Precedence: bulk


Solo, Indonesia
29 November 1998

HARTA SOEHARTO DI SOLO (2):
Dua Bangunan Di Keraton Diminta Dikembalikan

Oleh Fadjar Pratikto
Reporter Crash Program

SOLO --- Ancaman gugatan G.R.A. Koes Moertiyah, kerabat Kasunanan Surakarta
Hadiningrat kepada keluarga Soeharto ternyata tidak main-main. Jumat (6/11),
keraton membentuk lembaga hukum untuk mengembalikan tanah yang dikuasai
pihak lain, termasuk dua bangunan yang dikuasai oleh keluarga Cendana. Tim
yang diketuai K.R.M.H. Edy S. Wirabhumi, S.H. itu sudah mulai bekerja
mengumpulkan data-data.

Lembaga hukum itu bekerja sampai dua tujuannya berhasil, yakni mengembalikan
tanah yang kini dikuasai pihak lain, dan akan mengimplementasikan peran
keraton sebagai pusat pelestarian dan pengemban kebudayaan Jawa. Untuk
pekerjaan itu, lembaga baru ini melibatkan sejumlah pakar dari Universitas
Gadjah Mada (UGM), Yogya; Universitas Diponegoro (Undip), Semarang; dan
Univesitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo sebagai anggota Dewan Pakar.
Mereka adalah Prof. Soeharjo, S.S., S.H.; Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H.; Prof. Dr. Satjipto Rahardjo S.H.; Prof. Dr. Maria S. Soemardjono,
S.H.; dan Prof. Dr. Sugeng Istanto, S.H.

Gusti Mung -- panggilan akrab Moertiyah -- menegaskan bahwa lembaga hukum
itu akan mencari kebenaran kepemilikan keraton secara menyeluruh. "Kalau
kita mau mencari hak-hak kita, kita ya harus berlandasan dari hukum yang
benar," jelas putri Pakubuwono (PB) X itu. Pembentukan tim hukum ini juga
sepengetahuan Sinuhun Pakubuwono XII, Raja Surakarta sekarang. Lewat lembaga
itu keraton akan memperjelas kepemilikannya bukan berdasarkan keputusan
presiden (Keppres), melainkan berdasarkan hukum adat. Kepemilikan itu bisa
berupa tanah, gedung, atau pun barang-barang.

Upaya hukum yang ditempuh pihak keraton itu ternyata tidak sepenuhnya
didukung oleh kerabat keraton yang lain. Secara kelembagaan, menurut G.P.H.
Dipokusumo, pihak keraton tidak terlibat dalam pembentukan lembaga itu.
"Jadi, ya keputusan itu saya anggap keinginan Gusti Mung sendiri," tutur
Wakil Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta ini. Selain itu, secara
pribadi status tanah keraton banyak yang sudah beralih. Ia juga
mempertanyakan kenapa tidak dari dulu upaya hukum itu ditempuh.

Keputusan untuk membentuk lembaga itu memang awalnya tidak lepas dari
kegundahan Gusti Mung selama ini. Ia sangat kecewa kepada keluarga Soeharto
yang telah mengambil alih tanah dan Gedung Dalem Ngabeyan dan Dalem
Suryamijayan. Padahal kedua bangunan itu merupakan satu kesatuan dengan
bangunan keraton Surakarta. Celakanya lagi, penguasaan dua bangunan itu
dilakukan tanpa sepengetahuan pihak keraton. Sinuhun bahkan merasa
ditinggalkan oleh kerabatnya yang menjual bangunan itu.

Waktu itu PB XII mempertanyakan, ''Kok mereka tidak bilang, ora rembukan.
Terus nganggep aku sopo?" Dari pihak Suryamijayan dan Ngabehi (putra sulung
PB XI), menurut Gusti Mung juga tidak pernah bicara dengan Sinuhun untuk
minta izin menjualnya. "Seharusnya pihak pembeli juga tahu posisi rumah
itu," ungkap Gusti Mung kesal. Sinuhun juga merasa belum pernah melepaskan
kepemilikan haknya atas dua bangunan yang sekarang mereka kuasai.

Salah seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Hukum yang dibentuk oleh pihak
keraton, Mertokusumo, mempertanyakan cara-cara keluarga Soeharto dalam
mendapatkan tanah itu. "Itu harus diusut, apakah proses jual beli itu
dilakukan dengan suka rela atau ada paksaan," katanya. Kalau itu tanah
keraton -- keraton sebagai lembaga bukan pribadi milik kerabat keraton --
menurutnya, tentu tidak sah sehingga tidak bisa diperjualbelikan.

Waktu itu, karena kebutuhan ekonomis, ahli waris kerabat Ngabeyan dan
Suryamijayan menawarkannya kepada Siti Hartinah Soeharto lewat Kepala Rumah
Tangga Kalitan, Sriyanto Sumanto. Keterangan itu dipertegas oleh pengakuan
Wali Kota Hartomo Jayengwidjoyo. "Itu keluarga Suryamijayan yang minta
supaya tanahnya dibeli. Jadi keluarga Suryamijayan yang minta, bukan Bu Tien
yang membeli."

Dalem Ngabeyan yang luasnya 3 ribu meter persegi adalah bangunan yang
pertama dibeli keluarga Soeharto pada 1970. Areal itu dibeli dari ahli waris
almarhum K.G.P.A. Hangabehi seharga Rp750 juta. Dua puluh tahun kemudian
mereka membeli Dalem Suryamijayan dari ahli waris almarhum G.P.H. Hangabehi
yang diwakili oleh B.R.A. Sudjito. Areal seluas 5 ribu meter persegi itu
dibeli seharga Rp3,5 miliar. Sayangnya Sudjito yang kini tinggal di Jakarta
tidak mau berkomentar tentang proses jual beli yang sebenarnya.

Status tanah dan bangunan di Baluwarti atau lingkungan keraton terdiri atas
empat jenis, yaitu paringan dalem, hanggaduh, tenggan, dan magersari. Empat
status tanah itu masuk dalam katagori dumain. Selain itu masih ada tanah
dengan status Sunan Ground, seperti di Langenharjo, Solo Baru, Sukoharjo,
serta tanah leluhur, seperti makam raja-raja. Paringan dalem, Sunan ground,
dan tanah leluhur tidak bisa dialihtangankan.

Dalam perkembangannya, konsekuensi dari sikap keraton yang bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1945 membuat status tanah yang
dikuasai keraton mengikuti Undang-undang (UU) Pokok Agraria Nomor 5/1960.
Dalam undang-undang itu, khususnya diktum keempat bagian A, disebutkan bahwa
hak dan wewenang bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja hapus dan
beralih kepada negara.

Dengan mengikuti undang-undang itu status tanah yang dimiliki keraton
berubah menjadi tiga bagian, yakni tanah negara, tanah dikuasai negara, dan
tanah milik negara. Yang dipersoalkan oleh Dipokusumo, apakah perubahan
status tanah itu secara otomatis mengubah status bangunan yang berada di
atasnya. "Penafsiran itu menjadi tidak jelas. Misalnya tanah dikuasai
negara, lantas bangunannya milik siapa? Tambah ruwet kan," ujarnya.

Keppres Menjadi Lemah

Lain halnya dengan status tanah di dalam keraton, sudah dipertegas lewat
Keppres Nomor 23/1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan
Surakarta disebutkan bahwa tanah dan bangunan keraton berikut segala
kelengkapan yang terdapat di dalamnya adalah milik Kasunanan Surakarta yang
perlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa. Termasuk dalam
pengertian kelengkapan keraton adalah Masjid Agung dan Alun-alun keraton.

Namun demikian, karena batas-batasnya yang tidak jelas, Keppres itu menjadi
lemah. "Saya tidak tahu batas-batas keraton sampai di mana," tutur
Dipokusumo. Yang menjadi pertanyaan, sampai sejauh mana sebuah bangunan
dianggap berada di dalam wilayah keraton, dan apa ukurannya? Kelemahan
itulah yang membuat peluang bagi pihak lain untuk menguasai tanah atau pun
bangunan di lingkungan keraton.

Bangunan di Dalem Suryamijayan ketika dibeli oleh Tien Soeharto belum ada
sertifikat kepemilikannya. Belakangan sertifikat tanah di dalam Buluwarti
itu keluar dengan status hak milik atas nama Siti Hediyati Hariadi alias
Titiek Prabowo. Tanah dengan luas keseluruhan 7.790 meter persegi itu
terdata di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surakarta dengan
Sertifikat Nomor 1 tanggal 24/4 tahun 1991.

Sejumlah kalangan mencurigai adanya rekayasa di balik perubahan status tanah
itu. Kecurigaan itu diperkuat dengan beredarnya isu yang mengatakan bahwa
Tien Soeharto akan membeli semua bangunan joglo yang ada di Surakarta.
'Bagaimana rekayasanya sampai itu keluar sertifikatnya, itu sudah bukan
rahasia lagi. Semua orang tahu bagaimana rekayasa itu terjadi untuk dikuasai
Cendana," tandas Gusti Mung.

Kecurigaan yang sama juga dirasakan oleh Mertokusumo. Dengan alasan pada
waktu itu Soeharto masih berkuasa, sehingga sangat mungkin menggunakan cara
pemaksaan. "Mungkin sekali mereka memanipulasi status itu," tandas pakar
hukum perdata dari Fakultas Hukum UGM ini. Sehingga dari segi hukum, jika
itu yang terjadi tidak bisa dibenarkan. Selain itu, selama ini masyarakat
mengetahui keluarga Cendana sering melakukan manipulasi. Tapi menurutnya
semua itu tetap harus diusut kebenarannya.

Informasi yang dihimpun mengungkapkan, sebenarnya keluarga Soeharto, dalam
hal ini Tien Soeharto, mengetahui status tanah dari kedua tanah dan bangunan
itu milik keraton. Itu dibuktikan dengan tidak adanya surat-surat atau
sertifikat kepemilikan tanah itu. Namun, karena dalam Keppres tidak
disebutkan secara jelas batas-batas yang termasuk dalam lingkungan keraton
Kasunanan Surakarta, ia berusaha memanipulasinya. Dengan uang dan kekuasaan
yang dimilikinya, sertifikat tanah itu bisa keluar.

Diduga Wali Kota Surakarta Hartomo-lah yang merekomendasikan keluarnya
sertifikat tanah dan bangunan itu. Dengan biaya Rp300 juta, sertifikat itu
bisa menjadi milik Tien Soeharto. Perubahan status tanah secara sepihak,
meskipun lewat proses jual beli, tentu saja merugikan pihak keraton dan
masyarakat. Masyarakat dirugikan karena keraton merupakan peninggalan budaya
bangsa.

Namun tuduhan itu dibantah oleh Sumanto. Tanah itu, katanya, sudah
bersertifikat hak milik sebelum dibeli keluarga Soeharto. "Bu Tien tidak mau
beli tanah itu jika belum bersertifikat," jelasnya. Ia mengganggap tuduhan
bahwa mereka telah memanipulasi status tanah itu tidak beralasan sama
sekali. Sebab pengambilalihan tanah itu dilakukan lewat jual beli yang sah
dan tanpa adanya unsur paksaan. Dalam kasus Dalem Ngabeyan, kerabat keraton
yang menjual bangunan itu bahkan tertolong karena sebelumnya tanah itu
hendak disita bank.

Sedangkan mantan Wali Kota Hartomo mengaku tidak tahu menahu tentang
keluarnya sertifikat kedua tanah dan bangunan itu. "Itu bukan urusan wali
kota. Itu urusan notaris. Saya hanya membantu mencarikan notarisnya. Bukan
saya yang membuat keluarga Soeharto mendapatkan tanah itu," jelasnya. Pihak
badan pertanahan, katanya, yang mengeluarkan sertifikat tanah dan bangunan
itu. Kepala BPN Surakarta waktu itu adalah Sutarto Atmo, sekarang Kepala
Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Kalimantan Selatan.

Atmo memang mengaku telah mengeluarkan sertifikat tanah di Dalem
Suryamijayan, bukan yang di Dalem Ngabeyan. "Ya, saya mengeluarkan
sertifikat tanah itu, tapi ada landasannya yakni Keppres Nomor 23/1988. Dan
pembelian tanah itu lewat jual beli biasa," ujarnya. Ia menyanggah keluarnya
sertifikat itu lantaran pembelinya keluarga Soeharto, tapi karena petunjuk
dari Menteri Negara Agraria waktu itu.

Apalagi menurutnya dalam Keppres tersebut tidak disebutkan tanah dan
bangunan mana yang tidak bisa dijual dan mana yang bisa dijual di lingkungan
keraton. Daerah keraton waktu itu dipahami hanya meliputi bangunan yang ada
di Benteng Dalam sampai Benteng Luar. Namun demikian, katanya, jika pihak
keraton keberatan, hak kepemilikannya itu bisa digugurkan lewat
pengadilan -- tentunya jika terbukti tanah itu milik keraton.

Pejabat keraton sendiri mengaku tidak tahu tentang status dan kepemilikan
kedua bangunan itu. "Saya juga tidak tahu secara hukum bagaimana, jika tanah
itu dimiliki keluarga Soeharto. Itu kan hak milik," tutur Dipokusumo.

Secara hukum, tanah dan bangunan yang dikuasai keluarga Cendana di dalam
keraton jelas bermasalah. Tapi pengacara kondang dari Surakarta, Imron
Halimi A.R., S.H., mempertanyakan, apa buktinya keluarga Soeharto menguasai
tanah itu, karena sampai sekarang tanah itu tidak pernah diambil alih.
"Kalau dibeli kan langsung diambil alih dan ada penyerahan," ujar pengacara
yang pernah diminta keluarga Soeharto untuk menjadi kuasa hukumnya. Hal itu
membuktikan ada unsur pertolongan dalam jual beli itu.

Pengamat keraton, M.T. Arifin dari UNS, melihat fenomena penjualan tanah
keraton sebagai bukti adanya orang-orang yang mencoba memperoleh keuntungan
dari proses-proses transaksi. Penawaran itu dilakukan pada kelompok-kelompok
elite di mana mereka dianggap memiliki dana untuk membayar dan bisa
berlangsung secara cepat. "Yang tahu kalau itu bisa diakses kan orang-orang
Solo sendiri. Karena mereka tahu bagaimana pentingnya itu," jelas Staf Ahli
Menteri Kehakiman ini.

Pihak keraton sendiri mengaku sudah membicarakan masalah itu dengan pihak
keluarga Soeharto. Gusti Mung lewat Titiek Prabowo sudah berusaha
membicarakan masalah itu, tapi sampai sekarang belum ada jawaban yang pasti
dari pihak Cendana. Namun ada selentingan, tanah itu akan dikembalikan
kepada pihak keraton. Masalah itu juga diharapkan tidak sampai ke
pengadilan, karena pihak keraton terus mengupayakan damai.

Sebenarnya, menurut Halimi, jika semuanya punya itikad baik, masalahnya
gampang diselesaikan. Sebagai konsultan hukum keraton, ia mengaku tidak
terlalu sulit meluncur ke Cendana. Syaratnya uang pembelian bangunan itu
dikembalikan kepada pihak pembeli, dalam hal ini keluarga Soeharto.

Berhasilkah lembaga hukum keraton mengambil kembali tanah dan bangunan yang
telah dikuasai oleh keluarga Soeharto itu?

(Fadjar Pratikto adalah wartawan tabloid Adil di Solo dan peserta Program
Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke