On 1/16/06, Muhamad Carlos Patriawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Sedangkan untuk anda yang pinter2 ini,mau ngerjain manual work bikin > tukang panci ? > pada kenyataanya saat ini memang intelektual di negeri ini cuman bisa > bikin industri tukang panci saja,tapi bagaimana mendayagunakan > anda,orang muda yang penuh semangat dan ber-intelek.Lulus ITB dan UI > lagi :)
[...] > Lihat sajalah di malaysia,encik mahatirnya dari 90an juga kalo melihat > kondisi masyrakatnya saat itu,paling cuman bisa bikin panci dan termos > :) tapi lihat sekarang,dimana smart people dan industri hiteknya > ternyata menghasilkan devisi yang besar. Pertama, "panci" dalam gambaran di atas hanya simbol, jadi jangan sampai ilustrasi tersebut menutup kemungkinan perspektif lainnya. :) Zaman Orba dulu Nurcholis Madjid pernah berujar, kira-kira begini: perbedaan industri sepatu di Indonesia dan di RRC adalah: mereka membuat sepatu yang terjangkau oleh buruh pabrik sepatu itu. (Saat itu industri sepatu kita ramai dengan Nike, Adidas, dan Eagle yang umumnya untuk kalangan menengah.) Untuk Malaysia di atas: yang terjadi sekarang ini produk dari "strategi yang [dianggap] benar" 10-an tahun lalu (tahun 1990-an) atau produk dari kesungguhan dan kerja keras? *bukan saya tidak percaya analisis lho, melainkan karena penjelasan kita kan muncul hari-hari ini, bukan 10 tahun lalu. Misalnya saya yakin bahwa olah rasa seni dan budaya kita saat ini adalah komoditi prestisius, sedangkan pertanian yang menyerap banyak orang dapat diandalkan untuk makan, hmm... kelihatannya menarik juga. Perlu teknologi tinggi atau tidak? Nah! Atau, hehehe... diskusi seperti ini selalu bermuara pada dua mazhab besar di atas? * subjek ulir diskusi ini diperbaiki, nanti dikira saya yang melamar ke Google. ;) -- amal