Tarikh Islam
9/5/2007 | 23/Rabiul Akhir/1428 H | Hits: 239 
Tsabit dan Sebuah Apel 
Oleh: Mochamad Bugi 
--------------------------------------------------------------------------------
Seorang  lelaki  shalih  bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di
pinggiran  kota  Kufah.  Tiba-tiba  ia melihat sebuah apel terjatuh di
luar  pagar suatu kebun buah-buahan. Melihat apel merah yang ranum itu
tergeletak  di  tanah,  terbitlah air liur Tsabit. Apalagi hari begitu
panas  dan  Tsabit  tengah  kehausan.  Tanpa  berpikir  panjang Tsabit
memungut  dan  memakan  apel itu. Tapi baru setengah memakannya Tsabit
ingat:  apel  itu  bukan  miliknya  dan  dia  belum mendapat izin dari
pemiliknya.

Tsabit  pun  bergegas  masuk  ke dalam kebun itu. Ia hendak menemui si
pemilik  kebun  dan  meminta  si pemilik menghalalkan sebuah apel yang
telah  dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki.  Aku
sudah   makan   setengah   dari  buah  apel  ini.  Aku  berharap  Anda
menghalalkannya,   kata  Tsabit  kepada  orang  itu.  Namun  ornag itu
menjawab,    Aku  bukan  pemilik  kebun  ini.  Aku  hanya  orang  yang
ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini. 

Tsabit  pun  bertanya,   Di  mana  rumah  pemilik kebun ini? Aku harus
menemuinya untuk meminta ia menghalalkan apel yang telah kumakan ini. 

 Untuk   sampai  ke  sana  engkau  harus  menempuh  perjalanan  sehari
semalam,  jawab si penjaga kebun.

 Tidak  mengapa.  Aku  akan  tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya
jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin
pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. sudah memperingatkan kita melalui
sabdanya:   Siapa  yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih
layak menjadi umpan api neraka ,  tukas Tsabit tegas.

Tsabit  pergi  ke arah yang ditunjuk penjaga kebun. Ia menuju rumah si
pemilik  kebun.  Dan  setiba  di  sana dia langsung mengetuk pintu. Si
pemilik  rumah  membukakan pintu. Tsabit langsung memberi salam dengan
sopan.

 Wahai  Tuan,  saya  terlanjur  memakan setengah dari sebuah apel yang
jatuh  ke  luar  dari  kebun milik Tuan. Karena itu, saya datang untuk
meminta Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu. 

Lelaki  tua  si pemilik kebun itu mengamati Tsabit dengan cermat. Lalu
dia  berkata,   Tidak!  Aku  tidak akan menghalalkannya kecuali dengan
satu syarat. 

Tsabit khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu. Namun, ia tidak punya
pilihan.   Apa  syarat  itu,  Tuan?   Si pemilik kebun menjawab dengan
jawaban  yang di luar dugaan.  Engkau harus mengawini putriku!  Tsabit
bin  Ibrahim terkejut.  Hanya karena aku makan setengah buah apel yang
jatuh keluar dari kebun Tuan, saya harus mengawini putri Tuan?  Tsabit
membuat pertanyaan dengan warna penuh keheranan.

Tapi si pemilik kebun itu tidak peduli. Bahkan ia menambahkan,  Engkau
juga harus tahu. Putriku punya kekurangan. Ia buta, bisu, dan tuli. Ia
juga lumpuh. 

Tsabit  terkejut.  Haruskah  ia  menikahi  perempuan seperti itu hanya
karena ia memakan sebuah apel tidak dihalalkan baginya?

Si  pemilik  kebun  itu  kembali  menegaskan sikapnya,  Aku tidak akan
menghalalkan apel yang engkau makan kecuali engkau penuhi syarat itu. 

Tsabit  yang  tidak  ingin  di  tubuhnya ada barang haram dengan tegas
menjawab,   Baik, aku terima karena aku telah bertekad akan mengadakan
transaksi  dengan  Allah  Rabbul   alamin. Untuk itu aku akan memenuhi
kewajiban-kewajiban  dan  hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap
Allah     meridhaiku.    Mudah-mudahan    aku    dapat    meningkatkan
kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta ala. 

Pernikahan  pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi
untuk  menyaksikan  akad nikah itu. Setelah akad nikah selesai, Tsabit
dipersilakan   menemui   istrinya.   Assalamu alaikum!   Tsabit  tetap
mengucapkan salam, walau tahu istrinya tuli dan bisu.

Tsabit  kaget.  Ada  suara  wanita  menjawab  salamnya.  Tsabit  masuk
menghampiri  wanita  itu.  Wanita  itu  mengulurkan  tangan  menyambut
tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut.

Setelah duduk di samping istrinya, Tsabit bertanya,  Ayahmu mengatakan
kepadaku bahwa kamu buta. Mengapa? 

Wanita  itu  menjawab,  Ayahku benar. Aku tidak pernah melihat apa-apa
yang diharamkan Allah. 
Tsabit bertanya lagi,  Ayahmu juga mengatakan kamu tuli, mengapa? 

 Ayahku  benar. Aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang
yang  tidak membuat Allah ridha,  jawab wanita itu.  Ayahku pasti juga
mengatakan kepadamu aku bisu dan lumpuh, bukan? 

Tsabit mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya itu.

 Aku  dikatakan  bisu  karena  aku  hanya  menggunakan  lidahku  untuk
menyebut  asma  Allah  saja.  Aku dikatakan lumpuh karena kakiku tidak
pernah pergi ke tempat-tempat yang membuat Allah gusar. 

Tsabit  begitu  bahagia.  Ia  mendapat  istri  yang  shalihah. Apalagi
wajahnya  bagaikan  bulan  purnama di malam gelap. Dari pernikahan ini
Tsabit  dan istrinya dikaruniai seorang putra yang kelak menjadi ulama
yang menjadi rujukan dunia: Imam Abu Hanifah An-Nu man bin Tsabit




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke