Precedence: bulk


Untuk Rekonsiliasi Nasional:
ISTIQLAL (28/02/2000)# KEMBANGKAN TITIK PERSESUAIAN ISLAMISME DAN KOMUNISME

Oleh: Abdi Tauhid

        Usaha pemerintah Gus Dur, untuk pemulangan orang-orang yang selama
pemerintahan fasis Suharto terhalang pulang dan rencana pencabutan TAP MPRS
No XXV/1966 tentang larangan komunisme, supaya terwujud rekonsiliasi
nasional, menunjukkan pemerintah Gus Dur hendak menegakkan demokrasi di
Indonesia. Mudah dimengerti bila pendukung fasis Suharto menolak rencana
pemerintah Gus Dur yang demikian. Mereka menganggap pencabutan Tap MPRS itu
akan merugikan kepentingan mereka.
        Untuk menolak dicabutnya TAP MPRS tsb, mereka besar-besarkan perbedaan
Islamisme dan komunisme. Mereka katakan komunisme itu bertentangan dengan
Islam. Komunisme itu atheis. Untuk mencapai tujuannya, komunisme itu
menggunakan perjuangan kelas, kekerasan. Padahal dalam hal-hal yang
mendasar, yang substansial justru banyak terdapat persesuaian antara
Islamisme dan komunisme.
        Tentang banyaknya terdapat persesuaian antara Islamisme dan komunisme, 74
tahun yang lalu, Bung Karno melalui karyanya "Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme" sudah mengatakan, diantaranya: kaum Islam tidak boleh lupa, bahwa
kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula... Islamis yang
"fanatik" dan memerangi pergerakan marxis adalah Islamisme yang tak kenal
larangan-larangan ajarannya sendiri... Hendaklah kaum itu sama ingat, bahwa
pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyaklah persesuaian
cita-citanya, banyak persamaan tuntutan-tuntutannya... Sayang, sayanglah
jikalau pergerakan Islam Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan
marxis itu" (DBR, hal: 12-13-14).
        Juga H. Misbach, seorang komunis keagamaan dari Solo, ketika dalam Kongres
PKI di Bandung 4 Maret 1923 telah menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran akan
banyaknya kecococokan antara Islam dan komunisme. Diantaranya, kedua-duanya
memandang sebagai kewajiban menghormati hak-hak manusia dan kedua-duanya
berjuang terhadap penindasan. Juga diterangkannya bahwa seorang yang tidak
menyetujui dasar-dasar komunisme, mustahil ia seorang Islam sejati (lihat AK
Pringgodigdo SH, dalam "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia", hal: 28).
        H. Misbach juga mengemukakan: mustahil ia seorang komunis sejati, bila ia
menentang ajaran Islam yang memerangi kapitalisme, yang menuju ke
sosialisme, yang mau ke masyarakat tauhidi (tanpa kelas-kelas). Menentang
Islam yang demikian, sama dengan menentang komunisme itu sendiri.
        Pada dasarnya, yang menolak rencana pemerintah Gus Dur untuk terwujudnya
rekonsiliasi nasional, melalui dicabutnya Tap HPRS No XXV/1966 itu, hanya
menunjukkan mereka hendak mempertahankan tetap terdapatnya perpecahan
nasional, seperti yang dipraktekan fasis Suharto selama 32 tahun ia
berkuasa. Marilah kita cermati, terutama persesuaian-persesuaian antara
Islamisme dan komunisme.

TENTANG AGAMA SEBAGAI CANDU BAGI RAKYAT
        Yang paling sering terdengar dari kalangan Islam yang "fanatik" (menurut
istilah Bung Karno) ialah komunisme itu atheis. Mengapa sampai lahir ucapan
demikian?
        Ucapan yang demikian lahir, karena Marx pernah mengatakan "agama itu adalah
candu bagi rakyat". Tapi dalam konteks apa Marx mengucapkannya, tidak pernah
diungkapkan oleh yang mengucapkan "komunisme itu atheis". Sebab, kalau
mereka ungkapkan dalam konteks apa Marx mengucapkannya, akan merugikan
mereka sendiri.
        Komaruddin Hidayat, dari Yayasan Paramadina, melalui tulisannya "Beragama
Dikala Duka" (Kompas, 11/2/95) mengemukakan bahwa ketika Marx berbicara
tentang Tuhan dan Agama, tidaklah berangkat dari postulat-postulat teologi,
melainkan dengan mengamati situasi konkrit manusia, yang secara psikologis
mereka tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif.
        Marx yang merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara
politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama hanya menawarkan
solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga di seberang derita dan
kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi, ketika melihat agama dengan para
tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran, yang menindas dan
membodohi rakyat.
        Menurut Komaruddin Hidayat, yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx
bukanlah hakikat Tuhan serta; ajaran metafisika agama, melainkan praktek
keberagamaan yang bersikap eskaptis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat
pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit,
bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Keberagamaan semacam ini,
bagi pemikir semacam Marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan
derita sementara (palliatif), karena akar penyutitnya tidak tersentuh sama
sekali.
        Sekiranya tokoh-tokoh agama ketika itu, tidak menjadikan agama sebagai
tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit
bukan tawaran surgawi di seberang kematian, bukan berkolusi dengan penguasa
yang tiran, tentu tak akan muncul ucapan yang demikian dari Marx,
persoalannya akan menjadi lain.
        Seperti dikatakan Komaruddin Hidayat, sekiranya mereka yang memerangi
marxisme atau komunisme itu mengetahui dalam konteks apa Marx
mengucapkannya, boleh jadi mereka akan membenarkan Marx.
        Sekarang marilah kita lihat titik-titik pertemuan atau persesuaian antara
Islamisme dan Komunisme.

TENTANG PERJUANGAN ISLAM
        Sementara orang Islam yang menentang komunisme; mengatakan bahwa komunisme
dalam perjuangannya untuk mencapai tujuan menggunakan kekerasan, perjuangan
kelas. Kaum komunis memang tak pernah menyembunyikan bahaya untuk mencapai
tujuannya, yaitu hapusnya kapitalisme, kaum komunis menggunakan perjuangan
kelas.
        Sejarah semua susunan masyarakat yang ada hingga sampai sekarang, kata Marx
melalui manifes, komunis, adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka
dengan budak, patricier dengan plebeyer, tuan dan hambanya, tukang dan
keneknya, tegasnya yang menindas dan yang tertindas, satu sama lain terus
menerus bertentangan, kadang-kadang dengan cara sembunyi, kadang-kadang
dengan cara terang-terangan, tetapi pertentangan itu selalu berakhir dengan
terjadinya perubahan-perubahan besar dan seluruh masyarakat atau sama
binasanya kelas-kelas yang bertentangan itu.
        Sejarah yang dimaksud Marx itu adalah sejarah tertulis hingga tahun 1848,
ketika manifes itu ditulis. Sejarah yang lebih tua dari susunan pergaulan
hidup manusia, boleh dikata belum diketahui orang.
        Perjuangan kelas dilakukan, karena kelas yang berkuasa tidak akan secara
sukarela menyerahkan kekuasaannya yang menindas. Kebebasan harus
diperjuangkan, direbut. Tidak akan diperoleh dengan mengharap belas kasihan
dari kelas yang menindas.
        Menjadi pertanyaan: apakah tujuan Islam untuk menjadikan kaum mustadhafin
(tertindas dan miskin) menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, seperti
dikemukakan dalam surat Al Qashash ayat 5-6 akan membumi, tanpa kaum
mustadhafin melakukan perjuangan kelas?
        Yang sudah jelas dalam surat Ar Ra'du ayat 11 dikatakan "Tuhan tidak akan
merubah keadaan sesuatu kaum, bila bukan kaum itu sendiri yang merubahnya".
Artinya, kaum tertindas dan miskin (buruh, tani, miskin kota dan rakyat
pekerja lain) akan tetap tertindas dan miskin, bila mereka tidak merubah
keadaan dirinya. Untuk merubahnya itu, kaum mustadhafin harus mengorganisasi
diri, menyusun kekuatan dan berJuang untuk melemparkan belenggu yang
dililitkan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya) di leher mereka.
Belenggu itu harus dicampakkan, baru mereka menjadi bebas.
        Kaum mustadhafin tidak bisa mengharap belas kasihan dari kaum mustakbirin,
untuk dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka lilitkan dileher kaum
mustadhafin. Justru kaum mustakbirin akan mempertahankan supaya kaum
mustadhafin tetap terbelenggu, tetap tertindas dan miskin. Situasi itu akan
mereka pertahankan dengan mati-matian.
        Sedekah, infak, zakat dari kaum mustakbirin bukanlah untuk menghapuskan
belenggu penindasan dan penghisapan, malah bisa kaum mustadhafin ternina
bobo, bila mereka sampai menggantungkan nasibnya pada sedekah, infaq dan
zakat itu. Sedekah, infak, zakat hanya sekedar bantuan.
        Petunjuk surat Ar Ra'du ayat 11 cukup tegas, kaum mustadhafin harus
melakukan perjuangan melawan kaum mustakbirin yang menindas. Dan itu adalah
perjuangan kelas.
        Malah dalam perjuangan untuk tegaknya keadilan di bumi, Islam malah
memperingatkan umatnya melalui surat An Nisa' ayat 75: "Mengapa kamu tidak
berperang untuk membebaskan orang-orang yang teraniaya?" Peringatan Tuhan
tsb menunjukkan Islam lebih keras dari perjuangan kelas yang diajarkan Marx.
Kaum buruh tidak perlu dengan perang untuk bisa mendapat upah dan jaminan
sosial yang lebih baik Herjuangan untuk naiknya upah dan jaminan sosial, itu
merupakan bagian dari perjuangan kelas itu sendiri. 
        Jadi, sesungguhnya Islamisme dan komunisme, sama-sama melakukan perjuangan
kelas untuk mencapai tujuannya, yaitu hapusnya kapitalisme. Hanya berbeda
istilah yang digunakan. Hakikatnya sama. Marx menggunakan istilah
"perjuangan kelas", Islam menggunakan "usaha kaum". Usaha itu adalah
perjuangan, kaum itu adalah kelas dalam masyarakat.

ISLAMISME DAN KOMUNISME SAMA MEMERANGI KAPITALISME
        Tentang komunisme anti kapitalisme, bukan lagi bersuluh batang pisang, tapi
telah bersuluh matahari. Komunisme menentang adanya penghisapan manusia atas
manusia, komunisme menghendaki berlakunya keadilan dalam segala aspek
kehidupan. Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam juga anti kapitalisme, juga
menentang adanya penghisapan manusia atas manusia dan juga menghendak
keadilan dalam segala aspek kehidupan.
        Untuk menjawabnya, marilah kita buka lembaran ayat-ayat Al Quran. 1200
tahun sebelum Karl Marx muncul dengan Manifes Komunisnya. Quran, melalui
surat AL Antam ayat 145 menyatakan "haram hukumnya memakan darah yang
mengalir". Yang dimaksud dengan "memakan darah yang mengalir" bukannya hanya
secara harfiah (yaitu hisap darahnya melalui tempat kulitnya yang dilukai),
tapi lebih dalam lagi, yaitu memakan darah yang sedang mengalir dalam tubuh
seseorang melalui pencuriant hasil tenaga kerjanya. 
        Seperti diketahui, ketika Al Quran turun, di jazirah Arab terdapat tuan
budak dan budak serta golongan merdeka. Si tuan budak senantiasa memakan
darah yang mengalir dalam tubuh budak-budaknya, melalui memeras tenaga para
budaknya. Si tuan budak tidak akan bisa memakan darah yang mengalir dalam
tubuh budak-budaknya, bila darah telah berhenti mengalir dalam tubuh para
budak tsb. Darah berhenti mengalir, berarti si budak itu telah berhenti
sebagai manusia, ia telah jadi mayat.
        Di zaman kapitalis ini, si tuan kapitalis senantiasa mamakan darah yang
mengalir dalam tubuh para buruhnya. Kapitalis tak akan dapat menghisap atau
memeras tenaga kerja kaum buruh, kalau dalam tabuh kaum buruh itu darah
tidak lagi mengalir. Kaum buruhnya memang diberi upah, sekedar untuk besok
bisa bekerja lagi. Dengan demikian ia dapat memakan lagi darah yang mengalir
dalam tubuh kaum buruh itu .
        Menurut istilah HOS Tjokroaminoto, melalui bukunya "Islam dan Sosialisme",
yang ditulisnya di Mataram pada bulan November 1921, bahwa memakan darah
yang mengalir dalam tubuh kaum buruh itu adalah "riba". Lengkapnya yang
dikatakan HOS Tjokroaminoto tsb sbb: "Menghisap keringat orang yang bekerja,
memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bahagian keuntungan
yang semestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut
bekerja mengeluarkan keuntungan. Itu semua perbuatan yang serupa ini (oleh
Karl Marx disebut memakan keuntungan meeraraarde (nilai lebih-pen)), adalah
dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan
riba belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme
sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme daripada "benihnya". Oleh karena
pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan
keuntungan meerwaarde sepanjang paham Karl Marx dan memakan riba
sepanjang-pahamnya Islam (hal;17).
        Menghisap keringat atau memakan darah yang mengalir dalam tubuh orang lain
tsb, adalah memakan barang yang batil (tiada hak). Surat Al Baqarah ayat 188
dengan tegas mengatakan: "Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain
dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu
mengetahuinya".
        Kaum kapitalis ini senantiasa menumpuk-numpuk riba-riba yang diperolehnya
dari tenaga kerja kaum buruh, sehingga makin lama makin besar dan kemudian
dengan hasil riba yang telah bertumpuk-tumpuk itu diperbesarnya pula usaha
itu, supaya dapat lebih banyak lagi memakan riba (atau hasil tenaga kerja
kaum buruh itu). Surat dI hHmazah (ayat 1-4) mengutuk orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta ini. 
        Cukup jelas, baik Islamisme maupun komunisme sama-sama memerangi
kapitalisme. Berdasarkan persesuaian tujuan tsb, seharusnya Islamisme dan
Komunisme bersekutu. Bukannya saling menjegal atau memerangi.

ISLAMISME DAN KOMUNISME SAMA-SAMA KE SOSIALISME
        Bahwa Sosialisme menjadi tujuan Komunisme, setelah menumbangkan
kapitalisme, sudah menjadi pengetahuan umum. Di bawah sistem sosialis,
alat-alat produksi dikuasai oleh negara. Tidak ada lagi alat-alat produksi
menjadi milik perseorangan. Dengan demikian tertutup bagi kaum kapitalis
untuk menghisap kaum tertindas dan miskin. Di bawah sistem
sosialis,seseorang akan mendapat menurut prestasi kerjanya. banyak prestasi
kerjanya, akan banyak ia mendapat. Orang yang tidak bekerja, tak berhak
untuk mendapat.
        Bahwa Sosialisme juga menjadi ajaran Islam, itu cukup gamblang dengan karya
HOS Tjokroaminoto "Islam dan Sosialisme". Malah H. Agusalim pada tahun 1921
di Surabaya, ketika Kongres Nasional VI SI bulan Oktober, telah mengatakan
"Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak 1200 sebelum Karl Marx
". Ucapan H. Agusalim itu guna menjawab argumen Semaun dan Tan Malaka yang
hendak menguasai jalannya kongres dengan program komunisnya (Sekneg, "G.30-S
pemberontakan PKI", hal: 11 ).
        Hanya saja, baik HOS Tjokroaminoto, maupun H. Agusalim tidak menyebutkan
ayat mana dalam Al Quran yang menunjukkan hal itu. Sosialisme Islam itu
benar diajarkan oleh Nabi. Karena dalam surat Al Qashash ayat 5-6,
dikatakan: "Kami berjanji akan memberi karunia kepada kaum tertindas dan
miskin (mustadhafin) untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin di bumi dan
mewarisi bumi. Kami tegakkan kedudukan mereka.
        Artinya, bila surat Al Qashash ayat 5-6 telah membumi, janji Allah telah
dibumikan, maka kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya) tidak dapat
lagi melakukan penindasan dan penghisapan kepada kaum mustadhafin. Surat Al
An'am ayat 145, surat Al Baqarah ayat 188 akan diamalkan dengan
sungguh-sungguh. Kaum mustadhafin telah menjadi pemimpin.
        Hingga kini, setelah 14 abad lebih sejak turunnya Al Quran, Sosialisme yang
dijanjikan dalam Al Qashah ayat 5-6 itu juga belum membumi. Hal itu tentu
bukan karena Tuhan ingkar janji, melainkan karena umat Islam sendiri tidak
mengikuti petunjuk Tuhan dalam burat Ar Ratdu ayat 11. Hal itu dimungkinkan
karena ulama dan cendekiawanya, lebih banyak melihat kepada simbol-simbol,
bukan kepada substansi Al Qurannya.
        Jadi, belum tegaknya sosialisme di dunia kini bukan semata-mata karena kaum
komunis belum berhasil memperjuangkannya, tetapi juga karena sementara umat
Islam sendiri juga menentang sosialisme, melalui menentang komunisme. Umat
Islam yang menentang sosialisme, adalah menentang ajaran Al Quran itu sendiri.
        Marilah kita cermati, terutama persesuaian-persesuaian antara Islamisme dan
komunisme.

TONTONAN SEBAGAI CANDU BAGI RAKYAT
        Yang paling sering terdengar dari kalangan Islam yang "fanatik" (menurut
istilah Bung Karno) ialah komunisme itu atheis. Mengapa sampai lahir ucapan
demikian?
        Ucapan yang demikian lahir, karena Marx pernah mengatakan, "agama itu
adalah candu bagi rakyat"- Tapi dalam konteks apa Marx mengucapkannya, tidak
pernah diungkapkan oleh yang mengucapkan "komunisme itu atheis". Sebab,
kalau mereka ungkapkan dalam konteks apa Marx mengucapkannya, akan merugikan
mereka sendiri.
        Komaruddin Hidayat, dari Yayasan Paramadina, melalui tulisanya "Beragama
Dikala Duka" (Kompas, 11/2/95) mengemukakan bahwa ketika Marx berbicara
tentang Tuhan dan Agam, tidaklah berangkat dari postulat-postulat teologi,
melainkan dengan mengamati situasi konkrit manusia, yang secara psikologis
mereka tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif.
        Marx yang merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara
politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama hanya menawarkan
solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga di seberang derita dan
kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi, ketika melihat agama dengan para
tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran, yang menindas dan
membodohi rakyat.
        Menurut Komaruddin Hidayat, yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx
bukanlah hakikat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktek
keberagamaan yang bersikap eskaptis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat
pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit,
bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Keberagamaan semacam ini,
bagi pemikir semacam Marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan
derita sementara (palliatif), karena akar penyakitnya tidak tersentuh sama
sekali.
        Sekiranya tokoh-tokoh agama ketika itu, tidak menjadikan agama sebagai
tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit,
bukan tawaran surgawi di seberang kematian, bukan berkolusi dengan penguasa
yang tiran, tentu tak akan muncul ucapan yang demikian dari Marx.
Persoalannya akan menjadi lain.

SEDIKIT TENTANG TAP MPRS No XXV/1966
        Mengenai rencana pemerintah Gus Dur untuk mencabut TAP IdPRS N0 XXV/66,
yang melarang komunisme adalah untuk menegakkan demokrasi, untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tegasnya
untuk tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
        Dikatakan untuk menegakkan demokrasi, karena larangan terhadap komunisme
adalah tindakan fasis. Seperti diketahui, definisi fasisme, menurut Sekneg,
melalui "buku putih" (G.30-S pemberontakan PKI) ialah: "Ideologi otoriter
yang memuja superioritas nasional. Inti komunisme dan liberalisme", (lihat
ruang Glosari, hal: 65). Jadi, dicabutnya TAP MPRS tsb adalah untuk
demokrasi itu sendiri.
        Dikatakan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, karena "Pancasila adalah sarana pemersatu bangsa", seperti
dikatakan Bung Karno sebagai penggalinya. Sedang TAP MPRS tsb adalah memecah
persatuan bangsa. TAP MPRS tsb bertentangan dengan UUD 1945, terutama dengan
pasal 27 dan 28, yang mengatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya
di depan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali; kemerdekaan untuk
berorganisasi, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan.
TAP MPRS itu memperlakukan warga negara secara diskriminatif.
        Apalagi TAP MPRS yang melarang ajaran komunisme, marxisme-leninisme itu
lahir dari "MPRS sulapan" Suharto, bukan dari MPRS yang dibentuk Presiden
Sukarno berdasarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 tertanggal 5 Juli 1959.
Dikatakan MPRs-sulapan, karena 105 orang anggotanya, yang mengangkat
Suharto, tanpa hak. Suharto bukan presiden. 105 anggota MPRS yang diangkat
Suharto itu, untuk menggantikan 105 orang anggota MPRS yang dibentuk
Presiden Sukarno, yang dipecatnya. Suharto mengangkatnya dengan memanipulasi
Supersemar sebagai "pelimpahan kekuasaan", padahal Supersemar hanya
"pelimpahan tugas pengamanan", seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam
pidato 17 Agustus 1966. TAP MPRS yang tidak konstitusional itulah yang
hendak dicabut pemerintahan Gus Dur.

KESIMPULAN
        Jelas kiranya, terdapat banyak titik persesuaian antara Islamisme dan
komunisme. Islamisme dan komunisme sama-sama melakukan perjuangan kelas
(perjuangan kaum) untuk mengalahkan kapitalisme dan memenangkan sosialisme.
Titik persesuaian itu perlu dikembangkan untuk terwujudnya rekonsiliasi
nasional yang sejati.
        Hanya kaum fasis pendukung Suharto, yang akan menolak dicabutnya TAP MPRS
No XXV/1966 itu. Kaum fasis tak berkeinginan adanya rekonsiliasi nasional.
Mereka menghendaki tetap adanya perpecahan nasional. Di atas perpecahan
nasional itulah mereka bisa hidup. ***


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke