Precedence: bulk


INDONESIA KIAN MENJAUHI PASAL 27 UUD 1945
        
Oleh: Sulangkang Suwalu


        Konsep RUU bidang politik yang disodorkan pemerintah untuk Pemilu 1999 di
DPR, di antaranya mencantumkan agar pegawai negeri tidak diperkenankan
menjadi pengurus dan anggota suatu partai politik. Konsep pemerintah ini di
dukung oleh parpol-parpol baru. Bahkan PAN dan PKB menggertak akan
menurunkan massa, apabila RUU itu memberi hak pada PNS untuk menjadi anggota
dan pengurus partai.
        Pihak penyusun RUU serta parpol pendukungnya berangkat dari kecurigaan yang
sangat sosiologis. Pertama dalam rangka memaksimalkan pelayanan masyarakat
sebagai fungsi PNS. Kalau seorang anggota pengurus parpol ia dianggap akan
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerjanya dalam bidang pelayanan
masyarakat. Diperkirakan kian tinggi kedudukannya, kian banyak kegiatannya
di parpol, akan makin rendah kinerjanya atau derajat pelayanannya terhadap
masyarakat.
        Ke dua, keterkaitannya dengan netralitas birokrasi. Kalau PNS menjadi
anggota, apalagi menjadi pengurus parpol, maka ada kecurigaan bahwa mereka
tidak akan bersikap netral dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayanan
masyarakat.
        Di pihak lain Golkar, baik secara kelembagaan maupun melalui fraksinya di
DPR (FKP) tetap bersikeras mempertahankan keberadaan PNS di dalam parpol
seperti sekarang. Alasan lain yang dikemukakan Golkar untuk membela hal itu,
dikaitkannya dengan HAM dan serta mengacu kepada konvensi hak-hak kaum buruh
yang belum lama ini diratifikasi pemerintah Indonesia dengan ILO. PNS dalam
konteks ini: buruh negara yang harus dijamin hak-haknya untuk berkiprah
dalam politik atau menentukan hak-hak politiknya.
        Bagaimana reaksi PNS terhadap persoalan tersebut?

MEMBENTUK PARTAI PEGAWAI NEGERI?

        Sebagai reaksi dari kalangan pegawai negeri sipil atau PNS ialah muncul ide
untuk membentuk partai sendiri, partai pegawai negeri sipil. Hal itu dapat
diketahui dengan membaca Kompas (12/1/99) bahwa Korpri sebagai organisasi
mandiri tak ingin diatur dan diarahkan pihak lain. Dalam kaitan kedudukannya
yang akan diatur UU tentang partai politik, apabila substansial UU itu masih
memaksa Korpri harus menjadi anggota/pengurus partai, Korpri lebih baik
memilih membentuk partai.
        Seterusnya dikatakan tersebarnya anggota Korpri di banyak partai membuat
Korpri terpecah-belah. "Agar Korpri tetap bersatu, adalah realistis bila
Korpri membentuk partai sendiri ketimbang masuk partai lain," kata Ketua
Umum Korpri Feisal Tamin.
        Menurut Feisal Tamin bahwa melihat pengalaman masa lalu, ketika Korpri
begitu diperlukan, Korpri harus menanggung beban berat untuk melaksanakan
monoloyalitas terhadap Golkar. Ketika sudah tidak dibutuhkan lagi, mereka
malah meminta Korpri dibubarkan. Ditambahkannya, dengan diharuskan
melaksanakan monoloyalitas, Korpri sudah mengkhianati misi AD/ART organisasi.
        Seakan Korpri ini objek yang tidak bernyawa, ujar Feisal. Padahal kami
tidak buta huruf dan mengerti akan hak-haknya. Korpri bertekad ingin netral,
tetapi pihak lain justru memaksa kami tidak netral. Daya ingin orang-orang
yang pintar tentang HAM menghormati hak azasi kami untuk menentukan sikap.
        Keterangan Feisal Tamin, Ketua Korpri ini, menimbulkan beberapa pertanyaan:
Betulkah selama ini Korpri organisasi mandiri? Apa kah tepat membentuk
partai sendiri bagi PNS? Apa kah ideologi yang dianut PNS tunggal? 

KORPRI TAK PERNAH MANDIRI

        Anggota Korpri/PNS dilihat dari segi kedudukannya di administrasi
pemerintahan, status mereka adalah kaum buruh. Mereka menjual tenaga
kerjanya kepada pemerintah. Dan dari gaji yang mereka terima, mereka hidup.
Karena itulah di masa pemerintahan Soekarno terdapat berbagai Serikat Buruh
dalam lingkungan pegawai negeri. Diantaranya adalah Sepda (Serikat Buruh
Pegawai Daerah), SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum), SBK (Serikat Buruh
Kepenjaraan) dan SB Kemperburi (Serikat Buruh Kementerian Perburuhan)
        Di masa kekuasaan Orba, Soeharto, semua SB pegawai negeri itu dilarang.
Semuanya disatukan dalam Korpri. Dengan dikorprikan, maka status mereka
sebagai buruh dikaburkan. Seakan mereka berdiri sendiri, mandiri.
Diberlakukan monoloyalitas terhadap Golkar. Kehidupan Korpri sepenuhnya
ditentukan Golkar.
        Jadi, selama Orde Baru Soeharto HAM-nya pegawai negeri telah dikebiri,
mereka telah menjadi alat mati bagi kepentingan Golkar.
        Karena itulah Golkar berkepentingan benar supaya hak pegawai negeri sipil
untuk masuk dalam parpol dibelanya mati-matian. Tentu saja parpol Golkar.
Bukan parpol-parpol lain. Golkar membelanya, bukan demi HAM-nya PNS, tetapi
demi memenangkan Golkar dalam Pemilu 1999. Karena orang-orang Golkarlah yang
memimpin PNS tersebut. Hak azasi manusia dimanipulasi Golkar untuk
kepentingannya.

PARTAI SEBAGAI DAGELAN

        Menanggapi ancaman Feisal Tamin untuk membentuk partai sendiri, Mochtar
Pabotinggi, yang juga anggota Korpri mengatakan: "Itu merupakan ancaman yang
aneh dan lucu, saya sebenarnya anggota Korpri yang sudah tidak peduli dengan
Kopri lagi, tetapi melihat itu sebagai dagelan. Ancaman Feisal Tamin itu
mencerminkan sikap Golkar yang kelabakan menghadapi berbagai tekanan."
        Meski akhirnya partai Korpri terbentuk, kata Mochtar Pabotinggi, tidak ada
anggotanya yang berminat masuk. Walau ada tentu jumlahnya sangat minim.
Karena masyarakat sudah mengetahui pasti bahwa mereka selalu berada dalam
posisi direkayasa untuk kepentingan ambisi segelintir elit.
        Masyarakat sekarang sudah pintar-pintar dan malas terus dibodohi
pemerintah. Namun sayangnya pemerintah tidak bisa membaca keinginan atau
aspirasi masyarakat. "Memang sekarang yang brengsek adalah pemerintahan dan
negara, sementara masyarakat sudah maju cara berpikirnya," ujar Mochtar
Pabotingi.
        Jadi, apa yang dikatakan Feisal Tamin bahwa bila PNS tersebar anggotanya di
banyak parpol, maka mereka akan terpecah belah, itu hanya satu dalih saja.
Karena ideologi yang dianut warga PNS tidak tunggal, mereka terpecah dalam
berbagai ideologi. Ideologi pegawai rendah, tidak akan sama dengan pegawai
tinggi atau menengah. Sama berkedudukan tinggi saja, juga berbeda. Lihatlah
Amien Rais di PAN, Yusril Ihza Mahendra di PBB, sedang Mochtar Pabotinggi
lain lagi.

PERDEBATAN MENGENAI PNS YANG CUKUP LUCU

        Dalam rangka perdebatan mengenai PNS, adalah menarik tulisan Sutan Ali
Asli, yang berjudul "PNS, politik dan beberapa syarat" yang dimuat dalan
Merdeka (14/1/99). Sutan Ali Asli mengemukakan bahwa sebelum masa Orde Baru
tidak ada halangan PNS menjadi anggota parpol.
        Pegawai negeri yang menjadi anggota parpol yang berbeda-beda, itu
menimbulkan efek positif bagi keselamatan kekayaan negara. Walau tindak
korupsi tidak bisa dihabisi mutlak, tapi angkanya sangat rendah. Orang
Masyumi tidak mungkin akan mengajak orang PNI, atau anggota partai lain
melakukan korupsi, walau peluang korupsi itu terbuka. Anggota partai dahulu
sangat setia pada partainya, dan oleh karena itu mereka selalu menjaga
tingkah lakunya dari perbuatan tercela, agar martabat dan kehormatan partai
tidak rusak.
        Seterusnya pada bagian akhir tulisannya, Sutan Ali Asli mengkritik baik
FPP, FPDI maupun Golkar. Ini lah yang dikatakannya.
        Perdebatan mengenai PNS sekarang ini sebenarnya cukup lucu. FPP dan FPDI
sebelum ini, dengan suara memelas selalu memohon agar PNS tidak dimonopoli
oleh Golkar dan bebas menjadi anggota partai, mengapa sekarang menolak?
Kalau dahulu berkehendak, dan sekarang setelah pintu permintaan dibukakan,
mengapa ditampik? Bukan kah ini namanya plintat-plintut, atau memang tak
tahu persoalan?
        Sementara Golkar, kata Sutan Ali Asli lebih lanjut, juga terlihat lucu
dengan teriakannya supaya kita menghargai HAM (Hak Azasi Manusia) para PNS,
dengan memberi kebebasan kepada anggota PNS untuk menentukan pilihannya.
Kenapa Golkar sekarang terlihat sangat memperhatikan HAM?
        Sebenarnya Golkar tidak akan memetik keuntungan apa-apa bila PNS dibebaskan
memilih dan menjadi anggota partai, asal saja Korpri dibubarkan (begitu juga
Dharma Wanita); tidak diperkenankan memasang tanda-gambar partai apapun juga
di kantor-kantor pemerintahan; pemerintah secara mutlak tidak menjadi
pelaksana/penyelenggara pemilihan umum; pemilihan umum dilaksanakan oleh
lembaga non pemerintah yang independen; dan lalulintas surat suara sebelum
dan sesudah pemungutan suara tidak boleh melewati kantor-kantor pemerintah.
        Tak ada gunanya PNS dilarang masuk partai politik, kata Sutan Ali Asli,
apabila lima "penyakit" tersebut tak dihapuskan. Bahkan dapat dipertegas
lagi, pemilihan uumum pasti tidak jujur dan tidak adil, tidak bebas dan
tidak demokratis, bila lima "penyakit" tersebut dibiarkan bercokol.

PASAL 27 DAN 28 UUD 1945 DIKEBIRI

        Sesungguhnya, meski lima "penyakit" di atas dihapuskan, namun Pemilu 1999
sudah bisa dipastikan tidak akan jujur dan tidak akan adil, tidak akan
demokratis, karena pasal 27 dan 28 UUD 1945 tidak secara murni dan konsekuen
dilaksanakan. Perlakuan diskriminatif terhadap sementara warga negara terus
diperlakukan.
        Seperti diketahui Pasal 27 UUD 1945 menjamin persamaan kedudukan warga
negara di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu tanpa kecuali. Sedang Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan
warga negara untuk berorganisasi, bersidang dan berkumpul, mengeluarkan buah
pikiran dengan lisan dan tulisan.
        Di dalam prakteknya, terutama di masa Orde Baru Soeharto, yang kini
diteruskan Habibie melalui RUU Politik untuk Pemilu 1999. Di antaranya ialah
sejumlah anggota ABRI diangkat menjadi anggota DPR/MPR. Tanpa pemilu. Sedang
bagi warganegara golongan lain untuk mendapat 1 kursi saja, harus melalui
perjuangan yang berat. ABRI dengan goyang-goyang kaki saja mendapat sejumlah
kursi. Di mana Pasal 27 UUD 1945 diletakkan? Disimpan dalam kantong
Habibie?. Selain itu mantan tapol PKI (golongan A) tidak diberi hak memilih.
Juga tak diberikan hak dipilih kepada semua mantan PKI atau ormasnya. Sedang
bagi mantan tapol/napol lain (agama dan nasionalis) hak memilih dan dipilih
mereka tetap terjamin. Lagi-lagi diskriminasi diperlakukan. Dimana Pasal 27
UUD 1945?
        Bagi warga negara yang berideologi agama dan nasionalis diberi hak untuk
mendirikan partai politiknya masing-masing. Sedang bagi warga negara
Indonesia dari kaum buruh dihalangi untuk mendirikan partai politiknya
sendiri, yaitu PKI. Meski Pasal 28 UUD 1945 membolehkannya, demikian pula
Pancasila. Pasal 27 UUD 1945 dikesampingkan saja.
        Dengan Pemilu 1999 yang diskriminatif, maka pemilunya masih melanjutkan
pemilu Orde Baru yang tidak demokratis, dengan sedikit variasi di sana sini.
Pemilu 1999 adalah pemilu Orde Baru babak II.

KESIMPULAN

        Jelas, bahwa pemerintahan Habibie masih melanjutkan politik diskriminatif
Pemerintahan Orde Baru Soeharto dalam Pemilu 1999 mendatang. Malah untuk
tahun 1999 ini diskriminasinya diperluas, ditambah lagi dengan mencabut hak
PNS untuk menjadi anggota dan pengurus partai politik. Padahal golongan lain
bebas saja menjadi anggota atau pengurus suatu parpol.
        Diperluas perlakuan diskriminasi itu, karena ketakutan PNS akan memenangkan
Golkar dalam Pemilu 1999. Semestinya hak azasi PNS tidak dikorbankan karena
ketakutan PNS sepenuhnya akan dikuasai Golkar. Ketakutan yang tidak
beralasan. Adalah menjadi tugas parpol baru untuk "menyerbu" PNS supaya
mereka meninggalkan Golkar yang sudah sekian lama mengkhianati mereka.
Rasanya, Indonesia makin lama makin jauh dari Pasal 27 UUD 1945. Ucapan
Habibie seakan tindakannya konstitusional dan demokratis, sesungguhnya
inkonstitusional dan fasis.*** 

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke