Koran Tempo, 07 Januari 2011 Kenapa Takut “Nyapres”? Oleh Indra J Piliang Dewan Penasehat The Indonesian Institute Satu fenomena aneh dalam politik Indonesia kontemporer adalah melarang-larang orang jadi calon presiden atau “nyapres”. Keanehan itu malah dilakukan oleh elite politik. Kata mereka: belum saatnya bicara tentang calon presiden. Kata mereka lagi: tugas kita sekarang adalah bekerja untuk rakyat. Yang lebih ekstrim menyebut jauh lebih penting soal-soal ekonomi daripada politik.
Pandangan dikotomis itu kurang tepat. Masing-masing bidang sudah jelas takarannya. Bagi pemerintah, diberikan porsi anggaran dan regulasi yang cukup untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Bagi pelaku ekonomi juga sama, memiliki banyak kebebasan dalam meraih keuntungan. Dalam era informasi serba terbuka sekarang, setiap individu ibarat masuk ke rumah makan Padang: mau kuah silakan, tak perlu bayar. Tapi kalau makan rendang, tentu lebih mahal dari sekadar ikan asin. Begitupun untuk pencapresan. Bukankah yang diperbincangkan hanya menyangkut sejumlah nama yang terbatas? Dimulai dari hasil survei, tersebutlah nama Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie, Sultan Hamengku Buwono X, Sri Mulyani Indrawati, Kristiani “Edhie Wibowo” Yudhoyono, Surya Paloh, Hatta Rajasa, dan lain-lain. Nama-nama “pelapis” juga ada: Anas Urbaningrum, Anies Rasyid Baswedan, Puan Maharani, Pramono Edhie Wibowo, Mahfud MD, Irman Gusman atau Marzukie Alie. Kalau diurut lagi, jumlahnya tidak akan sampai 20 nama. Nah, apakah perbincangan atas ke-20 nama itu menyita perhatian publik? Atau menyibukkan negara ini? Saya tidak yakin itu. Tanpa ada pemberitaanpun sebetulnya publik sudah menebak-nebak siapa capres yang layak. Zaman capres tunggal sudah lama lewat. Minim Waktu Pengalaman pilpres 2009 lalu menunjukan betapa minimnya jadwal resmi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hanya sekitar 3 bulan. Dalam waktu kasip itu, pekerjaan teknis berupa pembentukan Tim Kampanye Nasional makan waktu seminggu. Belum lagi penyusunan visi-misi pasangan capres-cawapres. Apabila capres-cawapres berasal dari partai politik berbeda, maka Timkamnas juga semakin membengkak. Dalam jadwal resmi KPU, pasangan capres-cawapres bisa berkampanye di 11 provinsi dalam sehari, sementara 22 provinsi lainnya adalah tempat dua pasangan lain. Bagaimana mengejarnya? Belum lagi, organisasi sosial kemasyarakatan, kaum profesional, kampus dan segala macam asosiasi mengundang para capres-cawapres. Kalau tidak datang dianggap tidak peduli dan dijelek-jelekan dalam konferensi pers. Nah, “kampanye dini” yang dimulai tahun ini anggap saja sebagai soft campaign. Visi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla dan Wiranto sudah diketahui publik, begitu juga Amien Rais, Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Agum Gumelar, Siswono Yudohusodo dan Solahuddin Wahid. Mereka pernah maju dalam pilpres 2004 dan 2009. Sejarah dua pilpres menunjukkan bahwa dari tiga pasangan capres-cawapres 2009 (6 orang), maka 4 orang pernah nyapres-nyawapres pada 2004. Hanya dua orang yang “baru”, yakni Boediono dan Prabowo Subianto. Tampaknya, hanya Prabowo Subianto yang akan maju dari 6 orang yang sudah maju di 2009 ini untuk 2014. Karena itu, bangsa ini membutuhkan figur-figur baru. Jangan sampai bangsa ini dipenjara oleh oligarki elite. Oligarki hanya masalah geraham, yakni jatuh dari mulut oligarki yang satu ke taring oligarki yang lain untuk kepentingan sempit semata. Bisa jadi penyanderaan seperti ini tak disengaja, muncul dari kesadaran publik yang secara jenjang pendidikan termasuk rendah di dunia. Agar lebih berimbang, “rekayasa publik” dengan mendukung bakal capres-cawapres dini jauh lebih memberi harapan untuk perbaikan. Kita tentu tak ingin lagi memilih presiden atau wakil presiden berdasarkan pencitraan semata. Belanja iklan yang gila-gilaan, apalagi sampai melakukan money politics, jelas akan merusak rasionalitas publik. Yang kita dapat adalah ketidak-jelasan atas agenda-agenda publik yang mau diselesaikan oleh capres-cawapres itu. Padahal, titik penting dari proses kampanye politik adalah tertautnya kepentingan publik dengan kepentingan kandidat yang diukur lewat visi dan misi. Tarung Ide Selain figur, bangsa ini membutuhkan visi dan misi yang lebih luas dan kaya. Minimal, kebinnekaan Indonesia terlihat dari kebinnekaan gagasan. Dua masalah besar sudah dicoba dijembatani oleh Presiden Gus Dur, yakni dunia agraris dan maritim. Gus Dur terlihat menonjolkan dunia maritim, termasuk dalam tubuh militer. Tapi hanya Gus Dur yang melakukan itu. Belum lagi pada persoalan-persoalan besar di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, atau masalah yang sebetulnya tersier: transportasi. Memperbincangkan visi kepresidenan seperti itu justru baik, sangat baik, bagi bangsa ini. Alangkah malunya bangsa ini, apabila dalam pilpres 2014 nanti masih membicarakan soal-soal usang seperti Jawa-Luar Jawa, Sipil-Militer, Nasionalis-Agamis atau dikotomi politisi-profesional. Pertarungan ide itu justru harus dimulai dari sekarang. Tidak bisa menunggu lagi. Jangan-jangan, kelompok yang tidak menghendaki nyapres awal ini tidak siap dengan ide-ide yang lebih baik? Atau kelompok ini hanya yang bersandar kepada pekerjaan elemen bangsa, misalnya soal lepas dari krisis atau pemberantasan korupsi. Kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tertarik dengan tema-tema khusus selayaknya mulai memanggil bakal capres-cawapres ini, lalu menguliti pikiran mereka. Jangan lagi proses pilpres 2009 lalu terulang, para kandidat capres-cawapres dinilai visi-misinya dalam waktu singkat, hanya karena capres-cawapres itu tidak sempat memenuhi undangan. Beban politik masa lalu para capres-cawapres juga tidak selayaknya dikedepankan selama pilpres, apalagi kalau mereka sudah lolos dan ditetapkan sebagai capres-cawapres resmi oleh KPU. Kalau mau dipersoalkan, sebaiknya pra-pilpres seperti saat ini. Terbukti bahwa para pelaku attacking campaign dalam pilpres lalu adalah pendukung pasangan capres-cawapres yang lain, lalu terjun ke ranah politik praktis. Kejadian tak etis itu mestinya dihindari. Para simpatisan capres-cawapres ini juga bisa membentuk kelompok-kelompok khusus. Sri Mulyani Indrawati, misalnya, sudah didukung oleh sekelompok orang. Sudah selayaknya kelompok-kelompok lain juga muncul, lalu mengadakan pertemuan atau perdebatan di ranah publik tentang keunggulan dan kelebihan capres-cawapres yang diusung. Jadi, kenapa takut nyapres? http://www.indrapiliang.com/2011/01/07/kenapa-takut-nyapres/ -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.