Precedence: bulk LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI HAK ASASI MANUSIA (ELS-HAM) Institute for Human Rights Study and Advcacy (IHRSTAD) Jl. Kampus STTJ, Padang Bulan, Jayapura, Papua Barat/Irian Jaya Tel/Fax : 62-967-581600 Email : [EMAIL PROTECTED] =============================================================== SIARAN PERS RAKYAT PAPUA BERGOLAK KEPEMIMPINAN TAK JELAS PENGUASA MALAS TAHU November 19, 1999 Fenomena gejolak rakyat Papua di seluruh negeri Papua Barat-Pasifik menjelang tanggal 1 Desember 1999 yang merupakan hari peringatan "kemerdekaan" Papua Barat dari Kerajaan Belanda pada tanggal 1 Desember 1961 terasa semakin kuat. Belum sampai waktunya di kota Timika di mana perusahan pertambangan raksasa Amerika Serikat, Freeport McMoRan Copper and Gold, Inc beroperasi pada tanggal 10 November lalu sekitar 1000-2000 orang Papua dari berbagai suku bangsa Papua di kota tersebut mengibarkan bendera Papua Barat-Bintang Kejora di halaman gereja Katolik Paroki Tiga Raja-Timika. Bendera tersebut masih berkibar sampai sekarang (19/11). Para demonstran bertekad mereka tidak akan turunkan bendera sampai dengan Presiden Republik Indonesia, Abdulrachman Wahid, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa benar-benar menyelesaikan persoalan Papua Barat. Sementara bendera masih berkibar di kota Timika pada tanggal 12 November lalu sekitar 3000 tokoh adat dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah negeri Papua Barat mengadakan "syukuran massal" di rumah Theys H. Eluay, Ketua Dewan Adat Irian Jaya. Di pertemuan akbar yang juga dihadiri Kapolres Jayapura Letkol. (Pol) Drs. Daud Sihombing, Theys dan Yoris Raweyai, tokoh Pemuda Pancasila yang dikenal karena beberapa kali berurusan dengan pihak penegak hukum, menyerukan kepada semua rakyat Papua Barat untuk secara serempak mengibarkan bendera Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1999 di seluruh Papua Barat. Theys dan Yoris juga mengatakan kepada rakyat Papua yang berkumpul pada saat itu bahwa sesudah pertemuan ini (12/11) sebuah delegasi dari Papua akan bertemu dengan pihak Kedutaan Besar Belanda di Jakarta pada tanggal 16 November dan selanjutnya ke negeri Belanda untuk bertemu dengan Perdana Menteri Belanda pada tanggal 19 November untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papua Barat. Namun ketika hal ini dikonfirmasikan ELS-HAM langsung dengan pihak Kedubes Belanda di Jakarta pada tanggal 16/11 tentang rencana yang dimaksud ternyata tak ada pertemuan politik yang terjadi di Jakarta pada tanggal 16/11. Pihak Kedubes Belanda justru tak mengethaui ada rencana sebuah delegasi Papua Barat mau bertemu dengan Perdana Menterinya di Holland. Reaksi masyarakat luar tentang "deklarasi 12 November" tersebut bermacam-macam. Ada kesan kuat yang sangat terasa pada masyarakat bahwa pada tanggal 1 Desember 1999 nanti Papua Barat sudah pasti merdeka. Ditengah rakyat tersebut "kabar burung" yang cukup meresahkan bahwa apabila bendera Papua Barat dikibarkan dan tuntutan merdeka tidak ditanggapi maka pihak OPM di hutan akan melakukan penyerangan ke kota. Dari Arso, perbatasan antara RI dan PNG, ELS-HAM menerima informasi bahwa masyarakat dilanda isu akan ada perang pada tanggal 1 Desember nanti. Dari Yapen Waropen dan Merauke ELS-HAM menerima kabar bahwa rakyat di sana sudah melakukan rapat-rapat persiapan untuk aksi 1 Desember nanti. Tentu saja situasi ini cukup meresahkan bagi masyarakat non-Papua (migran) di seluruh Papua Barat karena khawatir konflik horisontal (etnis, agama) seperti yang dewasa ini terjadi di Maluku. Tetapi yang justru menjadi pertanyaan juga adalah sikap "membiarkan" atau "mendorong" dari aparat keamanan untuk kibarkan bendera Papua Barat, seperti yang dinyatakan Pangdam VIII Trikora, Mayjen TNI Amir Sembiring, dalam harian Cenderawasih Pos (15/11/99). AKAR PERSOALAN Arus deras tuntutan rakyat Papua mengenai hak asasi manusia untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) di Tanah Papua dilandasi tiga faktor mendasar: 1. Pengabaian masyarakat Internasional atas Hak Asasi Manusia bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri karena kepentingan (ekonomi dan politik) dan proses pelaksanaan "Act of Free Choice" yang tidak demokratis, tak adil dan penuh pelanggaran HAM. Tuan Akwei, Duta Besar Ghana untuk PBB saat itu menyebutkan pelaksanaan Pepere di Papua Barat sebagai, "Sandiwara Demokrasi dan Keadilan". 2. Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi secara sistematis (pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dll) dan implikasi sosial (perampasan tanah adat, perusakan lingkungan, degradasi budaya, dsb) sebagai hasil dari militerisme dan kebijakan-keijakan pembangunan (Transmigrasi, Pertambangan, HPH, Tirisme dan lain-lain) selama lebih dari 30 tahun integrasi dengan Indonesia. 3. Krisis identitas sebagai bangsa Ras Malainesia di negeri sendiri (Papua Barat) akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen genocide, fasisme dan pengabaian terhadap kultur. TANTANGAN PERJUANGAN RAKYAT 1. Jurang pemisah antara orang Papua dan non-Papua akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil plus pernyataan identitas orang papua sebagai Ras Malainesia cenderung menjadi titik rawan untuk terjadi konflik horisontal antar etnis atau agama, alias permusuhan dan menciptakan ekslusifme perjuangan, sehingga kurang menarik simpatik dan dukungan. 2. Perjuangan rakyat untuk menentukan berbagai persoalan di atas terjadi secara spontan tetapi krisis Organisasi, Visi, Strategi, Target dan koordinasi antara kelompok. Oleh karena itu perjuangan tersebut cenderung dimanipulasi pihak lain yang berpengaruh untuk kepentingan-kepentingan mereka. 3. Perjuangan rakyat mengalami krisis kepemimpinan. Tak ada struktur yang jelas, visi kabur dan strategi tampa arah. BeberapA figur yang ada masing-masing mengklaim diri sebagai pemimpin perjuangan atau mewakili rakyat Papua tanpa melalui suatu proses yang demokratis. Tak ada kerjasama dan hanya rajin membuat statement-statement kosong di sudut masing-masing tanpa visi, kerangka pikir, langka dan target. Mereka saling berkompetisi untuk merebut massa dengan mengubar janji-janji kosong kepada rakyat bahwa masyarakat internasional (Perserikatan Bangsa-Bangsa - PBB) dan negara-negera asing tentu mendukung perjuangan rakyat Papua Barat. Padahal seperti diketahui "intervensi" PBB di setap "wilayah konflik" dimanapun di dunia (termasuk kasus Papua Barat) dalam berbagai pengalaman senantiasa dikandaskan oleh kenyataan kedaulatan negara (state sovereignity) dan kepentingan (ekonomi dan politik) negara-negara yang mempunyai hak veto atau berpengaruh di PBB. AROGANSI PENGUASA Betapun seriusnya akar persoalan yang mendasari berbagai gejolak dewasa ini di negeri Papua Barat, pihak pemerintah tidak menanggapi dengan sungguh-sungguh. Penguasa cenderung arogan dan malas tahu. Setelah pertemuan 100 orang wakil Papua Barat dengan Presiden BJ Habibie (sekarang mantan) pada tanggal 26 Februari 1999 tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk persoalan-persoalan mendasar yang mendorong rakyat menuntut merdeka. Yang terjadi justru Kapolda Irian Jaya mengeluarkan maklumat (17/4/99) melarang semua aktivitas rakyat untuk sosialisasikan semua hasil pertemuan dengan presiden. Rakyat ditangkap dan ditembaki dalam demonstrasi-demonstrasi damai yang dilakukan. Sikap meremehkan persoalan Papua Barat tercermin kuat pada sikap Jakarta untuk membagi Papua Barat menjadi 3 propinsi atau pemerintahan Abdurrachman Wahid yang sudah putuskan "otonomi khusus" buat Papua Barat tanpa berdialog dengan rakyat Papua Barat untuk membahas akar-akar persoalan di atas dan mencari jalan pemecahan yang damai, adil dan demokratis. Menyikapi perkembangan politik dan sosial propinsi Papua Barat yang terus memanas seiring dengan perkembangan situasi Politik Nasional pasca BJ Habibie, maka ELS-HAM Irja memandang perlu untuk mengajak semua pihak agar mencermati kondisi yang berkembangan secara arif dan bijaksana, demi terjaminnya penghormatan terhadap nilai-nilai HAM yang dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari akar persoalan di atas dan untuk mencegah terjadinya berbagai kekerasan yang dapat merugikan kemanusian serta agar ada proses penyelesaian yang damai, demokratis dan adil bagi semua pihak, maka sebagai lembaga HAM yang menghormati Hak Asasi Manusia termasuk hal asas untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) bagi segala bangsa di dunia yang dilindungi hukum-hukum internasional dan domestik, maka ELS-HAM: 1. Menyerukan kepada rakyat (Papua Barat dan Non-Papua), pemimpin dan penguasa untuk menghindari berbagai aksi kekerasan yang akan merugikan semua pihak. 2. Masyarakat luas agar mengkritisi segala informasi yang menyebar dan tidak mudah terpancing dengan isu-isu atau janji-janji kosong tentang campur tangan pihak masyarakat internasional (PBB atau negara-negara barat) yang terjadi secara serempak begitu bendera Papua Barat dikibarkan. 3. Menghindari jatuhnya korban dan tindakan anarkis yang mengarah kepada konflik horisontal (etnis, agama - SARA). Untuk itu semua pihak, para tokoh maupun lembaga, baik Gerjea, Adat, LSM, Perempuan, Pemuda dan kaun Intelektual Papua agar segera mungkin menyamakan presepsi bersama dalam megakomodir berbagai kepentingan Rakyat secara arif, jujur dan demokratis. 4. Menghimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan tidak terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada pelanggaran HAM demi terciptanya suasana yang kondusif bagi upaya penyelesaian menyeluruh masalah Papua Barat dalam konteks kehendak rakyat. 5. Mendesak pemerintah Presiden Abdurrachman Wahid untuk menghentikan sikap arogan, tidak sungguh-sungguh memecahkan dan meremehkan persoalan Papua Barat dan segera membuka diri dan mengundang berbagai pihak (rakyat Papua dari berbagai komponen, pemerintah Indonesia dan masyarakat Internasional) yang paling terkait dengan akar persoalan tersebut di atas utuk bersama-sama secara damai, adil dan demokratis mencari jalan pemecahan mengenai kasus Papua Barat.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html