Mambaco banyak posting da Jepe, Reny, da Reflus, dll sanak palanta RN tentang 
fiksi nan sambung menyambung ko mambuek ambo mancogok lo dari lokasi 
"pertapaan" ambo sabanta.

Ambo sharing sajo bagian awal Epilog novel ambo "Presiden Prawiranegara" 
(Mizan, 2011) sbb:

------

EPILOG

Liaquat Bagh, Rawalpindi, 16 Februari 1989


     SEMILIR angin musim dingin masih setia memeluk Kota Rawalpindi meski 
almanak yang terpajang di toko kecil milikku menunjukkan bumi sudah memasuki 
Februari. Tarikh musim memang sedang berubah di berbagai negeri, tak terkecuali 
di bekas ibu kota Pakistan ini. Itu yang kulihat dikabarkan berulang-ulang di 
televisi.
     Oh ya, perlu kusampaikan bahwa aku sudah hampir sembilan tahun tinggal di 
negara Islam dengan penduduk Muslim terbanyak kedua di dunia setelah tanah 
kelahiranku Indonesia.
     Bagaimana kisahku, Kamil Koto, bisa mengais rezeki di Pakistan dengan 
istriku Zahara, akan terlalu panjang jika harus kupaparkan di sini. Dan mungkin 
tidak akan membawa banyak maslahat bagi pembaca karena kami bukanlah 
siapa-siapa.
     Cerita kami mungkin hanya akan berguna bagi anak kami satu-satunya, 
Muhammad Syafruddin Koto, yang sedang merintis restoran "SALERO KOTO Minang & 
Indonesian Cuisine" di Kota Karachi dan Islamabad.
     Dalam mengembangkan usaha restorannya itu, Syafru (entah mengapa dia tidak 
mau dipanggil Syaf, apalagi Udin. Tidak juga dengan nama lengkapnya, 
Syafruddin. Betul-betul sulit kupahami selera anak sekarang tentang nama) 
dibantu oleh istrinya Najeela Sharif, perempuan Pakistan asli dari Northwest 
Frontier, kawasan bergunung-gunung tinggi di daerah perbatasan dengan 
Afghanistan, yang nama dusun aslinya aku benar-benar lupa akibat terlalu sulit 
dilafalkan dengan lidah Pariamanku.
     Najeela, istri Syafru itu, di mataku terlihat seperti biduanita Elya 
Khadam muda, si pelantun lagu "Boneka dari India". (Sst, tentu saja hal ini tak 
pernah kukatakan secara terbuka di depan Zahara, karena cemburu tak pernah 
berdamai dengan berapa pun usia. Percayalah.)
     Tuan-tuan dan puan-puan pembaca yang budiman, tentu sudah bisa menerka 
dari mana inspirasi nama Syafruddin pada nama anak kami, bukan?

...

     SEBENTAR lagi usiaku genap 60 tahun. Hidup tidak disiplin di saat muda, 
terutama saat aku belum bertemu Residen Rasjid di Pasar Pariaman menjelang 
berdirinya PDRI dulu, sudah menunjukkan hasil terburuknya sekarang: kondisi 
tubuhku yang di mata Zahara terlihat 5-10 tahun lebih tua dari usiaku 
sebenarnya.

...

     Adalah Zahara pula yang rajin mengingatkanku untuk rajin berjalan pagi 
mengelilingi Lapangan Liaquat Bagh di tengah Kota Pindi, seperti yang kulakukan 
pagi ini. Dan Zahara bukan sekadar mengingatkan dengan cintanya yang besar. Dia 
juga selalu menemani setiap kali aku datang ke lapangan yang namanya berasal 
dari Liaquat Khan, bekas Perdana Menteri Pakistan yang terbunuh saat melakukan 
kampanye di lapangan ini ... Setelah berjalan beberapa putaran mengelilingi 
lapangan, biasanya kami duduk sembari memandang sekawanan burung gagak hitam 
berkaok-kaok di atas batang-batang pohon.

...

     Tetapi pagi ini, saat aku hampir melipat koran yang baru kubeli sebelum 
masuk ke lapangan, sebuah berita kecil dengan judul yang tak mencolok mata 
justru menohok hatiku seperti ditinju Muhammad Ali. Judul berita pendek itu: 
TOKOH ISLAM INDONESIA SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA MENINGGAL DUNIA.
     Lapangan Liaquat Bagh kuras akan bergoyang seketika!
     Aku hampir tak percaya pada apa yang kubaca. Tidak! Pak Syaf tidak boleh 
meninggal sekarang!
     Dua minggu lagi aku dan Zahara akan datang ke Indonesia untuk pertama 
kalinya setelah sekian lama meninggalkan tanah air tercinta. Hasil tabungan 
kami sudah mulai cukup untuk membawa kami pulang kampung ke Pariaman dan 
Jakarta selama dua pekan.
     Oleh karena itu, tanggal pulang pada akhir bulan ini sengaja kami pilih 
dengan salah satu pertimbangan karena Pak Syaf berulang tahun pada 28 Februari. 
Kami berniat untuk menghaturkan salam dan tahniah pada hari miladnya itu.

...

     Setelah beberapa jenak keheningan yang mengaramkan pikiran kami berdua, 
suara Zahara terdengar. "Abi, mari kita ke masjid untuk melakukan shalat ghaib 
bagi arwah Pak Syaf," katanya sambil meletakkan kepalanya di bahuku. Tangis 
Zahara kembali garau tak tertahankan.
     Di dalam masjid, aku tak bisa langsung melakukan shalat ghaib bagi Pak 
Syaf. Pikiranku melayang pada kejadian menjelang Idul Fitri 1399 H yang jatuh 
pada Juli 1980. Saat itu aku dan Zahara sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan 
keberangkatan kami ke Pakistan untuk pertama kali.

...

     DI ATAS pesawat yang menerbangkan kami ke Karachi, aku membaca majalah 
"Tempo" edisi 3 Agustus 1980 yang kubeli sebagai bacaan di perjalanan.
     Pada artikel di bawah judul "Tertib Khatib", tercetak tulisan yang membuat 
darahku seakan berhenti mengalir:

"... Menurut Brigjen Eddy Nalapraya, Kastaf Skogar Ibu Kota, beberapa hari 
sebelum Idul Fitri, pihak keamanan menerima laporan adanya rencana pengacauan 
di beberapa tempat pada saat Idul Fitri berlangsung. Sehubungan dengan itu, 
pihak Skogar menaruh perhatian pada 3 dari 106 khatib yang akan berkhutbah, 
yaitu A.M. Fatwa, Syafruddin Prawiranegara, dan Bung Tomo. Alasannya, khutbah 
mereka biasanya memancing emosi masyarakat ..."

     Aku tak percaya pada apa yang kubaca. Pak Syaf dianggap akan melakukan 
pengacauan? Pengacauan apa? Inikah balasan bagi seseorang yang sudah 
menyelamatkan hidup Republik dengan mengorbankan kehidupan pribadi dan 
keluarganya selama berbulan-bulan di pedalaman Sumatra? Inikah watak asli 
bangsa yang selalu mendengungkan kalimat "Bangsa yang besar adalah bangsa yang 
menghormati jasa pahlawannya"? Apakah ini yang dimaksud dengan bentuk 
"kehormatan" itu?
     Gombal! Omong kosong! Taik kucing!
     Dengan amarah yang kini membakar dada dan kepala, melanjutkan membaca 
artikel itu:

... (Pada bagian ini Kamil Koto membaca artikel lengkap di Tempo) ...

     USAI shalat ghaib, kuminta AL-Qur'an dengan terjemahan bahasa Indonesia 
yang biasa dibawa Zahara. Tak tahu harus membaca surat apa yang cocok, aku 
pejamkan mata dan meraba-raba halaman Kitab Mulia dengan hanya mengandalkan 
gejolak hatiku ... ayat yang kupilih secara acak membuat hatiku kembali 
terbesar, dan air mataku kembali mengalir:

"Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan 
Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat 
rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang 
diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergoyang hati terhadap orang-orang 
yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka; bahwa tidak ada 
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS 3: 
169-170)"

....

     AKU yakin Pak Syaf sudah berada di tempat terbaik di sisi Allah sekarang. 
Di mata Pemerintah Orde Baru mungkin beliau akan terus dicap sebagai pembuat 
kerusuhan, sebagai pengkhianat negara. Tetapi dengan ilmu agamaku yang sangat 
dangkal, aku yakin semakin-yakinnya bahwa seisi langit dan bumi yang selalu 
bertasbih kepada Allah justru akan bersaksi bahwa semasa hidupnya di dunia, Pak 
Syaf termasuk golongan hamba yang terus menegakkan kebenaran. Dan kebenaran tak 
akan bisa disembunyikan selamanya.
     Kini aku yang masih tertinggal di belakang, dan masih sibuk dengan hiruk 
pikuk urusan dunia yang sesungguhnya hanya tempat persinggahan sementara, 
bisakah juga mendapatkan sedikit saja dari kemuliaan yang diperoleh Pak Syaf?
     Dari Rawalpindi aku menundukkan hati serendah-rendahnya di hadapan Ilahi, 
berdoa, meminta, berharap, agar Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang, masih 
bersedia memberikan lagi pemimpin-pemimpin mulia seperti Pak Syaf di negeri 
tempatku berasal: Indonesia. Apalagi pemerintahan juga akan berganti. Rezim 
datang dan pergi.
     Namun kalau pun saat ini aku tak bisa melihat doaku terwujud, aku 
sungguh-sungguh meminta kepada Allah agar anak cucuku bisa melihat dengan mata 
kepala mereka sendiri seperti apa sosok pemimpin mulia itu sebenarnya. Seperti 
sosok yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayat melekat di badan: Presiden 
Prawiranegara.
     Presidenku dunia akhirat.

(Disarikan dari Epilog "Presiden Prawiranegara" hal. 351-367)

---------------

Salam,

Akmal N. Basral
Cibubur

Sent from my iPad

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke