Musim E-Book Sudah Tiba
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwOA==&dokm=MDM=&dokd=MzE=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=NjUx

E-book versi terkini lebih mirip buku sungguhan

Bikinlah janji lebih dulu jika hendak bertemu Azis Chandra. Bukan
karena ia sombong. Bukan. Kesibukan yang terus melonjak dalam
sebulan-dua bulan belakangan membuat Direktur Marketing Digibook ini
acap melanglang keluar kantor. "Duh, saya belum sempat ke kantor nih,"
katanya.

Harinya disesaki jadwal pertemuan dengan para penerbit, obrolan serius
soal persiapan grand launching buku digital yang direncanakan
berlangsung bulan depan, dan persiapan kerjasama untuk sistem
pembayaran saat membeli buku digital.

Azis tentulah sibuk. Ia adalah salah satu ujung tombak dari proyek
fenomenal yang dinanti banyak pecinta buku dan mereka yang melek
teknologi informasi. E-book bikinan Indonesia.

Sejak dirilis Desember tahun silam, e-book yang diterbitkan Digibook
sudah berhasil menarik hati delapan penerbit. Mereka menyerahkan
fiksi, nonfiksi, dan komik untuk dijual di digibookgallery.com.

"Kebutuhan e-book akan meningkat, seiring kemajuan teknologi dan
kebutuhan masyarakat," kata Vice President Operations Penerbit Mizan,
Putut Widjanarko, salah satu penerbit bekerjasama dengan Digibook.

Bekerjasama dengan Digibook untuk urusan buku digital sebenarnya bukan
hal baru bagi Mizan. Tujuh tahun silam, penerbit ini sudah melecut
gairah orang untuk menjajal aksara yang tersusun di buku lewat
internet.

Pada awal 2001 itu, saat Mizan meluncurkan buku elektronik yang bisa
diunduh secara gratis di toko buku online mereka, equator.com., e-book
itu diserbu dengan ganas, sampai-sampai server Mizan tidak sanggup
mengimbangi jumlah pengunduh yang membludak.

Putut menuturkan, buku versi digital tersebut awalnya tidak pernah
dimaksudkan untuk mencari keuntungan. Mizan, kata dia, hanya menguji
reaksi masyarakat terhadap format buku elektronik.

Proyek buku digital, yang sempat dikesampingkan, ini akhirnya
diputuskan untuk lebih serius digarap. Pertengahan tahun lalu Mizan
menjalin kerjasama dengan Digibook dan sejauh ini sudah menaruh
sekitar 50 judul buku di sana. Termasuk Laskar Pelangi yang laris
manis itu.

Maju lebih jauh dari era e-book pertama yang muncul di Indonesia,
e-book yang diterbitkan Digibook memang berbeda dari buku elektronik
lainnya. Tampilan tiga dimensi membuatnya persis seperti buku cetak,
seolah ada sebuah buku yang dimasukkan ke dalam monitor komputer.
Inilah yang membuat Digibook banyak dilirik. Bayangkan, dalam sebulan,
sejak diluncurkan, rata-rata lima ribu orang berkunjung ke toko buku
online ini.

Desain ini dibuat Digibook karena selama ini e-book tidak terlalu
disukai penikmat buku karena bentuknya sama seperti naskah di program
komputer seperti Microsoft Words dan Acrobat Reader.

"Dibacanya turun-naik turun-naik," kata Azis. "Nggak enak," kata Azis.

Sadar orang tidak terlalu suka membaca e-book model begini -karena
tidak ada bedanya dengan membaca teks di komputer, Digibook memikirkan
terobosan. Saat membaca buku di layar komputer, tampilan yang muncul
di depan mata adalah bentuk buku lengkap dengan lembarannya yang bisa
dibalik. Bedanya, jika halaman buku dari kertas dibalik dengan jari
dan ujungnya kerap berlipat karena cara membalik yang tidak hati-hati,
buku digital cukup dibalik dengan mengklik dengan tetikus. Tidak lecek
dan basah oleh jilatan di ujung jari.

Keistimewaan dan sensasi bak membaca buku asli itu pula yang memikat
Penerbit Ufuk Publishing House untuk menyerahkan buku unggulan mereka,
memoar Barack Obama,Menerjang Harapan, dari Jakarta menuju Gedung
Putih dan China Undercover: Rahasia di Balik Kemajuan Cina bersama
puluhan judul lainnya di bawah payung penerbitan mereka. Langkah
melebarkan sayap ke buku digital ini tidak sia-sia. Kedua buku itu
kini bertengger di antara buku laris di situs Digibookgallery.

Era konvergensi itu memang sudah tiba. "Kami ingin memanfaatkan semua
medium yang ada untuk menyampaikan buku pada masyarakat," kata Ahmad
Taufiq Haddad, Marketing Director Ufuk Publishing House.

Taufiq yakin ada segmen khusus yang kini terus bertumbuh, yang suka
membaca buku digital. "Mereka ini punya daya beli dan gaya hidup
tinggi, dan melek teknologi informasi," katanya. "Mereka ingin punya
banyak pilihan membaca selain membeli buku dalam versi cetak kertas."

Senada dengan Taufiq, Putut juga percaya e-book akan segera menjadi
populer karena gaya hidup orang muda yang kian akrab dengan teknologi
layar. Ringkas dan nyaman.

"Orang sudah terbiasa dengan telepon seluler, televisi, komputer, dan
video game," kata Putut. "Rasa estetika mereka jauh berbeda dengan
generasi sebelumnya."

Menurut Azis, harga komputer dan laptop yang kian murah dan masuknya
internet ke sekolah akan membuat orang kian akrab dengan buku digital.
Itu sebabnya, ia tengah berancang-ancang membikin format digital buku
teks pelajaran sekolah dan kampus.

Dilihat dari sisi penerbitan, memasarkan buku lewat format digital ini
sebetulnya lebih menarik karena sama sekali tidak membutuhkan biaya
pembelian kertas dan percetakan yang saat ini menjadi komponen biaya
terbesar. Putut mengatakan, penjualan buku digital yang tidak perlu
menyediakan stok akan membuat penerbit tidak perlu lagi memikirkan
penyimpanan atau mengurusi buku yang tidak terjual. Dengan begitu,
harga jual juga bisa ditekan. "Ujungnya, konsumen juga yang untung,"
katanya.

Perbedaan harga jual versi digital dan cetak kertas memang lumayan
besar. Hampir separuhnya. Di sisi penulis pun tidak rugi sama sekali
karena royalti yang dibayar tetap sama dengan harga versi cetak
kertasnya. Bahkan Mizan menjanjikan harga yang lebih aduhai bagi
penulis yang bukunya dibuat format digital.

Selain harga produksi yang bisa ditekan, proses digitalisasi juga
terhitung cepat. Cuma butuh waktu rata-rata tiga hari. Keuntungan lain
bagi penerbit, buku versi digital sudah dilengkapi kemampuan
antipembajakan dan tidak bisa dipindahtangankan.

Azis juga mengatakan pihaknya terus menyempurnakan tampilan dan
layanan demi kenyamanan pembaca. Salah satunya dengan menambahkan
pencari kata. Daftar isi buku dibuat interaktif. Dengan mengklik bab
atau subbab yang diinginkan, pembaca langsung diantar ke halaman yang
dituju.

Selain itu, sistem pembelian yang njelimet -yang baru bisa menggunakan
layanan transfer bank dan membuat transaksi harus melalui banyak
langkah-- juga diharapkan bisa diringkas dengan menggunakan fasilitas
kartu kredit.

Jika bisnis buku digital berjalan baik, Putut bahkan memprediksi
nantinya peta industri buku akan berubah. Pengarang, kata dia, bahkan
bisa menerbitkan sendiri bukunya. Tapi ia tidak terlalu khawatir
dengan kemungkinan itu karena baginya penerbit tetap punya kelebihan
dari kekuatan citra dan kemampuan berpromosi.

Ufuk juga berniat akan menerbitkan versi digital bagi setiap buku
baru, kelak. Mereka bahkan sedang menjajaki kerjasama dengan sejumlah
vendor perangkat telekomunikasi untuk menerbitkan buku dalam beragam
format digital lainnya.

Toh, dengan berlipat-lipat kenikmatan itu, pada akhirnya, Taufiq
mengakui faktor psikologis-lah yang akan jadi raja. Cara tetikus
mengklik selembar halaman yang "kurang asyik" karena terlihat membalik
berlembar-lembar, juga tampilan huruf yang kecil-kecil sehingga
menyulitkan saat membaca, memang rada mengganggu. Apalagi jika sudah
terbiasa dengan kegiatan ritual membaca buku sambil tiduran dan gemar
pada hal-hal melankolis seperti bau kertas dan tinta cetak. Pada
hal-hal tradisional itu orang akan kembali menemukan kenikmatan. "Sama
halnya dengan koran atau majalah yang tidak akan ditinggalkan orang
meski sudah ada televisi," kata Taufiq.

oktamandjaya wiguna/angela

Kirim email ke