OLEH: INDRA J PILIANG
Epaper Harian Haluan RABU, 25 MEI 2011

ADA info menarik yang beredar dalam dua-tiga pekan ini, yakni Kerajaan Malaysia 
berutang kepada Kerajaan Pagaruyung sebesar Rp 350 Triliun. Selain harian 
Kontan, majalah terkemuka Trust juga memuatnya. Si pembawa kaba, eh, berita 
bernama E Soeharto yang mengaku sebagai keturunan kerajaan Pagaruyung.

Banyak keganjilan dari berita itu. Bukan saja soal informasinya, misalnya 
kejadiannya pada tahun 1955, tetapi juga menyangkut seluruh “logika 
sejarah”-nya. Sebelum ditemukan dokumen yang sahih, kita hanya bisa menggunakan 
logika-logika dasar.

Di zaman yang serba informatif ini, terkadang berita atau informasi tidak 
dilacak dulu sumber-sumber utamanya, tetapi langsung disebarkan ke masyarakat 
luas. Mari kita ajukan sejumlah pertanyaan menyangkut berita itu.

Pertama, apakah Kerajaan Pagaruyung benar-benar masih eksis pada tahun 1955? 
Benarkah Soekarno mempunyai hubungan dengan para petinggi Kerajaan Pagaruyung 
itu? Sungguh saya meragukan informasi ini. Sekalipun sekarang eksistensi 
keturunan Kerajaan Pagaruyung masih ada, namun untuk kiprah sebuah kerajaan 
pada tahun 1955 rasa-rasanya terlalu berlebihan. Sejarah resmi mencatat bahwa 
sejak berakhirnya perang Paderi pada tahun 1837, Belanda menguasai semua lini 
pemerintahan.

Kedua, darimana sumber kekayaan Kerajaan Pagaruyung? Sejauh yang bisa diketahui 
dalam sejarah, Kerajaan Pagaruyung bukanlah jenis kerajaan yang memiliki 
kekuasaan mutlak atas tanah ataupun kekayaan rakyat lainnya. Apakah Kerajaan 
Pagaruyung melakukan pungutan pajak kepada rakyat Minangkabau? Sepertinya 
tidak, mengingat pemberontakan pajak terjadi pada masa Belanda. Rakyat Sumbar 
jelas alergi dengan pajak yang dibawa oleh kepentingan asing itu. Jadi, 
mustahil Kerajaan Pagaruyung mampu mengumpulkan dana sampai mencapai angka 
Rp350 triliun, lalu meminjamkannya kepada Kerajaan Malaysia. Kalau yang 
dipinjamkan saja Rp350 triliun, bayangkan berapa kas yang masih tersisa. Tidak 
mungkin jumlah yang dipinjamkan lebih besar daripada kekayaan aslinya.

Ketiga, kedaulatan Raja Pagaruyung tidaklah sama dengan raja-raja lain di Jawa, 
misalnya. Minangkabau memiliki sistem pemerintahan yang unik. Terdapat otonomi 
yang luas di tingkat nagari. Makanya, dalam istilah yang lebih modern, 
Minangkabau menganut sistem konfederasi nagari. Masing-masing nagari memiliki 
otonomi dalam pemerintahan, adat dan budaya setempat. Kalaupun ada hubungannya 
dengan sang Raja, biasanya hanya menyangkut aspek kebudayaan, bukan dalam 
artian administrasi pemerintahan (termasuk administrasi keuangan) yang 
terpusat. Kalau itu yang terjadi, berarti di sekitar Istana Pagaruyung akan 
menjadi kota yang maju, tetapi kenyataannya tidak demikian.

Keempat, Kerajaan Pagaruyung juga tidak memiliki pasukan. Biasanya, selain 
melindungi raja atau berperang dengan kerajaan lain, pasukan kerajaan ini 
bertugas memungut pajak. Pagaruyung sama sekali tidak memiliki pasukan itu, 
baik infantri atau kavaleri. Ketika Perang Paderi terjadi, pasukan yang ikut 
perang bersifat sukarela yang berasal dari beragam nagari dan daerah yang 
melingkupi empat provinsi sekarang: Jambi, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera 
Barat.

Jaringan ulama memainkan peranan, selain tentunya kaum adat yang kemudian 
bergabung setelah tahu politik devide et impera yang dilakukan Belanda. Jadi, 
pasukan Paderi mirip dengan pasukan Amerika Serikat ketika perang kemerdekaan 
melawan Inggris: sukarela.

Banyak lagi argumentasi yang bisa diberikan tentang kerajaan Pagaruyung. Tetapi 
intinya adalah tidak masuk akal Kerajaan Pagaruyung memiliki kekayaan yang 
katakan saja sebesar Rp700 triliun, dengan asumsi setengahnya dipinjamkan, 
setengah lagi menjadi kas kerajaan. Lagipula, orang Minangkabau tidaklah 
mengenal pola pengumpulan harta kekayaan yang melimpah. Jarang ada di 
Minangkabau istana-istana megah ataupun rumah-rumah bak istana, sampai 
sekarang. Kalaupun ada bangunan-bangunan besar, seperti Jam Gadang Bukittinggi 
atau hotel dan kantor-kantor pemerintahan, tetap saja bangunan itu bukanlah 
milik perseorangan yang suka memamerkan hartanya.

Yang juga penting diingat adalah tahun 1955 Indonesia dihadapkan dengan pemilu 
1955. Hampir semua kekuatan politik memfokuskan diri kepada hajatan pemilu itu. 
Sekalipun biaya pemilu tidaklah sebesar sekarang, mengingat para tokoh politik 
adalah pribadi-pribadi yang sederhana yang tidak ingin merepotkan orang lain, 
tetap saja informasi “pinjaman ke Malaysia” akan menghebohkan.
Pastilah koran-koran akan memperdebatkan itu. Karena korupsi belum begitu 
“membudaya” seperti sekarang, informasi tentang dana yang sebesar Rp350 triliun 
untuk sekarang itu akan membelalakkan mata semua orang.

Secara politik internasional, Indonesia pada tahun 1955 itu juga tidak terlalu 
berkepentingan dengan kehadiran Malaysia sebagai sebuah negara merdeka. 
Bagaimanapun, Indonesia termasuk pemimpin dari negara-negara di Asia dan 
Afrika, sebagaimana tercermin dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 
1955 itu di Bandung. Napas KAA itu memang memerdekakan bangsa-bangsa di Asia 
dan Afrika yang masih dijajah, tetapi tidak ditujukan khusus kepada Malaysia. 
Walau Malaysia merdeka pada 31 Agustus 1957 yang secara tidak langsung didorong 
juga oleh KAA, tetap saja bukan kasus yang secara khusus mendapat perhatian 
Indonesia.

Kalau memang benar Soekarno mengetahui soal pinjaman (uang) sebesar Rp350 
triliun itu, pastilah Soekarno akan mengungkitnya dalam pidato-pidato yang 
bergelora. Yang ada, Soekarno malahan meminjam uang yang dibelikan senjata guna 
kepentingan konfrontasi itu kepada Uni Sovyet. Selain itu, Soekarno juga 
menjalankan politik mercusuar dengan membangun sejumlah hal, seperti Jembatan 
Ampera, Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, Gedung MPRDPR sekarang, Monumen 
Nasional, Bendungan Jatiluhur, dan lain-lain.

Dengan tingkat kesulitan likuiditas waktu itu, sampai-sampai Soekarno 
menjalankan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (terutama 
Belanda), sangatlah jelas betapa kebutuhan penggunaan uang di dalam negeri jauh 
lebih penting, daripada meminjamkan ke luar negeri. Memang Indonesia pernah 
mengirimkan bantuan beras kepada India, ketika negara itu mengalami kelaparan, 
tetapi beras itu jelaslah sebagai ucapan terima kasih ketika India menjadi 
negara pendukung kemerdekaan Indonesia di forum internasional.

Begitulah. Terlepas dari rincian berita soal pinjaman uang dari Kerajaan 
Pagaruyung ke Kerajaan Malaysia itu, konteks dan jiwa zaman (zetgeist) waktu 
itu sangatlah tidak mendukung “kebijakan” itu. Sehingga, sangat mustahil uang 
itu ada dan kebijakan itu dilakukan. Sampai dokumen resmi ditemukan, saya 
menganggap berita itu hanya sekadar “carito lapau”. Bak kata pepatah Minang, 
kato di lapau, kato bagalau.

Mungkin karena bangsa ini sedang galau, sehingga cerita-cerita semacam itu 
muncul terus. Dan kalau sampai Menteri Luar Negeri mengurus soal carito lapau 
ini, berapa banyak lagi carito yang mau diurus? Wallahu ‘Alam. 􀂄

Penulis Sejarawan, Analis dan Pekerja Politik


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke