Precedence: bulk Hersri Setiawan: Surat Negri Kincir : Sebuah Tinjauan KEN ANGROK - BRANDAL YANG MENJADI RAJA untuk Henk Maier (I) AROK - DEDES Pramoedya Ananta Toer (Hastha Mitra 1999) PRAMUDYA ANANTA TOER kembali tampil pada pembacanya dengan dia punya "karya Pulau Buru". Kali ini sebuah roman dengan latar belakang sejarah Jawa dari kurun jaman yang agak tua: Abad ke- 13. Kita semua telah mengenal Pramudya dengan baik di dalam dan melalui karya-karyanya. Justru karena itu setiap kali Pramudya tampil di depan publik, setiap itu pula ia tak lepas dari pandangan dan kata-kata. Juga kali ini aku ingin ikut melempar pandang dan kata-kata tentangnya. Walaupun begitu, perlu kuakui terlebih dulu, pandangan dan kata-kataku di bawah nanti tidak berdasar pada buku itu sendiri. Aku belum membaca roman terbaru Pramudya ini. Buku berkulit cantik ini baru kulihat, dan kubaca sisi dalam kulitnya, di atas meja kerja Henk Maier di Leiden - "Sang Jubir Pram" di jajaran para pakar dan peneliti Indonesia di bumi barat, khususnya Belanda dan seantero. Jadi, pandangan dan kata-kata yang akan kuurai di bawah nanti, berdasar naskah ketikan jarak rapat pada kertas ukuran separoh A-4, yang aku bacai berturut-turut setiap sekitar lima puluh halaman demi lima puluh halaman, di Unit XV Indrapura Pulau Buru. Entah kapan tepatnya, tapi pasti sesudah 1974 dan sebelum 1978. Kami sama-sama penghuni di unit itu. Tapi kami berbeda tempat kerja dan pemukiman. Aku tetap di unit. Sedangkan Pramudya, karena "tugasnya", ia "ditarik" ke Mako (Markas Komando). Mengapa hanya atas dasar baru membacai naskahnya, aku memberanikan diri membuat tinjauan? Karena aku yakin "Arok- Dedes" dalam bentuk buku sekarang, pastilah tidak banyak menyimpang dari bentuk naskah ketikan dahulu. Pemastianku ini bertolak dari kata-kata Sang Maestro Pramudya pribadi, bahwa dirinya tidak pernah membaca ulang segala apa yang pernah ditulisnya. Karena apabila membacanya ulang, diakuinya, ia akan tak bisa menahan diri untuk mengubah dan mengubah naskah itu. Karena itu mari kita mulai. Sebagai awalan kuajak pembaca berkenalan dengan Arok - Dedes - khususnya Arok - dengan menilik nama-nama mereka. Bagaimana apa dan siapa tokoh tak bernama yang kemudian terkenal itu. *** Sumber pertama kisah tentang Arok ialah kitab babad Jawa Kuno bernama "Pararaton", yang mempunyai arti tepat sama dengan sastra babad Melayu Kuno, yaitu (mengikuti ejaan Prof.V.I. Braginsky: Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19; INIS Jakarta 1998:) "Bustan as- Salatin": Kitab Para Raja. Arok, sebagai salah satu tonggak besar dalam sejarah Jawa, sesungguhnya seorang tokoh tak bernama. Nama "Arok" atau "Angrok", yang kemudian ditambah pula dengan gelar sebutan kehormatan "Ken", adalah panggilan yang diberikan kemudian sesudah ia marak dengan gagahnya di panggung sejarah. Masa hidup sebelum menjadi raja binatara itu, sebagai anak wong cilik biasa, ia adalah sosok seseorang yang tak bernama. Ayahnya entah siapa, tetapi yang jelas dan pasti ialah ibunya. Juga tak bernama karena hanya seorang perempuan tani melarat, dari sebuah desa di kawasan Malang sekarang. Sama seperti beberapa tokoh sejarah Jawa, bahkan dari masa yang lebih muda, banyak dari mereka yang tak bernama, karena asal-usulnya yang dari lapisan rendah masyarakat. Juga laki-laki desa Kemusuk Sleman bernama Suharto, Presiden RI kedua itu, andaikata tidak lahir di "jaman sejarah" melainkan masih di "jaman babad", barangkali tidak akan punya nama. Tokoh-tokoh dari "jaman babad" tak bernama itu misalnya Jaka Tingkir. Ini bukan nama, melainkan sebutan pengenal: Pemuda yang berasal dari desa Tingkir, yang belakangan naik tahta, di Pajang kawasan Surakarta sekarang, sebagai Sultan Hadiwijaya. Demikian pula Mas Ngabehi Loring Pasar, bukan sebuah nama. Tapi sebutan untuk Bapak Pejabat yang tinggal di Utara Pasar, belakangan Panembahan Senapati (juga bukan nama!) pendiri dinasti Mataram Baru. Juga Si Cantik putri pampasan perang dari Adipati Pragola di Pati di jaman Sultan Agung Mataram, yang dihadiahkan kepada Panglima Besar Tumenggung Wiraguna itu. Ia dikenal sebagai Lara Mendut. Tokoh "pengusaha rokok kretek klobot" pertama di Mataram ini, sampai tewas bersama sang kekasih yang juga hanya bersebutan Pranacitra", sampai tewas di ujung keris Wiraguna tetap tak bernama. Ken A(ng)rok bukan nama, melainkan sebutan pengenal yang berupa gabungan dua unsur. Unsur pertama "ken", semacam gelar kehormatan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi bukan karena keterhormatan silsilahnya yang berdarah biru. Gelar kehormatan "ken" diberikan masyarakat pada seseorang karena kemuliaan budinya, sedangkan gelar keterhormatan diberikan atau tidak diberikan masyarakat, dianggap sudah melekat karena pangkat dan asal- usul pada pribadi yang bersangkutan. Ini perlu ditegaskan, agar kita bisa membedakan gelar kehormatan "ken" ini dengan, misalnya, gusti, radèn mas, radèn, mas. Indonesisch- Nederlands Woordenboek, (A. Teeuw KITLV 1990: 323) pada lema "ken" menerangkan: "(sv titel voor) jongeman, juffrow (v stand)". Di alam perjuangan demokrasi sekarang ini, di mana paham tentang "liberté, egalité, fraternité" semakin luas dipahami, kita mengerti dan seperasaan terhadap dan dengan siapa saja yang merasa risih pada gelar keterhormatan pangkat dan asal-usul. Tetapi bahwasanya Pramudya menanggalkan gelar "Ken" di depan "nama-nama" Arok dan Dedes, tak usahlah kita angkat sebagai bahan perbincangan di sini. Karena membincangkannya hanya akan berarti menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran kepengarangan Pramudya ketika menulis karyanya itu. Banyak dugaan bisa saja kita ajukan. Tetapi semuanya itu tidak akan ada yang bisa menyentuh sampai dasar, walau hanya satu titik sekalipun! Seperti pepatah sudah mengingatkan: Sedalam-dalam laut bisa diduga, tapi dalam hati dan pikiran tidak. Unsur kedua "a(ng)rok", yang bukan nama, tetapi sebutan. Seperti di atas sudah ditunjukkan, sebutan pada seseorang bisa diberikan karena berbagai alasan khusus. Si calon Sultan Pajang, mengingat asal-usul desanya. Sang Panembahan Senapati, karena letak rumahnya yang dekat pasar. Si Gadis Pati, karena tubuhnya yang sintal mendut. Sang (Ken) Dedes, karena keharuman sifatnya. "Dedes" ialah "kesturi" atau "jebat". Bandingkan tokoh (Ken) Dedes dalam "Pararaton" ini dengan tokoh (Hang) Jebat atau (Hang) Kesturi dalam "Hikayat Hang Tuah" (lk. 1700). Bahwa Ken Dedes perempuan terhormat yang harum namanya, bukan saja kita ketahui dengan menilik namanya, tetapi juga akan kita ketahui dalam sejarah kemudian hari. Yaitu bahwa kelak, sepeninggalnya, ia dipatungkan sebagai dewi kebijaksanaan agama Budha, yang cantik bernama Prajnyaparamita. Juga bahwa ia seorang perempuan yang luar biasa, sehingga Ken Arok bertekad untuk memperistrikannya dengan jalan membunuh suaminya, Adipati Tumapel, Tunggul Ametung, karena terlihat api menyala dari kemaluannya. Bandingkan dengan cerita wayang purwa "Aswatama Mlêbu (Menjadi) Maling", episode perang gerilya sisa-sisa lasykar Astina usai perang Baratayuda. Yaitu ketika Aswatama diam-diam hendak memasuki kubu Pandawa melalui ruba yang digalinya sendiri, di bawah penerangan sinar yang menyala dari kemaluan ibundanya: Bidadari Dewi Wilutama. Adapun pemuda brandal tak bernama yang bernampilan gagah, berani, dan malang melintang dengan segala ulah perangai dan tingkah perbuatan yang buruk dan jahat, kemudian terkenal di mana-mana dan sampai ke Kerajaan Kediri. Entah dari mana ia datang, tapi tiba-tiba saja muncul di bawah pengampuan Petinggi Desa Kudadu. Ia, karena sifat perangainya, kemudian terkenal dengan sebutan Arok atau Angrok. Alkisah. Suatu malam anak itu disuruh tidur di teritis rumah Ki Petinggi. Diberi tugas agar menjaga pohon jambu air, yang sedang berbuah lebat merah ranum, yang bukan hanya menggiurkan selera codot tetapi juga dan terutama maling. Seluruh kawasan Kediri dan Tumapel ketika sedang kalut pemerintahannya, dan surut kemakmuran rakyatnya. Tapi apa yang terjadi? Buah jambu air tidak terjaga, malahan beratus-ratus codot muncul beterbangan dari jidat si pemuda, bersama-sama menyerbu pohon jambu dan memangsa semua buahnuya. Lalu dibangunkannya si Pemuda, dan sebagai hukuman disuruhnya ia tidur di ladang, jauh dari rumah, hanya beralas rumput dan alang-alang. Terjadi apa lagi? Ki Petinggi kaget, tak bisa marah, melainkan hanya terheran-heran. Api seperti menyala-nyala membakar rumput alang-alang, timbul dari tubuh si Pemuda yang tidur nyenyak ... Petinggi Kudadu itu akhirnya merasa kewalahan. Lalu disuruhnya ia pergi menjadi anak asuh Pendeta Lohgawe. Bagaimana sifat pemuda ini? Sepatah kata "arok" atau "angrok" itu sendiri yang akan menjelaskannya. *** "Arok" atau "A(ng)rok". Tapi yang sejatinya benar ialah "angrok". Kata dasar "rok", yang berawal huruf setengah suara "r", bila mendapat awalan "a" lalu timbul huruf antara "ng" atau huruf nasal; seperti juga terjadi pada kata "rebut" - "angrebut", "rusak" - "angrusak", dan lain-lain. Hukum yang sama juga berlaku pada kata-kata berawal huruf setengah suara "l": "lawan" - "anglawan"; "lebur" - "anglebur" dan seterusnya. Apa arti kata itu? Mari kita cari rujukan, dengan membuka beberapa kamus Jawa dan Jawa Kuno (Kawi) seperlunya. (1) Practisch Javaansch-Nederlandsch Woordenboek, P. Jansz, G.C.T. Van Dorp & Co. Semarang-Soerabaia-Den Haag 1918, hal. 775: roq, evw: ngroq of angroq, aanvallen, een gezamenlijken aanval doen, = nempoeh van têmpoeh; ook gezamenlijk, tegelijk iets doen. angroq, ook stremmen, van suiker die gekookt wordt. (2) Baoesastra Djawa, W.J.S.Poerwadarminta, G.B. Wolters' Uitgevers - Maatschappij n.v., Groningen Batavia, 1939, hal. 535: rok (kawi): tempoeh aroeket; angrok (mangrok): nradjang, nempoeh, ngamoek. (3) Kamus Kawi - Jawa menurut Kawi - Javaansch Woordenboek, C.F. Winters Sr. dan R.Ng. Ranggawarsita, Gadjah Mada University Press 1987, hal. 230/31, 13: rok : tempuh, awor, gulung, ruket, trajang, srawungan; arok : awor, tempuh. (4) Kamus Jawa Kuno - Indonesia, L. Mardiwarsito, Penerbit Nusa Indah 1990 (cet. ke-4), hal. 478: rok : tempur, gelut, serbu; silih rok = saling menyerbu/menyerang dsb. arok : bergelut/menjadi kacau/teraduk/campur; (ber)-campur aduk; marok = arok; bertempur; rinok = rusak; rokênya = dikalutkannya. Perhatikanlah. Dari semua kata padanan yang diberikan empat kamus tersebut pada kata "rok" dan "angrok" atau "mangrok", hanya satu kata saja yang jelas bernada positif; yaitu "srawungan", kata Jawa untuk "pergaulan" atau "bergaul". Ini diberikan oleh Winters dan Ranggawarsita. Benar, P. Jansz memang mengemukakan juga "gezamenlijk, tegelijk iets doen" (bersama, serentak melakukan sesuatu). Tetapi tidak pasti "sesuatu" yang dimaksud, apakah bersifat menyerang ataukah berbaikan (bergaul). Sesungguhnya kata "rok" belum aus sampai sekarang. Bausastra Jawa - Indonesia, S. Prawiroatmojo (Gunung Agung Jakarta, cet. ke-3, 1985) malahan memilahnya menjadi dua lema, "rog" dan "rok". Tersebut pada lema "rog" ("di-"): "diguncang-guncang supaya luruh buahnya dsb." Sedangkan yang kita baca pada lema "rok" (Kawi): bertempur ramai, bertempur dekap-mendekap erat-erat; "a-" (Kw): menyerang, mengamuk; begitu juga "mangrok", "amangrok", "angrok", "mangrok", dan "angmangrok". Apa kesimpulanku? Tidak bimbang lagi "angrok" atau "arok" berarti "mengguncang". Maka "Ken Arok" atau "Ken Angrok" tak lain ialah "Sang Pengguncang". Selain merujuk pada keterangan berbagai kamus tersebut di atas, arti kata yang "Sang Pengguncang" juga sesuai dengan keterangan dua guruku bahasa Jawa Kuno/Sanskerta di Yogya di masa lalu, Ki R.D.S. Hadiwidjana dan Ki J. Padmapuspita. Pertimbangan tentang arti "arok" yang demikian, sebenarnya sudah sejak ketika kami masih di Buru aku kemukakan pada Pramudya. Tetapi ia tetap berpegang pada kata Pendeta Lohgawe, entah dengan merujuk sumber mana, yang memberi arti sebaliknya: Pembangun. Tentu itu hak pengarang yang sama sekali tidak seorang boleh menggugat. Kita sebagai pembaca karangannya, hanya berhak "melihat" untuk "menguji" kebenaran gelar sebutannya itu. Pembangunan apakah kiranya yang sudah ditunaikan oleh Arok? Selama masa pemerintahannya di Singasari yang sependek (1222-1227) itu? Dari keadaan kerajaan Kediri dan Tumapel (Singasari) yang porak poranda, warisan "orde lama" Kertajaya itu, bukankah paling banter Arok - walau memerintah kerajaannya dengan tangan besi sekalipun - baru bisa meletakkan "GBHN"? Dan jika ternyata tak ada pembangunan apa pun yang berarti bagi rakyat, mengapa dan dengan maksud apa Pramudya bertolak dari premis dasar yang demikian? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu aku tidak bermaksud "menggugat" Pramudya. Tetapi aku lebih bermaksud bertanya pada diri sendiri, pesan apa yang hendak disampaikan Pramudya dalam roman Arok - Dedes ini sejatinya? Marilah tentang ini kita cari bersama. Yang untuk itu, tak ada jalan lain, keculi dengan mengikuti selintas perjalanan sejarah dan babad sekitar Ken Arok.*** (Bersambung) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html