Precedence: bulk GUS DUR TERLALU MEMBESAR-BESARKAN KEKUATAN SOEHARTO Oleh: Sulangkang Suwalu Sesudah Emha Ainun Nadjib memberi gelar "begawan" pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur), maka langkah Gus Dur bertemu dengan Jenderal Wiranto, Habibie dan terakhir Soeharto pun terwujud. Bertemunya itu sebagai pendahuluan dari apa yang dinamakan Gus Dur sebagai dialog nasional yang terdiri atas 4 orang: Habibie, Wiranto, Soeharto dan Gus Vur sendiri. Berbagai reaksi bermunculan menanggapi langkah Gus Dur menemui tokoh-tokoh di atas, terutama pertemuannya dengan Soeharto. RAKYAT TAK MAU LAGI KOMPROMI DENGAN SOEHARTO Sub judul "Rakyat tidak mau lagi kompromi dengan Soeharto" adalah kepala berita harian Merdeka ( 21/12). Di dalamnya diantaranya dikemukakan tanggapan pengamat politik Arbi Sanit dan Fachry Ali, sebagai berikut: Arbi Sanit dari UI mengemukakan, "Buat apa kompromi dengan Soeharto. Soeharto itu sumber masalah. Saya heran mengapa Gus Dur menganggapnya bisa menyelesaikan masalah, logikanya bagaimana. Rakyat sudah tidak mau lagi kompromi. Tuntutan rakyat saat ini adalah mengadili Soeharto secepatnya". Selanjutnya Arbi Sanit mengatakan bahwa pertemuan Gus Dur-Soeharto tidak ada manfaatnya sama sekali. Dan kalau Gus Dur mengklaim dirinya tokoh reformasi, mengapa datang kesana, seolah-olah melegitimasi kekuatan status quo Soeharto. "Kalau Gus Dur terus melakukan hal ini, saya kawatir kekuatan status quo bisa bangkit kembali dengan kekuatan yang lebih besar." Seandainya maksud Gus Dur bertemu dengan Soeharto untuk meredam ekses-ekses dan gejolak di masyarakat, tentu itu salah. Dulu ketika Soeharto memimpin negeri ini, Soeharto tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada, apalagi sekarang sudah tidak berkuasa. "Saya malah kuatir, pertemuan itu akan menambah kekecewaan rakyat. Bukankah sudah banyak orang yang menderita karena Soeharto dan bagaimana kita mempertanggungjawabkannya kepada para pahlawan reformasi." Arbi mengatakan pula, manuver Gus Dur itu mungkin karena ia panik melihat situasi belakangan ini. Arbi menilai Gus Dur kebingungan menerapkan strategi apa yang mesti diterapkan dalam menghadapi ketegangan-ketegangan politik di negeri ini. Dengan demikian tampaknya tidak ada target yang jelas, kecuali silaturrahmi. Itu hanya pertemuan pribadi saja, tidak lebih. Sedangkan Fachry Ali menilai pertemuan antara bekas presiden Soeharto dengan Gus Dur, sebagai manuver politik semata. Fachry juga mempertanyakan: apa gunanya bertemu dengan Soeharto, yang Soeharto itu sudah dijatuhkan mahasiswa pada 21 Mei yang lalu. Kini tidak memiliki legitimasi apa-apa lagi. Apa gunanya ke Soeharto, wong dia sudah nggak kuat lagi kok? Dia sudah tidak punya legalitas, bahkan sudah menjadi kartu mati. Manuver politik ini bisa untuk kepentingan Gus Dur sendiri, bisa juga untuk kelompoknya. Fachry melihat tampaknya Gus Dur ingin menciptakan image bahwa dia lah satu-satunya tokoh yang bisa berdialog kiri oke kanan oke dengan berbagai kelompok yang ada. Dia berangkat dari Ciganjur, bertemu Habibie kemudian bertemu Soeharto. Padahal sebelumnya bermesra ria dengan tokoh-tokoh reformasi Amien Rais, Megawati. Kata Fachry selanjutnya, setelah mendapat citra itu, Gus Dur akan melirik jangkauan yang lebih besar, yakni mencari akreditasi untuk menjadi pemimpin nasional. Kedatangan Gus Dur ke rumah Soeharto selain merupakan fenomena baru dalam dunia politik, tidak akan menghasilkan apa-apa yang dicita-citakan mahasiswa dan masyarakat secara keseluruhan. KALAU DIAJAK DIALOG, SOEHARTO BESAR KEPALA Juga dalam harian Merdeka yang sama, Wakil Ketua DPA Letjen (Purn)Suparman Achmad mengatakan: dialog Gus Dur dengan Soeharto hanya akan membuat bekas presiden itu menjadi "besar kepala". Oleh karena itu DPA tidak akan pernah menyarankan presiden Habibie bertemu dan berdialog dengan Soeharto. Suparman Achmad menduga apa yang dilakukan Gus Dur dan Soeharto mempunyai kepentingan tertentu. Dan hal ini akan membuat rakyat bertanya-tanya: Mengapa? Karena kondisi saat ini, Soeharto itu sedang dihujat dan sedang dalam proses pemeriksaan. Mengapa Anda menilai Soeharto tidak harus dilibatkan dalam dialog nasional? Bukankah dia punya kekuatan? Akh, itu kan dugaan saja. Logikanya, kalau Soeharto masih punya kekuatan, ia tidak akan lengser. Anda harus tahu bahwa dulu ABRI, Korpri, dan Golkar telah menjadi kendaraan politik baginya. Sekarang tidak lagi. Kalau Soeharto dilibatkan akan menimbulkan polemik berkepanjangan. Padahal kita mengharapkan masyarakat itu ditenangkan, supaya masalah yang berhubungan dengan keamanan bisa dieliminir, terutama dalam menghadapi pemilu yang akan datang. Alasan Gus Dur upaya bertemu Soeharto untuk meredam gejolak, tidak sepenuhnya bisa menjadi kenyataan. Itu hanya alasan Gus Dur saja. Lengsernya Soeharto, karena adanya eskalasi politik yang meningkat. Apa mungkin bisa diredam? Tidak mungkin, justru upaya Gus Dur ini akan menimbulkan polemik yang lebih dahsyat lagi. "Pak Harto itu banyak pengikutnya," kata Gus Dur. "Pengikutnya itu marah kalau Pak Harto terus dikuyo-kuyo, dipojok-pojokkan dengan demonstrasi ddn segala macamnya itu. Kemarahan itu dituangkan dalam peristiwa Ketapang, Kupang, Banyuwangi dan Ujung Pandang. Jadi bagaimana mencegah ini tidak terjadi lagi. Itu yang saya pikir." PERMASALAHAN YANG MUNCUL Mengikuti tanggapan terhadap kegiatan Gus Dur dan reaksi Gus Dur atas tanggapan itu memunculkan beberapa permasalahan. Di antaranya benarkah kekuatan Soeharto masih besar sekarang ini? Benar kah Soeharto itu " cinta bangsa" Indonesia? Masih kah Gus Dur itu tokoh Forum Demokrasi? Siapa sajakah yang dsbenci oleh Soeharto? Dan sebagainya. Mengenai Soeharto itu masih kuat, menurut Gus Dur, itu dibuktikan dengan kemarahan pengikutnya karena Soeharto dikuyo-kuyo, dipojok-pojokkan, sehingga meletuskan peristiwa Ketaipang, Kupang, Banyuwangi dan Ujung Pandang. Apakah kegiatan teror seperti yang terjadi di Banyuwangi, Ketapang, Kupang dan Ujung Pandang tanda dari kuatnya Soeharto, atau sebaliknya apakah itu hukan tanda dari lemahnya Soeharto? Hingga mereka tak mampu lagi bertarung secara terbuka, tetapi menikam dari belakang. Sesungguhnya itu adalah tanda makin lemahnya kekuatan Soeharto . Dan karena itu aksi teror mereka itu harus dilumpuhkan untuk diakhiri. Tetapi justru bukan itu yang dilakukan Gus Dur, malahan Gus Dur menemui Soeharto di tempat kediamannya untuk berdialog. Langkah Gus Dur ini sama dengan langkah menyerah kepada teror ninja. Kunjungan Gus Dur ke Soeharto secara tidak langsung adalah kemenangan teror Ninja. Mungkin juga dalam rangka "menyerah" kepada tekanan Ninja Soeharto, maka Gus Dur memuji Soeharto sebagai seorang yang " benar-benar cinta bangsa Indonesia ". Padahal Gus Dur tahu benar, sekiranya Soeharto benar-benar cinta pada bangsa lndonesia, tentu tidak akan terjadi krisis ekonomi, krisis keperc3yaan yang berlarut-larut seperti sekarang.tentu tidak akan ada kerusuhan Mei, tidak akan ada tragedi Semanggi, tragedi Trisakti, Ketapang, Banyuwangis, Kupang dan sebagainya. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa ia telah menyengsarakan rakyat banyak, kecuali anak-anak dan cucu-cucu serta kroninya melalui KKN. Selama 32 tahun berkuasa dibunuhnya demokrasi, dilakukannya diskriminasi hak-hak politik dan ekokomi warga, dilakukannya pembantaian seperti di Tanjung Priok, di Aceh, di Lampung dsb. Jadi, adalah keterlaluan pernyataan Gus Dur bahwa Soeharto benar-benar cinta bangsa. Yang benar ia memang cinta anak-anak dan kroni-kroninya. Juga menarik melihat ucapan Gus Dur yang tak peduli terhadap tanggapan masyarakat pada langkahnya mengunjungi Soeharto ditempat kediamannya. Perkataan "Saya tidak peduli", hanya menunjukkan sikap otoriternya, bukan sikap demokrasinya. Seorang demokrat, tentu akan peduli terhadap pendapat orang lain, meskipun-pendapat orang lain itu mengecam pendapatnya. Padahal selama ini Gus Dur dikenal sebagai tokoh Forum Demokrasi. Apa kah demokrasinya juga menjadi luntur karena pentingnya dialog dengan Soeharto tersebut. Juga adalah menarik diungkapnya Gus Dur bahwa Soeharto itu tak senang pada Amien Rais dan orang-orang PSI. Gus Dur tidak mengatakan apa kah Soeharto menyenangi dirinya. Yang pasti Soeharto memang tidak menyenangi dan akan membencinya siapa saja yang tidak menyukai politik fasisme yang dijalankannya selama 32 tahun ia berkuasa. Sebenarnya bukanlah suatu kehormatan bila menjadi tokoh yang disenangi Soeharto yang fasis itu. Itu lah beberapa permasalahan yang muncul dari tanggapan dan reaksi Gus Dur terhadap tanggapan-tanggapan tersebut. DIALOG DITOLAK, BELASAN RIBU JIWA MELAYANG Rencana dialog segi empat (Habibie, Wiranto, Soeharto dan Gus Dur)yang menjadi gagasan Gus Dur, sudah pasti gagalnya, karena Habibie menolaknya. Menanggapi penolakan Habibie tersebut, maka Gus Dur mengatakan kalau usulannya itu tidak dilakukan, sangat mungkin akan terjadi perpecahan bangsa yang bakal menelan korban belasan ribu jiwa. Alasannya, para pengikut setia Soeharto yang tidak rela Soeharto dikuyo-kuyo akan bergerak sendiri-sendiri, sehingga menimbulkan kerusuhan dimana-mana. Bukan tidak mungkin peristiwa seperti Ketapang dan Kupang yang kecil-kecil akan terjadi dimana-mana, tutur Gus Gur dalam acaran Open House hari ke enam dikediamannyas. Diramalkannya-akan terjadi pada awal 1999. Menurut Gus Dur penolakan Habibie terhadap usulannya itu semakin membuktikan bahwa Habibie tidak punya "sense of politics". Dengan penolakannya itu orang akan makin tak suka pada Habibie. Saya yakin Habibie tak akan muncul lagi sebagai presiden. Mungkin karena kesalnya pada Habibie maka Gus Dur juga mengecam mahasiswa bahwa " mahasiswa itu bisanya cuma ramai-ramai saja". Dikecamnyas nampaknya karena mahasiswa juga mengecam kebijakannya mengajak Sullarto dalam dialog segi empat. Kecaman Gas Dur pada mahasiswq seperti diatasahanya menunjukkan Gus Dur tidak melihat kenyataan sejarah: bahwa tanpa gerakan mahasiswa yang menjadi tumpuan rakyat itu, Soeharto tak akan lengser 21 Mei 1998. KESIMPULAN Ada yang mengatakan manuver Gus Dur ini untuk kepentingan NU sendiri yang sedang panik, melihat kemungkinan bergabungnya kekuatan Habibie dengan kekuatan Islam fundamentalis guna mendirikan negara lslam. Untuk mencegahnya itu, ia melakukan manuver tersebut. Sesungguhnya manuver politik yang dilakukan Gus Dur itu mencerminkan dari tak tepatnya analisis Gus Dur tentang situasi yang dihadapinya, yaitu imbangan kekuatan dalam masyarakat antara gerakan reformasi dengan kelompok yang hendak mempertahankan status quo. Nampaknya Gus Dur terlalu membesar- besarkan kekuatan Soeharto, sehingga ia menjalankan politik " menyerah" pada Soeharto. Memang juga adalah keliru jika mengecil-ngecilkan atau meremehkan kekuatan Soeharto, karena hal itu bisa menyebabkan gerakan reformasi melakukan petualangan politik. Namun yang pasti, kekuatan Soeharto sudah jauh merosot. Kalau ia masih kuat, tentu tidak akan lengser 21 Mei 1998. Malahan agar Soeharto mau berdialog segi empat, dipujinya Soeharto sebagai orang yang "benar-benar cinta bangsa", padahal kenyataan cinta Soeharto pada bangsa ialah dibantainya umat lslam di Aceh, di Tanjung Priok, di Lampung, dilakukannya KKN untuk keperluan anak cucu dan kroninya. Persetan dengan bangsa. Untuk membenarkan langkahnya yang keliru agar bisanya berlangsung dialog segi empat, sampai ia bersikap tidak demokrat tidak peduli dengan pendapat orang lain. Seorang demokrat tentu akan peduli kepada pendapat orang lain. Disadari atau tidak langkah Gus Dur yang mendekati Habibie, Wiranto dan Soeharto memperkuat posisi statusquo Soeharto dan memperlemah posisi gerakan reformasi mahasiswa dan masyarakat. Secara tidak langsung telah menjadikan platform Ciganjur sebagai dagelan yang tidak lucu.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html