Padang Ekspres ONLINE, Minggu, 28-Oktober-2007

Dalam gempita kebebasan berekspresi dan ketidakpercayaan atas sesuatu
otoritas, Hasanudin WS, Guru Besar Ilmu Sastra dan Humaniora,
Universitas Negeri Padang, "menudingkan tunjuk" kepada generasi
muda—khususnya remaja—dalam tulisannya yang berjudul Remaja,
Hedonisme, dan Paternalisme di koran ini, 7 Oktober 2007 lalu, sebagai
generasi yang tidak dapat diharapkan, tidak kreatif, tidak produktif
dan tidak dinamis dalam berbuat di tengah kepungan budaya global dan
kecenderungan paternalisme serta hedonisme yang begitu menghantui para
"orang tua".

Untuk itu, Guru Besar ini berharap kepada kaum tua (mapan) agar
menyelenggarakan pemeliharaan dan pembinaan sebagai suatu strategi
pembangunan kebudayaan, supaya generasi muda dapat lebih diandalkan
sebagai investasi bangsa di masa depannya. Begitulah. Dengan membuat
jarak antara audiens (pembaca) yang lebih muda dengan "mereka" (kaum
tua), Guru Besar ini berpendapat tentang perubahan dunia yang begitu
pesat. Dunia yang bagi "mereka" teramat-amat sangat absurd. Dunia yang
begitu menakutkan. Dunia dengan keberagaman budaya yang "mereka" sebut
sebagai sebuah kebablasan anak muda yang tiada terbendung. Dan,
dikhawatirkan merusak sendi-sendi kebudayaan yang "mereka" anggap
telah mapan ini.

Dari sana—dari sudut pandang paling ekstrim dalam frame orang-orang
tua, Guru Besar ini sepertinya tetap beranggapan bahwa kebudayaan dan
identitas adalah sesuatu yang bersifat tetap atau stabil. Ia terlalu
menekankan aspek homogen, dan meyakini ketidakberdayaan manusia dalam
mengatasi perbedaan kultur, dan ketidakberdayaan generasi muda dalam
menghadapi terjangan-terjangan budaya global. Beliau juga terlalu
memuja empirisme—seperti kebanyakan para orang tua; bahwa dalam proses
pembentukan identitas ini, acap terjadi disjungsi atau ketidak-klopan
antara konsepsi dan prilaku. Beliau lebih cenderung melihat proses
singkat yang terjadi dari pada proses pembentukannya atau proses
selanjutnya, atau hasil jadi-nya. Inilah sikap a priori dari mereka
yang hidup dalam zaman sebelum hari ini. Mereka yang hidup dalam
semangat modernisme. Semangat yang berpusat pada logosentrisme sebagai
ambisi dan imaji kolektif.

Zaman dimana makna sebuah kebenaran diklaim hanya milik golongan
tertentu saja; golongan tuwir (tua), golongan yang telah mapan,
golongan yang mampu mengajukan sejumlah argumen ilmiah; objektif, dan
rasional, untuk kemudian merasa berhak mengklaim golongan
lain—termasuk subkultur anak muda—sebagai yang tidak benar, sebagai
yang lain, sebagai the other (liyan). Maka itu, menurut Guru Besar
ini, anak-anak muda tersebut perlu dipelihara dan dibina, karena jika
belum tua, mereka jelas belum boleh bicara. Kalau pun tetap bersuara,
yang terdengar di telinga mereka, seperti entah apa-apa. Sistem
pembusukan identitas serupa ini telah berlangsung lama, sepanjang Abad
Pencerahan oleh para pemikir-pemikir modern—termasuk para filsuf
sebelumnya, mulai dari Aristoteles, Descartes, Bacon, Freud sampai ke
Ferdinand de Saussure, dengan tagline modernisme-nya yang kaku
tersebut.

Padahal hari ini perubahan telah terjadi. Perubahan yang memaksa kita
untuk tidak lagi memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas
yang bersifat tetap atau stabil. Melainkan sebuah entitas yang terus
berubah, kian bergerak, berjalin-kelindan. Dan, suai-menyuaikan.
Kemudian, dari dan oleh jejaring teks tersebut, terbentuklah sebuah
budaya baru yang disebut-sebut sebagai budaya yang hibrida. Inilah
"identitas anak muda". Inilah posmodernisme. Inilah dunia tanpa pusat,
tanpa logos. Zaman dimana tiap-tiap kelompok atau individu memerlukan
apa yang mereka sebut sebagai identitas. Identitas yang membedakan
mereka. Identitas yang berguna untuk memberinya sense of belonging dan
eksistensi sosial sebagai anggota masyarakat.

Namun begitu, ini pun bukanlah sesuatu yang tetap dan stabil, sebab
identitas seperti yang dikata Stuart Hall, bukan suatu entitas yang
final, statis dan succeed, melainkan sesuatu yang terus tumbuh,
dinamis, tidak pernah sempurna (mapan), selalu dalam proses dan selalu
dibangun dari dalam. Perkataan Hall ini senada pula dengan Jean
Baudrillard, yang bahkan menyangsikan adanya identitas pasti yang
orisinil. Bahkan menurutnya lagi, dalam kondisi tertentu, suatu subjek
akan kehilangan identitasnya, karena terus bergerak menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan pendidikan, pergaulan, pun pertumbuhan usia
subjek tersebut.

Apa mau dikata, realitas kebudayaan hari ini oleh sebab interaksinya
yang teramat mudah bersentuhan dengan berbagai unsur kebudayaan lain
di luarnya, telah menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda
pula. Perubahan identitas ini bergerak begitu cepatnya. Membentuk
identitas baru yang terkelupas dari dominasi tradisi maupun budaya
asing (modern). Untuk itu, persentuhan-persentuhan anak bangsa dengan
budaya asing dalam dusun global (global village) ini—oleh Derida
disebut sebagai jejaring teks yang tak utuh
(intertekstualitas)—seperti apa yang dituliskan oleh Guru Besar Ilmu
Sastra dan Humaniora itu sebagai; "paternalistik anak muda dalam
menyerap budaya-budaya asing" tersebut, bukanlah klaim yang mutlak dan
absolut.

Karena, persentuhan-persentuhan tersebut—mau tidak mau, sadar tidak
sadar—telah menyediakan ruang yang lapang bagi identitas yang terlepas
dari dominasi atau represi keduanya (budaya tradisi dan modern).
Demikianlah, dalam cultural studies, ada konsep yang disebut kemudian
sebagai kreolasi atau mimikri. Proses penyerapan elemen-elemen
kebudayaan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Artinya,
sejumput kebudayan (tradisi dan modern) diserap sebagai sebuah gaya
belaka, namun kemudian diberikan makna atau fungsi baru atas budaya
serapan tersebut. Bukankah ini yang namanya kreatifitas di
tengah-tengah banalnya industrialisasi produk-produk atau
budaya-budaya asing (modern) dan klaim "para orang tua" tentang
kesahihan sebuah budaya tradisi?

Bagi Bhabha (Homi K), mimikri atau kreolasi bukan merupakan bentuk
ketergantungan sang terjajah kepada yang menjajah, bukan pula
ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, atau dalam konteks
ini ketergantungan konsumen (anak muda) kepada produsen (industri),
melainkan sebuah sikap subversif dalam kepungan budaya global dan
proses peniruan tersebut. Karena pada dasarnya, anak muda (konsumen)
bukanlah pengguna yang pasif. Mereka cenderung hanya bermain-main
dengan ambivalensi dalam proses imitasi (penyerapan/peniruan)
tersebut, sambil berlari-lari kecil, cekikikan, sampai
terpingkal-pingkal, bahkan. Secara tak langsung telah muncul pemahaman
dalam mereka; jika tak terelakkan, mengapa tak menyiasatinya? Dengan
berjalan beriringan, misalnya.

Atau, menciptakan budaya oposisi yang relevan dan kontekstual dengan
zamannya, kenapa tidak? Dari pada menghujat-hujat budaya asing atau
lari bersembunyi, namun diam-diam menikmatinya, dan dengan diam-diam
pula melegitimasinya. Wuuahhhhh !!! Kemudian orisinalitas budaya dan
tradisi. Apa itu orisinalitas? Karena sudah tentu pada hari ini, atau
bahkan jauh sebelum hari ini, tak ada yang benar-benar orisinal dalam
kebudayaan. Perdebatan akan orisinalitas kebudayaan justru akan
menumbuhkan sikap-sikap primordial dan narsisme berlebihan yang
sia-sia, dan kian menjerumuskan manusia ke dalam persoalan-persoalan
rasial dan pertentangan, dan perpecahan.

Dalam pada itu pula, proses kreolisasi atau mimikri bukanlah semacam
bentuk keberhasilan industrialisasi/imperialisme dalam menanamkan
dominasi dengan menciptakan "kesadaran palsu" lewat budaya massa,
lewat industri, lewat benda-benda konsumsi lainnya kepada para anak
muda. Dari sudut ini, mimikri bisa dipandang sebagai strategi
menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen,
melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya, demikian ujar
Antariksa. Batas-batas kebudayaan yang mapan dengan demikian
dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi. Inilah dasar sebuah
identitas hibrida. Dengan begitu, hegemonisme Gramscian, dalam
tingkatan ini mendapat kritikan keras, karena sepanjang peradaban
manusia, terbukti tidak ada hegemoni tanpa resistensi ataupun
subversi.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
Kata-kata terakhir Ontosoroh kepada Minke dalam Bumi Manusia,
tiba-tiba menggema di telinga saya, karena korelasinya yang erat
dengan persoalan mimikri dan hibriditas ini. Begitupun dengan apa yang
dikata Esha Tegar Putra dalam puisinya: "....aku terlalu sering tidak
menyetujui ucapmu. dalam diriku hanya ada waktu.....ada baiknya kau
menyetujui, kita berjalan berlain arah. mungkin kau menuju selatan
yang basah seperti harapmu. dan aku menelikungi simpang ke arah
barat,...." (Jalan Air, Kompas, 15 Juli 2007).

Akhirnya, anakmu bukanlah anakmu, anakmu adalah anak-anak panah yang
lepas melesat ke udara—mengutip Gibran. Untuk itu (hari gini),
berhentilah "menakut-nakuti" mereka dengan menyebar mitos tentang
globalisasi, penyeragaman budaya, konstruksi industri, budaya massa,
mode, trend fashion, film atau semacamnya, karena seperti juga
orang-orang tua yang terlalu mencemaskan prilaku anak-anak muda-nya,
ternyata mereka—para anak muda—juga mempunyai "kegemasan" tersendiri
terhadap dasar pikir "orang-orang tua"-nya : ) Nurul Fahmy, Komunitas
Daun, Padang.

Padang Ekspres ONLINE ::.. : http://www.padangekspres.co.id/

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke