Precedence: bulk


LataR (31/1/2000) GAJAH DENGAN GAJAH BERLAGA, ORANG MALUKU MATI DI TENGAH
Oleh George J. Aditjondro 

        Tradisi TNI untuk merekayasa kerusuhan sosial, dan secara sefihak
berusaha menggemboskan dinamika masyarakat sipil yang sudah ada dengan
menciptakan atau mendukung organisasi-organisasi baru yang berkiblat pada
kepentingan tentara, semakin relevan saat ini. 

        Belakangan ini, setelah ABRI terpaksa meninggalkan bumi Timor Loro
Sa'e yang sudah mereka jarah selama hampir seperempat abad, dan setelah
kesuksesan untuk menghapus doktrin dwifungsi ABRI begitu mempengaruhi
legitimasi sosial rezim Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri,
cara-cara lama untuk mengobarkan 'konflik horizontal' semakin digalakkan. 

        Sudah lebih dari setahun, penduduk kepulauan Maluku, yang baru saja
dipecah dua menjadi propinsi Maluku yang berpusat di Ambon dan propinsi
Maluku Utara yang berpusat di Ternate, terlibat dalam 'perang saudara'
antara kaum Muslimin dan Nasrani. Korban jiwa sudah mencapai 2.000 jiwa,
cukup tinggi untuk kepulauan yang hanya berpenduduk dua juta jiwa. 

        Sesudah berita bisik-bisik selama setahun, apa yang sudah lama
tersebar di internet akhirnya mencuat juga ke media umum. Rangkaian
kerusuhan antar kelompok agama di Maluku -- yang kini sudah merembet ke
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa -- dipicu dan terus
diberi amunisi oleh sejumlah provokator yang dibiayai oleh keluarga dan
sejumlah kroni Suharto. Begitulah hasil pantauan sosiolog asal Halmahera,
Thamrin Amal Tomagola, yang juga dosen FISIP UI, serta dua organisasi
hak-hak asasi manusia, KONTRAS dan Komnas HAM. Sinyalemen itu semakin
santer, setelah Komnas HAM menemukan dokumen-dokumen palsu di jalan-jalan di
kota Ambon yang berisi hasutan perang antar agama, setelah beberapa kejadian
berdarah di sana (Sydney Morning Herald , 15 Januari 2000). 

        Tiga orang provokator di Maluku yang banyak disebut-sebut adalah
Butje Sarpara, Dicky Wattimena dan Yorris Raweyai. Sarpara adalah seorang
bekas guru di Maluku Utara, yang pernah juga menjabat sebagai kepala Dinas
Agraria di Jayapura (kini: Port Numbay) di Papua Barat. Kolonel Wattimena
adalah seorang bekas anggota PASWALPRES yang pernah menjabat sebagai
Walikota Ambon. Yorris Raweyai, adalah wakil ketua Pemuda Pancasila, dan
akrab dengan Bambang Trihatmodjo, putera kedua bekas Presiden Suharto 
(Jakarta Post , 18 Januari 2000; Sydney Morning Herald , 19 Januari 2000). 

        Para provokator itu tentunya tidak bekerja sendirian. Lebih-lebih
Yorris Raweyai, yang resminya bertempat tinggal di Jakarta, tapi bersama
ketuanya, Yapto Suryosumarno juga diberitakan terlibat adu domba antar
kelompok etnis di berbagai propinsi lain, misalnya di Kalimantan Barat, di
mana kelompok etnis Melayu dan Dayak -- yang tahun lalu sama-sama angkat
senjata melawan migran Madura -- kini sudah mulai terlibat konflik berdarah
(SiaR, 16 April 1999). 

        Di Ambon sendiri, para provokator itu tinggal "menggosok"
kelompok-kelompok pemuda brandalan (gang ) yang Nasrani maupun yang Muslim
untuk memicu pertempuran. Kelompok-kelompok itu sendiri, pada gilirannya
juga punya "boss" di Jakarta, yang pada gilirannya berusaha "merayu"
anak-anak Suharto untuk mendukung mereka. 

        Kelompok brandal Nasrani bernama Cowok Keristen, disingkat Coker,
bermarkas di gereja Protestan Maranatha. Di Jakarta, koneksi mereka adalah
dua orang pemuda Maluku Kristen, Milton Matuanakota dan Ongky Pieters.
Kelompok pemuda Maluku Kristen itu menguasai pusat perbelanjaan, lapangan
parkir, dan sarang judi di Jakarta Barat Laut. Setelah peristiwa Ketapang di
Jakarta, bulan November 1998, ratusan anakbuah Milton dan Ongky hijrah ke
Ambon. 

        Lawan kelompok Milton dan Ongky di Jakarta adalah Ongen Sangaji,
aktivis Pemuda Pancasila yang juga koordinator satu kelompok mahasiswa
Muslim Maluku. Anggota kelompok ini banyak direkrut dalam PAM Swakarsa yang
dikerahkan oleh Pangab Jenderal Wiranto dan Pjs. Presiden Habibie untuk
membentengi gedung parlemen dari para mahasiswa yang menentang Sidang
Istimewa MPR, bulan November 1998. Sementara Ongen dikabarkan punya hubungan
dekat dengan Bambang Trihatmodjo, Milton dikabarkan lebih dekat dengan Siti
Hardiyanti Rukmana (van Klinken, n.d.; HRW 1999: 8). 

        Konflik berdarah di Maluku itu tentu saja tidak hanya melibatkan
berbagai tokoh sipil serta bekas walikota Ambon itu. Tentara -- dan polisi
-- aktif juga dicurigai Tamagola terlibat dalam kegiatan kasak-kusuk
berdarah ini. Makanya dia berpendapat, bahwa ujung-ujungnya, jaringan
provokator itu juga punya hubungan dengan bekas Menhankam dan Pangab
Jenderal Wiranto (Sydney Morning Herald , 19 Januari 2000). 

        Tiga oknum anggota TNI/Polri berhasil diamankan petugas yang sedang
melakukan razia pembatasan jam ke luar malam di Ambon, Sabtu malam, 15
Januari lalu. Ketiga oknum tersebut adalah; satu orang anggota Kopassus dan
dua anggota Polri. "Diamankannya tiga orang aparat itu karena kedapatan
masih berkeliaran di jalanan saat diberlakukan pembatasan jam ke luar malam
pukul 22.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT," kata Pangdam XVI/Pattimura Brigjen
TNI Max Tamaela kepada wartawan di Ambon (Jawa Pos , 17 Januari 2000). 

        Celakanya, bukan hanya satu dua orang 'oknum ABRI' itu saja yang
terlibat. Menurut seorang sumber saya di Ambon, awal Desember 1999, setelah
kunjungan Presiden dan wakilnya ke Ambon, Panglima TNI mengirim 500 orang
tentara ke sana. Setiba di tempat tujuan, mereka beristirahat di beberapa
barak. Namun sesungguhnya hanya sekitar 200 orang yang sampai ke barak --
300 yang berangkat sekapal lenyap, lengkap dengan senjata mereka. 

        Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah
masyarakat dengan berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah
'pembunuhan massal' akhir Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal
itu ikut dipicu oleh tentara yang menghilang dari pelabuhan itu adalah
ditemukannya orang-orang sipil yang membawa senjata, persis dengan senjata
yang dimiliki oleh ke 200 orang yang masih tetap bertugas menjaga keamanan.
Kejadian ini sudah dilaporkan ke Panglima ABRI, tapi hingga kini masih
sangat dirahasiakan. 

        Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'? Selain
dari keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni
Suharto yang punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan
Prajogo Pangestu (Jakarta Post , 18 Januari 2000). Memang, keluarga Eka
Tjipta Widjaja adalah pemilik kelompok Sinar Mas, yang  salah satu
anggotanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART)  Corporation
dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kerabat dan partner bisnis  keluarga
Suharto. Salah satu anak SMART, PT Global Agronusa Indonesia. sejak Desember
1991 membuka perkebunan pisang seluas 2.000 hektar di Halmahera, berpatungan
dengan raksasa buah-buahan AS, Del Monte (IEFR, 1997: 82-83; Swa , 7-27
November 1996: 86-87). 

        Sedangkan Prajogo Pangestu adalah pemilik kelompok Barito Pacific,
di mana dua orang anak Suharto (Tutut dan Bambang), seorang menantu Suharto
(Indra Rukmana) dan dua adik (alm) Nyonya Tien Suharto (Ibnu Hartomo dan
Bernard Ibnu Hardoyo) ikut punya saham atau kedudukan. Kelompok ini adalah
pemilik HPH yang terbanyak di Indonesia (52 areal) dengan luas total lebih
dari 5 juta hektar. 

        Prajogo Pangestu juga tercatat sebagai salah satu kontributor klik
Suharto yang terbesar. Dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung ternyata bahwa di
tahun 1990, Indoverbank NV di Negeri Belanda menerima AS$ 225 juta, a/n tiga
yayasan yang diketuai Suharto --Supersemar, Dharmais, Dakab -- dari Prajogo
Pangestu, yang ditransfer dari rekening Prajogo di Citibank Cabang Singapura
dan BDN, Jakarta (Waspada, 22 May 1999, dikutip dari Antara). Boss Barito
Pacific Group itu juga memberikan sumbangan sebesar Rp 80 milyar untuk
kampanye Golkar bulan Juni 1999, atau hampir lebih dari seperempat dari
seluruh biaya kampanye sebesar Rp 350 milyar. Selain itu, ia juga ikut
menyumbang" Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) melalui rekening
pribadi Jaksa Agung waktu itu, Andi Ghalib (Brown, 1999: 16). 

        Pundi-pundi Prajogo Pangestu di Maluku sungguh banyak, sebab Barito
Pacific menguasai PT Green Delta (HPH seluas 124.000 Ha -- jatuh tempo,
Desember 2000); PT HBI Buntu Marannu (HPH seluas 48.000 Ha -- jatuh tempo,
Juli 2007); PT Mangole Timber Producers (HPH seluas 191.800 Ha & pabrik kayu
lapis di P. Mangole -- sebagian jatuh tempo Oktober 2010, sisanya April
2013); PT Seram Cahaya Timber (HPH seluas 58.000 Ha di P. Seram -- jatuh
tempo, Januari 2012); PT Taliabu Timber (HPH seluas 100.000 Ha & pabrik kayu
lapis di P. Mangole -- jatuh tempo, Juli 2009); PT Trio Maluku Pacific Raya
(HPH seluas 105.000 Ha -- jatuh tempo, Februari 2001); PT Tunggal Agathis
Indah Wood Industry (HPH seluas 125.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Jailolo
-- jatuh tempo, Agustus 2012); PT Tunas Forestra (HPH seluas 42.300 Ha --
jatuh tempo, April 2012); PT Wana Adhi Guna (HPH seluas 64.000 Ha -- jatuh
tempo, Maret 2009); pabrik lem PT Wiranusa Trisatya di P. Taliabu dan pabrik
kayu lapis PT Yurina Wood Industry di Ternate (Brown, 1999: 14-16, 40, 62;
PDBI, 1994: 83-84, 114). 

        Klik Cendana dan kelompok jenderal ekstrem kanan juga punya seorang
cukong lain yang punya bisnis besar di Maluku, yakni Tommy Winata, boss
kelompok Artha Graha, yang juga dikabarkan sangat dekat dengan Yorris
Raweyai (Tempo, 31 Mei - 6 Juni 1999: 39-50). Ia adalah seorang pemegang
saham perusahaan perikanan PT Ting Sheen Bandasejahtera bernilai investasi
AS$ 200 juta, yang direncanakan dapat menangkap 2,5 juta ton ikan setahun.
Armada kapal ikan yang berpangkalan di Desa Ngadi, Tual, ini berkongsi
dengan Bambang Trihatmodjo dan sebuah perusahaan Taiwan (Swa, 22 Agustus-11
September 1996: 128-129). 

