Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 05/III/13-19 Pebruari 2000
------------------------------

SALING TUDING PEMBOBOL BANK

(EKONOMI): Setelah menjarah duit rakyat senilai Rp164,5 trilyun, para
penjarah itu saling tuding dan melepaskan tanggung jawab. 

Itulah yang terjadi dari para penjarah berdasi putih (white collar crime),
yang kini seperti pesakitan harus diperiksa oleh Panitia Kerja (Panja)
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Komisi IX DPR, sebelum mereka
diperiksa oleh kepolisian dan Kejaksaan Agung, selama dua pekan ini di
gedung perwakilan rakyat, Senayan.    

Setelah Bank Indonesia (BI) menuding pemerintah harus ikut bertanggung jawab
atas pengucuran dan penyalahgunaan BLBI senilai Rp164,5 trilyun oleh 54 bank
penerima BLBI, kini giliran mantan-mantan Menteri Keuangan (Menkeu), seperti
Mari'ie Muhammad, Fuad Bawazier dan Bambang Subianto balik menyalahkan BI. 

Kesalahan BI, sebagai otoritas moneter, jelas keliru menafsirkan kebijakan
pemerintah waktu itu untuk menjaga kondisi bank-bank dalam keadaan krisis,
agar dapat sehat kembali. Itu yang keliru. 

"Itulah yang meyebabkan terjadi likuidasi 16 bank. Karena ternyata langkah
itu keliru, BI kemudian mengeluarkan BLBI," ujar Ketua Panita Kerja BLBI
Komisi IX DPR Dr Sukowaluyo Mintorahardjo, seusai Rapat kerja Panja BLBI. 

Langkah itu, kata Sukowaluyo, disebabkan karena kepanikan yang terjadi dalam
krisis perbankan pada waktu itu.

Mengenai jumlahnya yang sangat besar Rp164, 5 trilyun, menurut Suko karena
waktu itu kondisi bank memang banyak yang tidak sehat. Kedua, karena banyak
bank yang melakukan pinjaman dalam bentuk valas, baik jangka panjang maupun
jangka pendek. Ketiga, diambil sendiri oleh bankir dan grupnya secara
besar-besaran, sehingga bangkrut. 

Toh, untungnya, Mar'ie Muhammad, masih punya sedikit hati nurani. Katanya,
tidak berarti lho para mantan Menkeu itu melepaskan semua tanggung jawabnya
mengenai masalah BLBI. "Tidak ada yang boleh saling menyalahkan apalagi
melepaskan tanggungjawab. Ini masalah yang sangat teknis. Masalahnya memang
tidak hitam putih," tandasnya. 

Pertanggungjawaban itu, ungkap Mar'ie, dalam bentuk mendukung dilakukannya
audit investigatif. 

Menurut Mar'ie lagi, dalam kepanikan itu memang tidak mustahil ada orang
yang mengambil kesempatan di air keruh. Mencari kesempatan dalam kesempitan.
Nah, itu yang mudah-mudahan bisa diungkapkan oleh auditor independen nanti.

Ia minta dibedakan antara kebijakan pemerintah dengan pelaksanaannya di BI.
Karena sebelum adanya rush, BI juga sudah mengeluarkan LKBI.

"Itu bukan kesalahan policy. Sekarang ini, yang penting, kita tunggu saja
hasil audit investigatifnya saja." 

Untunglah, sebelum pemerintah dan BI berantem sendiri, Dewan Pemantapan
Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEU), meluruskan sehingga kekisruhan latar
belakang pengucuran BLBI mulai terkuak. Dari hasil pemanggilan terakhir
kalinya atas mantan pengurus Dewan tersebut, kebijakan BLBI ternyata
bukanlah kebijakan yang spontan dan insidentil, melainkan sebuah kebijakan
yang sudah direncanakan lebih dulu secara matang. 

"Namun, ternyata, pada pada prakteknya, justru terjadi kesalahpahaman dan
kemungkinan penyimpangan, yang mengakibatkan mengalirnya kucuran BLBI secara
besar-besaran," kata juru bicara Panitia Kerja BLBI Komisi IX DPR, Paskah
Suzetta. 

Pelurusan itu setelah Dewan menggertak sejumlah mantan pengurus DPKEU,
seperti Wakil Ketua Prof. Dr Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Ginandjar
Kartasamita, Moerdiono, Anthony Salim, yang masing-masing adalah anggota
DPKEU. Menurut Paskah, kesalahpahaman itu diakui terjadi setelah keputusan
Rapat Kabinet, 3 September 1997. Dalam rapat tersebut diputuskan, agar BI
mengambil langkah-langkah terhadap bank yang sehat namun mengalami kesulitan
likuidtas agar supaya dibantu. Pemerintah juga meminta supaya bank-bank yang
tidak sehat, supaya diakuisisi dan dimerger dengan bank yang tidak sehat. 

Namun, kenyataannya, BI tidak melakukan penutupan terhadap bank-bank yang
memang tidak sehat itu. Itulah yang menyebabkan mengucurnya BLBI. 

Terhadap, bank-bank penerima BLBI, yang di antaranya melanggar BMPK namun
di"putihkan", Panja pun akan mengundang Jaksa Agung pekan depan untuk
memberikan pertimbangan secara yuridis menyangkut penghapusan pelanggaran
BMPK itu. 

Temuan lain, katanya, setelah terjadi likuidasi 16 bank, BI mengirim surat
kepada Presiden Soeharto, pada tanggal 26 Desember 1997. Isinya, BI
bermaksud memberikan bantuan likuiditas dengan mengkonversikan jumlah
overdarft dan fasilitas Diskonto yang telah diberikan kepada bank-bank
tersebut ke dalam bentuk Fasilitas SBPU Khusus, yang persyaratannya sama
dengan fasilitas Diskonto. 

Sehari kemudian, Presiden menyetujui dengan membalas surat ke BI. Surat
benomor R-183/M.Sesneg/12/1997 dan ditandatangani oleh Mensesneg Moerdiono,
itu bersifat rahasia dan berisikan persetujuan Presiden Soeharto atas
permintaan BI untuk mengganti saldo debet bank yang memiliki harapan sehat
dengan SBPU Khusus. Soeharto biang keroknya? (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke