Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 04/III/6-12 Pebruari 2000 ------------------------------ KALAU RAKYAT MENGURUS DIRI SENDIRI Oleh: Iwan Dharmakirti (OPINI): Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dibubarkan, namun masih banyak tanya tersisa. Bagi mereka yang berpikir a la perusahaan modern, mudah saja mengerti hal ini. Bukankah langkah pembubaran itu baik dari segi efisiensi? Demikian pula bagi para pengamat sistem politik modern yang akan bilang langkah itu baik bagi debirokratisasi. Sesederhana itukah persoalannya? Lalu, mengapa Gus Dur sering bilang masyarakat harus belajar menyelesaikan sendiri persoalannya? Hal ini dikatakannya berulang-kali. Sampai sekarang banyak orang masih bingung dengan ide "mengurus diri sendiri" ini. Gus Dur memang bak seniman, terkadang tak tuntas menjelaskan berbagai hal yang ia lontarkan. Karena itulah, pernyataannya sering melahirkan kontroversi. Begitu pula dalam soal ini. Ketika Gus Dur mengatakan bahwa pertikaian SARA di Ambon harus diselesaikan sendiri oleh warga, beberapa pihak -termasuk warga Maluku di Jakarta- sempat menuduhnya hendak lepas tangan dari persoalan. Tentu saja, ia tidak seapatis itu. Jika ia bersikap demikian, sama saja memberikan amunisi bagi para lawan politiknya untuk menyerang. Karena itu, ia mestinya punya maksud lain dengan memberi pernyataan demikian. Apa persisnya maksud Gus Dur, belum ada yang pernah menjabarkan atau menafsirkan. Tidak juga melalui tulisan ini. Biar saja suatu saat, ia sendiri yang menjelaskannya (kalau ia mau). Kebetulan saja, dalam kerangka filosofis, penulis sependapat dengan ide Gus Dur. Membiarkan atau lebih tepatnya mendorong rakyat mengurus dirinya sendiri, tak bisa dipahami sebagai sebuah crash program. Sesungguhnya, inilah inti dari cita-cita masyarakat madani yang selama ini ramai diperdebatkan para kaum cerdik-pandai. Kalau selama ini, konsep masyarakat madani lebih merupakan sesuatu yang mengawang-awang dan hanya bisa dijelaskan dengan bahasa yang njlimet, Gus Dur telah membuatnya menjadi lebih sederhana. Masyarakat yang dapat mengurus persoalannya sendiri. Seperti apa persisnya masyarakat madani, tak ada yang bisa menjelaskannya secara memuaskan. Tidak juga oleh para pakar -toh, itu lebih merupakan ideal yang belum "turun ke bumi." Bayangkanlah, betapa sulitnya mensosialisasikan hal ini pada orang-orang awam. Karena itu, yang paling mungkin dilakukan adalah menggambarkan hal paling substansial dari masyarakat seperti itu. Dan ternyata, sengaja atau tidak, Gus Dur telah melakukannya. Yang dimaksud masyarakat madani, tentu bukan masyarakat yang makmur namun pasif. Sejahtera tapi tidak mandiri dan selalu hanya menjadi obyek. Justru yang dimaksud adalah masyarakat yang menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Merdeka dan tidak bermental budak. Karena itulah, mereka harus bisa menyelesaikan persoalannya sendiri. Sebuah masyarakat yang tidak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, sudah pasti lemah. Masyarakat demikian hanya menunggu lonceng kematian dan sebentar saja akan terhapus dari catatan sejarah peradaban. Jelas bukan itu masyarakat yang kita idam-idamkan. Semakin mampu sebuah masyarakat mengurus dirinya sendiri, maka dengan sendirinya peran pemerintah akan berkurang sedikit demi sedikit. Ini merupakan konsekuensi dari menguatnya peran masyarakat. Tentu ini akan berlaku, seandainya pemerintah ditempatkan dalam konteks sebagai "pelayan" masyarakat. Dalam sebuah rezim yang gila kekuasaan, jangan pernah bermimpi hal ini akan berlaku. Saat ini pun, sudah mulai banyak bukti, khususnya dari negara-negara maju, yang makin menunjukkan makin menyusutnya peran pemerintahan secara formal. Di berbagai bidang, masyarakat sendiri yang lebih banyak berperan, misalnya LSM. Di tahun 1995 saja, berdasarkan laporan PBB, setidaknya telah terdapat 29.000 LSM skala internasional. LSM domestik jumlahnya lebih besar lagi. Berdasarkan estimasi, terdapat 2 juta LSM di Amerika saja -kebanyakan didirikan dalam 30 tahun terakhir. Sementara di Rusia, yang nyaris tak ada LSM di masa rezim sosialis berkuasa, kini terdapat sekitar 65.000 LSM. Kehadiran LSM merupakan simbol ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan segala persoalan masyarakat. Kendati, saat ini, banyak LSM yang brengsek, namun PBB sendiri mengakui bahwa aktifitas mereka jauh lebih berhasil dibandingkan pemerintah, khususnya dalam hal mengurusi berbagai persoalan yang butuh penyelesaian secara cepat dan tepat. Tak usah heran, jika kini lebih banyak LSM yang mendapatkan perhatian PBB ketimbang pemerintah. Presiden AS Bill Clinton, termasuk yang jeli membaca pentingnya penguatan peran masyarakat. Itu sebabnya, dalam kampanye pencalonannya sebagai presiden beberapa tahun silam, ia tidak menjanjikan "kenyamanan" bagi warganya. Ia menekankan pentingnya bidang pendidikan dan malah meminta masyarakat untuk lebih berusaha keras dalam bidang ini. Sebab, dengan pendidikan, warga AS akan jauh lebih berdaya dan lebih bisa "mengurusi dirinya sendiri." Masyarakat yang sejahtera dan nyaman, sesungguhnya memang tidak menjamin kebahagiaan. Ambil contoh negara-negara yang disebut sebagai wellfare-state di Eropa Utara. Di negara-negara ini, pengangguran pun mendapat tunjangan oleh pemerintah. Benar bahwa di negara-negara seperti Denmark, Swedia dan Finlandia masyarakatnya relatif lebih makmur karena dilayani terus oleh negara. Namun, justru negara-negara ini memiliki tingkat bunuh diri warga yang paling tinggi di dunia. Ada cerita dari seorang Indonesia yang bekerja di Helsinki. Ia bilang, orang yang di-PHK akan cepat mati di Finlandia. Sebab, biasanya pemerintah akan memberinya uang saku yang cukup untuk mabuk-mabukan, sampai kemudian ia mati di apartemennya. Masyarakat yang pro-aktif mengurusi diri sendiri, sebetulnya, benihnya sudah dapat ditanam dari sekarang. Jika masyarakat mau bersikap demikian dalam menyelesaikan berbagai konflik SARA di tanah air, tentu persoalan tidak akan terlalu meluas. Persoalannya sekarang, kebanyakan orang hanya bisa bicara -bahkan cenderung saling memprovokasi. Menuntut dan mengecam, sayangnya tidak melakukan sesuatu. Hilangnya formalitas dan berkurangnya peran negara, mau tidak mau akan menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi. Seperti apakah insitusi negara demokrasi kelak (jika bayangan masyarakat yang kita idam-idamkan ini kelak terwujud)? Rasanya belum ada yang bisa mendahului sejarah untuk memberikan jawabannya. Namun, barangkali menarik untuk menyimak pemikiran pemimpin spiritual sekaligus kepala negara -"bukan demokratis"- Tibet di pengasingan, Dalai Lama. Ia menyatakan, formalitas kepemimpinannya bisa saja berakhir, jika saatnya sudah memungkinkan. Ia benar. Jika semua manusia sudah bebas-merdeka, itu artinya tujuan sudah tercapai. Oleh karena itu, "alat-alat untuk mencapai tujuan" sudah seharusnya ditanggalkan. Jangan menjadikannya berhala. Kelak, kita mungkin tak lagi butuh Presiden Gus Dur. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html