[BUKU INCARAN]

Percayalah Padaku, Aku Seorang Detektif Ekonomi
---Norman Satya

Detektif Ekonomi - Kisah Tersembunyi di Balik Harga Produk, Pasar Saham, 
Perdagangan Bebas, dan Ekonomi Sehari-hari 
Penulis: Tim Harford
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: GPU, Juli 2009  
Tebal: 416 hal.; 13.5 x 20 cm  
ISBN : 978-979-22-4784-8
Kategori: Nonfiksi; Bisnis-Ekonomi, Manajemen, dan Investasi 
Harga: Rp 60.000,-


Mari menjelajahi dunia ekonomi yang biasa kita sentuh sehari-hari. Tim Harford 
mengajak kita untuk menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang ada di 
dalam benak. Bahkan sangat mungkin Anda pun akan mengajukan beberapa pertanyaan 
kritis setelah membaca buku ini. Sang penulis buku ini akan membawa Anda 
bepergian masuk ke pedesaan hingga perkotaan modern. Dari negara paling miskin 
menuju negara yang saat ini berpeluang melangkahi Amerika Serikat di bidang 
keberdayaan ekonomi.

Mari kita mulai dari pertanyaan: mengapa harga cabai yang Anda beli pada 
minggu-minggu awal menuju bulan puasa bisa menjadi begitu mahal? Mengapa harga 
sebidang tanah di kota bisa lebih mahal daripada harga satu hektar tanah di 
desa? Atau mungkin juga mengapa orang-orang berotak brilian dihargai dengan 
gaji selangit? 

Satu hal yang dapat kita temukan dari penjelasan Tim ialah bahwa kelangkaan 
memiliki kuasa - the power of scarcity. Semakin langka suatu barang, maka 
semakin mahal harga barang tersebut. Apakah selalu seperti itu? Tidak. Harus 
kita lihat dulu apa barang tersebut berharga, dan untuk siapa barang tersebut 
dianggap berharga. Contoh sebidang tanah yang subur.  Bagi sebagian orang 
sebidang tanah subur mungkin hanya tampak seperti kotak, tetapi bagi seorang 
petani sebidang tanah itu selayaknya emas.

Lalu berapa harga yang pas untuk tanah tersebut? Menentukan harga bisa menjadi 
faktor paling krusial yang bisa mendatangkan kerugian apabila harganya gagal 
bersaing dengan harga pasaran. Saat seorang memiliki kekuasaan atas kelangkaan 
suatu komoditas, bolehlah dia bebas menentukan harga. Orang-orang akan rebutan 
merayu sang pemilik untuk mendapatkan barang langka tersebut. Hei, tapi tunggu, 
pestanya tak akan bertahan lama karena orang lain ternyata meniru tindakan 
orang pertama. Kemudian diikuti orang kedua, ketiga, dan seterusnya hingga 
kejadiannya ialah barang yang awalnya langka sekarang jumlahnya menjadi terlalu 
banyak. Harganya? Tentu akan mengalami depresiasi hingga ke tingkat yang dapat 
diterima pasar. Saat inilah persaingan dimulai.

Sekarang mari kita pergi menuju kota metropolitian yang padat. Silakan mampir 
ke salah satu kedai kopi dan menikmati secangkir kopi di sana. Tim 
menganalogikan pikiran melalui kebiasaan membeli kopi di stasiun kereta bawah 
tanah di London. Kebiasaan ini melahirkan pertanyaan: mengapa harga kopi di 
satu stasiun dan stasiun lainnya berbeda? Kasus serupa terjadi pada convenience 
store (warung serba ada) yang terletak di dekat stasiun dan satunya lagi berada 
agak jauh dari stasiun. 

Hasil investigasi dari sang ekonom yang sedang menyamar (the undercover 
economist) ini ternyata membuktikan bahwa lokasi pun memiliki nilai sendiri. 
Apa semata-mata tergantung lokasi? Tidak. Produk yang dijual pun harus memiliki 
daya saing. Sang ekonom menemukan fakta bawah harga secangkir kopi dengan rasa 
sama dari penjual yang berbeda di lokasi tertentu sanggup membuat Anda berpikir 
dua atau tiga kali sebelum membelinya. Tetapi gerai kopi itu nyatanya tetap 
bertahan dengan harga yang selangit itu. Mengapa? Sekali lagi, dia memiliki 
kuasa atas kelangkaan.

Jadi suatu kelangkaan akan menjadi kekuatan Anda dalam menjalankan usaha? Tidak 
juga. Konsumen saat ini sudah sadar atau lebih tepatnya disadarkan. Mereka kini 
bisa menolak membeli produk dari sebuah pabrik yang tidak membayar tenaga kerja 
(buruh) sesuai ketentuan atau kedapatan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. 
Kejadian ini nyata, sudah menimpa salah satu produsen aparel (baju dan 
asesoris) olahraga ternama. Jadi apalagi yang penting? Kejujuran.

Tim kemudian mengajak kita merasakan kemacetan di kota besar. Kita di Indonesia 
dapat merasakan juga di Jakarta, Bandung, atau kota-kota besar lainnya. Cara 
Tim membeberkan masalah kemacetan ini agaknya sudah menyinggung kemacetan yang 
terjadi di mana sana. Berapa kerugian yang harus kita tanggung dari suatu 
kemacetan? Anda yang mengalami dapat menghitung. Namun siapa yang harus 
bertanggung jawab? Entahlah. Ada baiknya kita mengamati diri sendiri. Bagi 
orang-orang yang rutin setiap hari harus menempuh berkilometer aspal menuju 
tempat kerja dan kembali lagi, masalah ini sangat sensitif. Tapi apa kita tetap 
mau peduli bila kenyataannya ternyata kita sendiri yang menyebabkan kemacetan 
itu? Hanya Anda dan juga saya yang dapat menjawabnya. Dengan jujur.

Penulis yang jadi anggota dewan editor Financial Times ini menyodorkan solusi 
untuk mengatasi kemacetan sebagaimana pernah diterapkan pemerintah Inggris, 
yaitu dengan membebankan pajak amat tinggi terhadap kendaraan bermotor, hingga 
hanya sejumlah orang kaya yang dapat membayarnya. Kemudian menerapkan tarif 
harga bahan bakar yang mahal. Apa kebijakan ini efektif? Tidak juga. Hingga 
pada satu saat dunia disadarkan tentang pentingnya mengelola efek negatif dari 
kemajuan industrialisasi, yaitu emisi karbon.

Dari masalah kuasa kelangkaan, persaingan, penentuan harga, kejujuran, dan 
kemacetan yang entah itu tanggung jawab siapa, kita berlanjut ke masalah 
kemiskinan. Kita juga akan membahas lawan dari kemiskinan. Kamerun dijadikan 
contoh sebagai negara miskin yang hingga saat ini masih berenang dalam 
kemiskinan. Sebaliknya Republik Rakyat Cina sudah mampu melewati arus dan 
berenang ke daratan untuk dapat mendaki hingga ke puncak gunung tertinggi.

Membandingkan Kamerun dan Cina sungguh tepat mengingat kondisi Kamerun ternyata 
tetap begitu-begitu saja selama tiga dasawarsa terakhir, sedangkan Cina sudah 
jauh meninggalkan Kamerun dalam hal kemiskinan. Cina mampu memanfaatkan kondisi 
tertutup negara itu. Selayaknya sebuah dam, akhirnya tampungan air itu 
mendobrak dan menguasai dataran kering di sekelilingnya. Kesejahteraan rakyat 
Cina di bawah pemerintahan Ketua Mao tidak lebih baik dari kondisi rakyat di 
Kamerun. Pemerintahan pun bertransisi saat Deng Xiao Ping mulai memimpin. 
Melalui evolusi dan perbaikan sistem, Cina secara bertahap akhirnya mampu 
mengentaskan korupsi yang menggerogoti negaranya dan menciptakan sistem 
produksi dan administrasi yang jauh lebih efisien dari sebelumnya. Dari hanya 
ber-evolusi, Cina mampu membawa dirinya dan dunia ke tingkat revolusi. Agaknya 
wajar bila sejak dulu ada ungkapan, "belajarlah hingga ke negeri Cina."

Detektif Ekonomi mampu mengungkap dan menyajikan berbagai informasi penting 
yang selama ini tertutup bagi banyak orang demi kejujuran dan tanggung jawab 
sosial perusahaan. Tim Harford tidak hanya menyajikan pandangan dari kacamata 
ekonom, tetapi juga pandangan pebisnis. Pebisnis ialah pelaku perekonomian. 
Para ekonom dapat dikatakan mengelola situasi makro perekonomian. Pemerintah 
memainkan peran sesuai kebijakan sistem ekonomi yang diterapkan di negaranya 
masing-masing. Pemerintah pun mustahil melepaskan tanggung jawab demi 
menyejahterakan rakyat, memberlakukan tata cara untuk membatasi bisnis dari 
praktik yang dapat merugikan warga negaranya.

Mungkin setelah membaca buku ini Anda akan bertanya-tanya penasaran, mengapa 
sebuah negara yang kaya sumber daya alam malah gagal memperkaya diri sendiri 
untuk kesejahteraan masyarakatnya. Mengapa sebuah negara yang mampu 
menghasilkan kopi dan tembakau terbaik di dunia tidak mengatur harga kopi dan 
tembakaunya sendiri? Kemudian secara kritis Anda akan bertekad: apa yang dapat 
saya perbuat untuk negara saya.[]

Norman Satya ialah mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Katolik Parahyangan, 
Bandung.

Situs terkait:
http://www.gramedia.com


      

Kirim email ke