Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 05/III/13-19 Pebruari 2000
------------------------------

BARA PANAS DI KONGGRES PAN

(POLITIK): Partai dengan plafform paling visioner, PAN, terancam jadi
sektarian. Amien Rais gagal jadi solidarity maker.

Kekecewaan Faisal Basri sudah  memuncak. Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN)
ini mengancam mundur dari partai berlambang matahari itu (8/2), seandainya
platform partai yang berciri terbuka diubah jadi sektarian. Indikasi
kuatnya, menurut Faisal, dapat dilihat dari keinginan kelompok tertentu
untuk menambahkan asas iman dan takwa (Imtak) pada platform partai dalam
Kongres PAN di Yogyakarta.

Ekonom kritis yang enggan duduk di DPR itu menuduh, kelompok yang
menginginkan penambahan asas Imtak itu, berpandangan picik. "Mereka kelompok
yang mencari mainan baru, karena tak ada mainan lagi," ujar Faisal dikutip
Detik.com. Ia menilai aneh, jika Imtak dijadikan asas partai. Iman dan takwa
itu kata mati yang melekat pada manusia, bukan ideologi yang bisa dijadikan
asas sehingga kesannya dipaksakan.

Senada dengan Faisal, Bara Hasibuan, Ketua Departemen Luar Negeri PAN ikut
jengkel. Menurut Bara, bila PAN tidak inklusif lagi, "partai masa depan" ini
akan makin berkurang pemilihnya. Ia yakin, sebagian massa PAN adalah masa
menengah perkotaan yang cenderung menolak eksklusifisme.  

Keberatan Faisal dan Bara, tampaknya takkan digubris. Soalnya, AM Fatwa,
salah satu ketua PAN yang setuju penambahan asas Imtak bersikeras untuk
mengagendakannya dalam kongres. Fatwa sendiri menolak anggapan bahwa asas
Imtak sama artinya dengan sektarian. Ia mengaku juga tak setuju bila PAN
berasaskan Islam. 

Kalau Faisal dan Bara kecewa, itu wajar. Sebab, yang dianggap paling
visioner dibandingkan milik partai-partai politik lainnya itu, tak lain
adalah buah karya mereka ditambah sejumlah tokoh muda PAN lainnya. Amien
Rais, ketika PAN didirikan dua tahun lalu, lebih merupakan figur pemersatu
ketimbang konseptor. Kala itu, Amien Rais, pemimpin organisasi Islam
Muhammadiyah yang juga profesor ilmu politik UGM itu memang memberi kesan
figur ideal untuk menjembatani kelompok Islam dan kelompok intelektual
modernis. Karenanya itulah, PAN dianggap sebagai partai masa depan. Tak
heran jika tokoh semacam Goenawan Mohammad pun mendukung pendiriannya.

Kekhawatiran bahwa PAN akan berubah menjadi partai sektarian, boleh saja
dianggap berlebihan. Namun, Faisal Basri dan Bara Hasibuan bukan tak punya
alasan. Manuver-manuver politik PAN belakangan ini justru membenarkan hal
itu. Contoh paling jelas terlihat menjelang pemilihan presiden dalam sidang
umum MPR-RI tahun lalu. Ketika itu, PAN memilih untuk berkoalisi dengan
partai-partai Islam ketimbang dengan partai-partai terbuka.
Pernyataan-pernyataan Amien Rais pun dengan sendirinya lebih menggambarkan
dirinya sebagai politisi Islam, ketimbang cendekiawan demokrat. Bersama
tokoh-tokoh Poros Tengah lainnya, Amien juga turut ambil bagian dalam aksi
sejuta umat Islam di silang Monas beberapa waktu lalu.

Perbedaan pendapat antara kelompok muda dan kelompok tua di tubuh PAN,
lama-kelamaan makin menajam. Bahkan, sempat disebut-sebut, kelompok muda
akan hengkang bersama-sama. Merekapun terlihat rajin mengadakan pertemuan
keliling antar mereka. Perbedaan pendapat paling jelas antar keduanya
terlihat, ketika bersama-sama politisi muda dari Golkar dan PKB kelompok
muda menyatakan dukungan sepenuhnya pada pemerintahan Gus Dur dan Megawati
untuk menyelesaikan berbagai krisis di dalam negeri. Padahal, sebelumnya,
dalam aksi sejuta umat, Amien Rais dan kawan-kawan sempat mengancam
pemerintahan Gus Dur yang dianggap lambat menyelesaikan kasus Ambon, hal
yang kemudian dibantah sendiri oleh Amien Rais.

Potensi perseteruan antara kedua kelompok ini, sebetulnya sudah mulai
terlihat pada saat penentuan nama-nama calon anggota DPR dalam Pemilu 1999
lalu. Ketika itu, seperti dikhawatirkan sebelumnya, terjadi proses saling
jegal di tingkat elit partai. AM Fatwa, disebut-sebut sebagai tokoh
utamanya. Identitas kelompok Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah pun
dimunculkan. Alhasil, kelompok politisi muda yang umumnya bukan dari unsur
Muhammadyah mesti mengalah. Sampai-sampai seorang Sekjen PAN, Faisal Basri,
yang kesal melihat permainan ini, menarik diri dan menyatakan keengganannya
untuk menjadi anggota DPR.

Amien Rais yang diharapkan menjadi solidarity maker kemudian terjebak
bersikap gamang. Ia bahkan terkesan tidak lagi bisa memilah persoalan secara
jernih. Di satu sisi, Amien ingin tetap mempertahankan citranya sebagai
tokoh reformasi yang moderat, yang konsekuensinya harus konsisten mewujudkan
cita-cita PAN. Dan berarti mesti mengedepankan tokoh-tokoh muda yang bakal
menerjemahkan PAN dalam realitas politik. Namun, di sisi lain, untuk mampu
mewujudkan cita-citanya, Amien merasa perlu mendapatkan dukungan massa yang
menurutnya justru hanya bisa didapatkannya dari basis tradisionalnya,
Muhammadiyah. Asumsi ini yang justru ditolak oleh kelompok muda, mereka
berpendapat, cita-cita PAN belum terlalu laku dijual dalam pemilu lalu
karena proses sosialisasinya yang terlalu singkat. 

Kegamangan Amien ini yang akhirnya membawanya pada manuver-manuver politik
partai yang mengaku terbuka ini dengan mengedepankan identitas Islam
(bertolak belakang dengan PKB yang mengedepankan ide kebangsaan). Apalagi,
ia sendiri menyimpan obsesi untuk menjadi orang nomor satu di republik ini.
Ini makin menjauhkan PAN dari politiknya. Tak usah heran, bila kini ada isu
Amien sedang mempersiapkan 2000 kadernya untuk masuk dan menguasai aset-aset
BUMN. Karenanya Faisal (Basri) dan Bara (Hasibuan) kini sedang "kepanasan". (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke