar, mereka telah memprakarsai kegiatan ekonomi bekerja sama dengan pemerintah lokal. Bupati yang sama juga secara aktif mempromosikan pelantikan pemimpin adat baru, agar supaya mempunyai sebuah administrasi nagari yang kuat dan berpendidikan. Penutup Sebagai penutup, saya ingin katakan bahwa kembali ke nagari mungkin terlalu berlebihan. Yang terjadi sekarang adalah menciptakan kembali (recreating) nagari, karena struktur nagari tidak lagi seperti republik kecil di zaman dulu. Format nagari sekarang telah berubah mengikuti pemikiran, semangat dan perubahan baru; dan yang lebih penting nagari diatur oleh Propinsi dan Kabupaten. Konsekuensinya, nagari tidak sepenuhnya otonom, melainkan harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh negara. Meskipun menciptakan kembali nagari tidak sempurna , tetapi hal itu telah membangkitkan semangat baru dan merevitalisasi identitas asli yang dilandasi oleh kegembiraan yang luar biasa (eforia). Tulisan ini tidak akan memberikan penilaian dini terhadap kejadian setelah Sumatera Barat kembali ke nagari. Tetapi, yang ingin saya katakan, bahwa tantangan yang dihadapi oleh nagari mulai saat ini sebenarnya tidak berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh desa-desa di Jawa. Dari sektor demokrasi di level nagari, tantangannya adalah akuntabilitas dan responsivitas pengelola nagari serta partisipasi masyarakat. Legitimasi kepemimpinan lokal yang selama ini tercerabut karena dicaplok oleh negara juga menjadi tantangan yang serius. Dari sektor desentralisasi, nagari bukan saja menghadapi tantangan desentralisasi keuangan dan distribusi kewenangan, tetapi yang lebih penting adalah subsidiarity. Di satu sisi subsidiarity mencakup keberanian dan kemampuan dalam mengambil keputusan sendiri dan mengelola kewenangan; dan di sisi lain subsidiarity perlu difasilitasi oleh Provinsi dan Kabupaten. Paling tidak, subsidiarity bisa diawali dengan melakukan pembagian kewenangan yang jelas dan tidak tumpang tindih antara nagari, kabupaten dan propinsi. * Penulis adalah Direktur Eksekutif IRE Yogyakarta --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan email yang terdaftar di mailing list ini. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---