Bersihar Lubis 

 <http://padang-today.com/foto/tokoh/Sutan%20Sjahrir.jpg> klik untuk melihat
foto



KEMENAKANNYA, penyair Chairil Anwar mencantumkan nama Bung Sjahrir bersama
Bung Karno dan Bung Hatta dalam sajak "Krawang-Bekasi." Sjahrir peminat
serius seni. Ia gemar menonton konser kesenian rakyat seraya berjalan kaki
keliling Amsterdam. Berbaur dengan kaum bohemian, berdebat  tentang Marxis,
ia pun berhimpun dalam Persatuan Mahasiswa Sosial Demokrat Belanda. Jadilah
Sjahrir si Bung Kecil, seorang yang rasional, realistis, vitalitas yang beda
dengan alam Minangkabau, daerah asalnya, yang romantik dan tradisional,
walaupun studinya di Universitas Amsterdam dan Hukum di Leiden gagal.

Masa senja pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 1948 ini memang
pahit. PSI kalah pada Pemilihan Umum 1955. PSI dan Partai Masyumi dibubarkan
Presiden Soekarno pada 1960, karena dituduh terlibat pemberontakan
PRRI/Permesta pada 1958 di Sumatera dan Sulawesi. Ia dikenai tahanan rumah
sejak 1962, dan kemudian diizinkan berobat ke Swiss pada 1965. Kemudian,
Jumat 9 April 1966, 41 tahun yang silam, ia meninggal dunia di Swiss, jauh
dari Padangpanjang, tempat ia lahir pada 5 Maret 1909 silam, 101 tahun yang
lalu. Jasadnya diterbangkan ke Jakarta dan dimakamkan dalam upacara
kenegaraan.

Namun mereka yang membaca buku William "Bill" Liddle, seorang Indonesianis
dari Ohio State University yang bertajuk "Modernizing Indonesian Politic" di
dalam "Political Partisipation in Modern Indonesia (New Heaven: Yale
University Press 1973), akan segera tahu bahwa ideologi modernisasi yang
mempengaruhi rezim (awal) Orde Baru justru berakar dari Perhimpunan
Indonesia yang didirikan Bung Hatta dan Bung Sjahrir di negeri Belanda.
Bahkan, semakin konseptual dalam doktrin politik dan ekonomi PNI-Baru yang
didirikan keduanya pada 1931.

Toh, ketika Kabinet Sjahrir terbentuk pada November 1945, ia tak mabuk
kepayang membentuk sebuah republik sosialis. Sebagai Ketua KNIP, semacam MPR
kala itu, ia setuju system multipartai, dan menolak partai tunggal bernama
PNI yang diusulkan Bung Karno. Bahkan terhadap Amerika dan sekutunya,
Inggris dan Belanda yang mencoba mengambil alih kekuasaan dari Jepang,
Sjahrir cerdik membaca situasi. Ia tak mau larut dengan pikiran banyak tokoh
yang cenderung merangkul Jepang, dan tak perlu berkompromi dengan Belanda.

Meskipun saat itu ada satuan militer eks HEIHO dan PETA, embrional Badan
Keamanan Rakyat (BKR) dan bisa menyangga republik, tapi Sjahrir tetap
mengkawatirkan bahwa kelompok-kelompok bersenjata sangat memungkinkan
menimbulkan bahaya anarki menuju sebuah rezim yang otoriter. "Kekacauan
hanya membunuh diri sendiri, dan hasilnya adalah kemenangan kaum
reaksioner," kata Sjahrir saat diwawancarai oleh  George Mc Kahin pada 15
Februari 1949.

Secarik surat dari Ho Chi Minh yang mengajak Bung Karno dan Bung Hatta agar
revolusi Indonesia dan Indochina bersatu melawan kolonial ditolak oleh
Sjahrir. Soedjatmoko, seorang pengikut Sjahrir sempat menilai Sjahrir
sebagai penghkhianat revolusi. Sjahrir berlogika bahwa kaum nasionalis
Indochina yang dipimpin oleh kaum komunis, justru dalam konstelasi politik
dunia akan "gempa" karena dimusuhi oleh Amerika dan sekutunya, yang
memenangkan Perang Dunia II dan berpengaruh besar di Asia Pasifik, termasuk
Indonesia yang telah lepas dari fasisme Jepang. Belakangan Sjahrir terbukti
benar.

Analisis Sjahrir 
Misalkan jarum sejarah bisa diputar, dan Indonesia tak mau berunding dengan
Belanda, apa gerangan yang akan terjadi? Jhon D Ledge dari University of
Oxford Inggris pada 1953 pernah menulis dalam "Kaum Intelektual dan
Perjuangan Kemerdekaan" (Pustaka Utama Grafiri 1993), dan membayangkan
Indonesia akan dikalahkan oleh tentara Belanda, sehingga kemerdekaan 1945
akan tertunda. Mungkin, meletuslah perlawanan bawah tanah yang
berlarut-larut, dan belum jelas entah kapan Indonesia merdeka.

Kontroversi kemerdekaan RI pada 1945 lagi-lagi menunjukkan kebenaran politik
realisme Sjahrir. Ketika kekuasaan Jepang mulai goyah, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah dibentuk awal Agustus 1945. Saat itu,
Bung Karno, Bung Hatta dan Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat dipanggil
ke Indochina oleh Marsekal Terauchi, Panglima Tentara Ekspedisi Selatan
Jepang, dan saat itulah iming-iming kemerdekaan Indonesia
didengung-dengungkan.

Ketika Bung Karno cs pulang ke Jakarta pada 14 Agustus 1945, tanpa tahu
bahwa bom pertama tentara sekutu telah jatuh di Jepang, dan negeri itu mulai
oleng. Serta-merta Sjahrir mempengaruhi Bung Hatta supaya tak lagi perlu
berunding dengan Jepang yang pasti akan menyerah kepada Sekutu. Hatta tidak
yakin dan membawa Sjahrir ke Bung Karno yang juga tak yakin kepada analisis
Sjahrir. Keduanya lebih suka kemerdekaan diumumkan pada 18 Agustus 1945.
Sjahrir marah besar.

Tak ayal, sejumlah pemuda dipimpin oleh Adam Malik, Chaerul Saleh dan
Sukarni memutuskan menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawanya ke
Rengasdengklok. Tapi itu setelah mereka menemui Bung Karno di Pegangsaan
Timur 56 Jakarta, dan Bung Karno tetap menolak segera memproklamirkan
kemerdekaan. Akhirnya, Bung Karno dan Bung Hatta rapat dengan anggota PPKI
dan sejumlah pemimpin pemuda di rmah Laksamana Maeda, dan disiapkanlah
naskah proklamasi yang diumumkan pada 17 Agustus 1945.

Sjahrir  tak setuju dan tak ikut menculik Bung Karno dan Hatta, tetapi ia
juga tak ikut rapat di rumah Maeda. Ia tak suka cara kekerasan main culik,
tapi ia pun tak setuju jika kemerdekaan Indonesia seolah-olah anugerah dari
Jepang yang akan keok kepada Sekutu. Sjahrir cenderung realistis melihat
munculnya kekuatan global Amerika dan sekutunya sebagai pemenang PD II, dan
Jerman, Italia dan Jepang sebagai pecundang.

Pelita Hati 
Politik realisme itupula yang dianut oleh sejumlah intelektual Orde Baru
seperti Wijoyo Nitisastro dkk. dalam menyusun kebijakan ekonomi di masa
Soeharto. Bukan tanpa alasan jika Orde Baru pun semakin dekat ke Barat yang
dipimpin oleh Amerika, ketimbang masa Soekarno yang berkiblat ke Kremlin
(dan Peking). Terbukti Blok Timur yang dikemudikan Sovyet tumbang  pada
1980-an, setelah simbol "Tembok Berlin" runtuh dan disusul periode "tsunami"
bagi komunisme. Persis analisis Sjahrir tentang Perang Dunia II.

Namun ketika kini kekuatan global dunia, baik politik dan ekonomi yang tak
lagi semata dihegemoni AS, bagaimanakah kita meletakkan visi realisme
Sjahrir? Munculnya kekuatan baru, seperti China dan sebelumnya Jepang,
bahkan juga Korea Selatan dan India, Indonesia yang sudah masuk ke G-20,
tampaknya tak lagi harus  membeo kepada AS dalam perekonomian global.

Realisme toh tidak bermakna tunggal, karena bukankah ada multi-realisme
setidaknya dalam memandang sebuah kenyataan? Menyebarnya pusat kekuatan
global memungkinkan Indonesia memainkan peran non blok, dalam makna semua
adalah teman. Ibarat pebinis, Indonesia meletakkan komoditasnya di banyak
keranjang. Lagi pula perang dingin pun telah lama usai.

Dalam hal perekonomian, misalnya, kita tak harus terbelenggu oleh sistem
ekonomi sosialis di satu kubu dan ekonomi neoliberal di pihak lain.
Barangkali gagasan PSI dalam kongres I pada 1952 tentang mixed economic
(ekonomi campuran) patut menjadi referensi. Kala itu, selain dapat menerima
arus modal asing ke Indonesia, PSI juga dapat menyetujui kapitalisme
liberal, tetapi harus selalu dikontrol oleh negara dan parlemen.

Memang, pertumbuhan di Indonesia hanya dimungkinkan jika membuka pintu
terhadap modal asing. Namun kontrol negara dan parlemen multak diperlukan
agar investasi itu juga berguna bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sayang, kontrol itu yang kerap luput sehingga kasus Freeport bisa kaya raya
di tengah kemiskinan penduduk Papua, seperti juga terjadi di Aceh, Riau dan
lainnya.

Harus dikatakan, bahwa realisme dari Sjahrir (dan Hatta) itu masih relevan.
Meskipun masalah yang dihadapi bangsa ini di masa Sjahrir sudah berbeda
dengan apa yang kita hadapi di masa ini, tetapi realisme pada dasarnya
adalah penghargaan kepada rasionalitas. Bukan sekedar sentimen yang
anti-antian atau pro-proan belaka terhadap soal apapun yang sedang dihadapi
bangsa ini.

Saya kira dalam hal follow up kasus Century, kita pun harus berpijak pada
rasionalitas. Ke arah mana melangkah? Tetap politik-politikan, misalnya,
pemakzulan versus reshuffle, atau kembali fokus kepada ekonomi bangsa? Saya
kira yang terakhir ini lebih rasional dan kloplah dengan kehendak kita
menjaga Bung Syahrir (juga Bung Karno dan Bung Hatta) dan Menjaga Realisme.
(*)

 

http://padang-today.com/index.php?today=persona
<http://padang-today.com/index.php?today=persona&id=98> &id=98

 

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

To unsubscribe from this group, send email to 
rantaunet+unsubscribegooglegroups.com or reply to this email with the words 
"REMOVE ME" as the subject.

<<image003.jpg>>

Kirim email ke