        Tidak tertutup kemungkinan bahwa ia juga ikut membiayai kegiatan
provokator di Maluku Tenggara, mengingat bahwa kerusuhan antar-agama di
seluruh Maluku diawali tanggal 15 s/d 17 Januari 1999 di Dobo (Kec. PP.
Aru), dan pada tanggal 31 Maret 1999 kembali ke Tenggara, yakni di kota Tual
(Kei Kecil) dan pada tanggal 6 April 1999 telah melebar ke Kei Besar.
Jelasnya, konflik di Maluku itu sesungguhnya lebih merupakan ekor pertikaian
politik di Jakarta. Sejumlah jenderal yang merasa kekuasaannya kini disunat
dengan pengangkatan Pangab dari Angkatan Laut, berusaha menunjukkan betapa
sang Pangab tidak dapat mengendalikan situasi di Maluku. Kelompok tersebut,
yang paling berkepentingan untuk mempertahankan dwifungsi ABRI, berusaha
menunjukkan bahwa ABRI -- khususnya AD -- masih tetap diperlukan sebagai
juru damai di tengah-tengah masyarakat sipil yang suka bertikai. Hal itu
memang terbukti di Maluku, di mana belasan ribu pasukan kini diturunkan
untuk "melerai" kedua belah fihak yang sudah sama-sama terbakar oleh dendam
kesamat dan semangat jihad. 

        Lalu, kelompok-kelompok Islam yang merasa kurang mendapat bagian
dalam pemerintahan Wahid & Megawati juga berusaha memelihara situasi perang
di  Maluku, agar dapat memobilisasi massanya demi 'menekan' -- atau kalau
bisa, menjatuhkan -- presiden yang setengah buta dan wakil presiden yang
tidak mampu berbicara. 

        Akhirnya, di balik itu semua, yang paling diuntungkan oleh gejolak
di Maluku itu adalah Suharto beserta keluarga dan para kroni mereka, yang
semakin dijauhkan dari usaha-usaha menyeret mereka ke pengadilan, guna
mempertanggungjawabkan kejahatan politik dan ekonomi mereka. Jelas mereka
diuntungkan oleh gejolak-gejolak keamanan yang punya tendensi melanggengkan
dwifungsi ABRI. Apalagi setelah ABRI, lewat puluhan yayasan dan
purnawirawannya sudah jauh merasuk ke dalam gurita bisnis keluarga Suharto
(lihat Samego, 1998; Aditjondro, 1998: 32-36). 

Newcastle, 23 Januari 2000 

Bibliografi: 
--------------- 
1. Aditjondro, G.J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie -- Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari: kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme
rezim Orde Baru. Jakarta: Pijar Indonesia & Masyarakat Indonesia untuk
Kemanusiaan.

2. Brown, David W. (1999). Addicted to Rent: Corporate and Spatial
Distribution of Forest Resources in Indonesia -- Implications for Forest
Sustainability and Government Policy. Jakarta: Indonesia-UK Tropical Forest
Management Programme, Provincial Forest Management Programme.

3. HRW [Human Rights Watch] (1999). Indonesia: The violence in Ambon. New
York: Human Rights Watch.

4. van Klinken, Gerry (n.d.) What caused the Ambon violence? Perhaps not
religious hatred, but a corrupt civil service sparked the bloodletting.

5. Artikel di Internet.

6. PDBI [Pusat Data Business Indonesia] (1994). Forestry Indonesia. Jakarta:
Pusat Data Business Indonesia.

7. Samego, Indria et al (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke