Precedence: bulk Semarang, Indonesia 21 November 1998 "SOGOKAN KE PEJABAT SUDAH LUMRAH" Oleh Irene Irawati Reporter Crash Program SEMARANG --- Penyelewengan Delivery Order (DO) dalam perniagaan beras terus saja digugat. Masyarakat menuntut agar oknum-oknum yang terlibat ditindak tegas. Namun, sampai berita ini ditulis (21/11/1998), tindakan yang dilakukan aparat masih belum memuaskan. Depot logistik (Dolog) mengatur jual beli beras dengan sistem DO. Caranya, calon pedagang atau pembeli beras berhak mengajukan diri sebagai calon pembeli beras pemerintah. Siapa saja berhak mendapatkan surat DO asal mampu menunjukkan bukti sebagai pemilik PT, CV, koperasi, atau pedagang. Bahkan organisasi massa (ormas) dan yayasan sosial pun berhak mendapat surat DO. Setiap hari sekitar 100 surat masuk ke kantor Subdolog Semarang dan di masa ramai jumlah surat pengajuan yang masuk bisa sampai 5 kali lipat. Masalah muncul karena tak semua orang yang punya uang dan ingin membeli beras DO mau bersusah payah mendirikan PT, CV, atau lembaga lain sebagai syarat pengajuan. Sementara yang memiliki syarat itu, seperti lembaga-lembaga koperasi, kebanyakan tak punya modal. Kerja sama di antara keduanya pun terjadi. Para pejabat Dolog diduga juga ikut terlibat. Lembaga yang mengajukan permintaan beras DO, ternyata banyak yang hanya sekedar lembaga jadi-jadian saja dan melibatkan saudara, istri, atau anak pejabat setempat. Sementara ditingkat pelaku pasar (pedagang) spekulasi dilakukan. Beras ditimbun dan baru diturunkan kalau harganya tinggi. Akibatnya beras yang dijual kepada masyarakat tetap saja mahal harganya. Akibat permainan DO ini tak tanggung-tanggung pejabat yang telah kena getahnya. Kepala Dolog (Kadolog) DKI Jaya, Achmad Zamawi, diseret oleh Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Kepala Subdolog (Kasubdolog) wilayah eks Karesidenan Semarang, Anton Samawi, dan beberapa stafnya dicopot dan kini diperiksa polisi. Penyelewengan beras DO tak hanya membuat pejabat Dolog saja yang digugat masyarakat. Bahkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jateng, Bambang Sadono, juga diminta mundur dari jabatannya serta diharuskan bertanggung jawab oleh warga pers setempat. Menurut para penggugat yang melakukan demonstrasi, Bambang menikmati sekitar 100 ton beras DO dengan mencatut nama wartawan melalui koperasi Pena dan koperasi Penulis yang didirikannya sendiri. "Bambang harus mundur karena ia telah mencemarkan profesi jurnalis Jateng," ujar Ari Muryoko Prawiro, koordinator Forum Wartawan Semarang, yang mendemonya. Menurut salah seorang tersangka penyelundup beras, Drema Sihono, ia membayar fee khusus kepada Abdul Karim, pejabat Angkutan Penyaluran (Anglur) setiap mengambil beras Dolog . Besarnya antara antara Rp200 dan Rp350 per kilogram, tergantung baik buruknya kualitas beras dan harga di pasaran pada waktu DO dikeluarkan. Makin tinggi harga pasar, makin besar pula fee yang harus disetorkan Sihono kepada Abdul Karim. Sihono juga mengaku telah mengambil beras operasi pasar (OP), dengan DO sejumlah 225 ton dari Subdolog Semarang. DO diambil lewat tersangka Abdul Karim sebanyak 9 kali. Beras lantas dijual kepada Denis Gunawan sebanyak 85 ton. Sementara A Seng mendapat 25 ton. Sisanya dijual kepada pedagang di Pasar Dargo, Semarang, pasar Kudus, dan Jepara. "Saya selalu selalu memberi fee ke pak Abdul Karim sebesar Rp200 sampai Rp325 per kilogram, tergantung jenis berasnya, agar semua urusan beres. Total yang sudah saya berikan sekitar Rp70 juta," ujar Sihono yang didampingi pengacaranya Sulistiyowati, S.H. Namun Kadolog Jateng, Muslimin Siregar, dan Kasubdolog Wilayah III Surakarta, Maryono dalam kesaksiannya kepada polisi mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Abdul Karim sesuai prosedur. Polisi juga meminta penjelasan dari sejumlah pedagang, mahasiswa, dan anggota masyarakat lain berkaitan dengan kasus ini. Semua saksi mengeluhkan sulitnya menjangkau harga beras. OP beras murah yang dilakukan Dolog nyatanya tak pernah sampai ke masyarakat. Dan pengakuan mengejutkan datang dari Bambang Gunawan, seorang karyawan Dolog Jateng yang hampir pensiun. "Soal fee ke pejabat, juga DO pindah tangan, dan seterusnya adalah hal yang lumrah. Semua sudah berlangsung lama tapi tetap aman-aman saja," kata Gunawan. Gunawan lebih lanjut memaparkan, orang-orang di instansinya merasa mendapatkan rezeki nomplok jika ada OP pada saat harga beras melambung. Para karyawan Dolog akan mendapat biaya dinas operasional OP sebesar Rp100.000 per orang per hari. "Makin lama OP dilaksanakan, makin besar uang yang diterima karyawan," ujar Gunawan. Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Jateng yang mengawasi bidang perekonomian pada September dan Oktober 1998 lalu beberapa kali memanggil Kadolog Jateng untuk melakukan dengar pendapat. Beberapa kali pula di depan para wakil rakyat, Kadolog Muslimin Siregar, menyanggah pihaknya telah memperjualbelikan DO. Soalnya prosedur pengajuannya telah dibakukan dan melalui beberapa tahap hingga sulit diselewengkan. Kemungkinan DO pindah tangan sangat kecil, sebab setelah mendapat surat perintah setor (SPS), pedagang wajib menebus beras Dolog dalam waktu dua hari. Setelah itu baru DO direalisasi dengan masa berlaku tujuh hari dan jika tidak segera diambil akan hangus. Tetapi, anggota komisi B Asrofi dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) tetap yakin praktek jual beli DO itu masih berkembang subur di instansi tersebut. Begitu pula Kristanto dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) terang-terangan menuding bahwa pengajuan DO sengaja diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Menanggapi tudingan penyelewengan di instansinya, Muslimin Siregar akhirnya mengakui pihaknya kesulitan mengawasi aspek distribusi beras DO. Sebagai lembaga penstabil harga, pihaknya memang wajib menyuplai beras sesuai permintaan pasar. "Tapi kalau sudah dilempar ke pasar, bukan wewenang Dolog lagi," katanya di depan anggota Dewan dalam beberapa kali kesempatan. Menurut Kristanto, beras DO di kantor Dolog Semarang dikuasai oleh empat pengusaha besar. Salah satunya Tony Prayitno yang sekarang diringkus kepolisian kota besar (Poltabes) sebagai tersangka penimbun dan penyelundup beras OP Dolog. Sedangkan Johni Supriyadi, seorang pengusaha yang disinyalir menguasai beras DO, masih bebas membuka usaha. Pengusaha yang membuka bisnis penggilingan padi di Purwodadi itu, menurut beberapa pengusaha, dikenal sangat dekat dengan Dolog. Kedekatan Johni dengan pejabat Dolog menjadikannya mendapat "jatah" menilap beras brown rice bantuan Jepang sebanyak 5.000 ton dari 5.026 ton jumlah seluruh beras bantuan. Lemahnya Pengawasan dalam Sistem DO Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Beras (PPPB) Dargo, Semarang, Koeljani, mengatakan, pada kenyataannya DO berpotensi diperjualbelikan, bahkan memacu munculnya koperasi-koperasi fiktif. "Harus ada jaminan bahwa beras OP benar-benar sampai ke tangan konsumen dan tidak diselewengkan," tegasnya. Menurut Koeljani, ketentuan 25 ton beras untuk setiap kali pengajuan DO juga banyak dilanggar. Banyak ditemukan pedagang mendapat DO lebih dari jumlah yang ditetapkan kantor Dolog itu. Komisi B DPRD Jateng mengaku banyak menerima laporan dari masyarakat bahwa kelemahan mendasar sistem DO justru terletak pada pengawasan dan moral karyawan Dolog pelaksana sistem itu. "Sebagai abdi negara, mereka tidak peduli kepentingan masyarakat umum," ujar Aqilatul Munawaroh. Gubernur Jateng Mardiyanto yang didesak mahasiswa berkaitan dengan kasus beras DO ini mengatakan telah meminta pemerintah pusat untuk lebih mencermati pendistribusian kebutuhan pangan yang semakin membutuhkan perhatian serius. Katanya, sistem DO berpeluang dilakukannya manipulasi. "Sebaiknya sistem ini diganti dengan model lain yang lebih sempurna dalam pengawasan," ujar Mardiyanto. Sementara Menteri Koperasi dan Pembina Pengusaha Kecil (PPK) Adi Sasono yang ditemui di Semarang ketika kasus ini mencuat Oktober lalu, mengakui bahwa praktek jual beli DO menjadi salah satu penyebab kenaikan harga beras di pasar eceran. (Irene Irawati adalah koresponden harian Jayakarta, Jakarta, dan peserta Program Beasiswa untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html