ali sadikin, urang sunda nu disebut bang ku urang jakarta. salasahiji
pamingpin nu merekedeweng dina harti nu positip. ieu aya tulisan lanceuk
kelas kuring di ipb, ayeuna cicing di batam jadi wartawan. kuring satuju
jeung kalimah nu aya dina artikelna eta: "Batam 2010, tentu bukan Jakarta
1966. Tapi, saya amat yakin, kota ini perlu dipimpin oleh orang yang
‘kopig’, sekeras kepala Bang Ali. Keras, tidak asal keras. Ia harus tahu –
mengutip lirik lagu pop – mau dibawa kemana kota ini. Lalu dengan
pengetahuan itu, ia cerdas mencari cara agar kota ini berkembang ke arah
itu."

lain wae batam, tapi kota sejen malah nagara urang pisan oge butuh pamingpin
nu apal, rek dibawa kamana kota/nagara ieu. terus teu gedag najan rea
harewos ti sisi ti gigir. teu rea ngaakomodasi harewos nu sejen sangkan teu
dieundeuk-eundeuk terus!

nuhun,

dudi

------

[Kolom] Mau Dibawa ke Mana Batam
Kita?<http://www.facebook.com/note.php?note_id=396236308308&1&index=0>

Oleh: Hasan Aspahani

INI cerita tentang Ali Sadikin. Saya mendengarnya dari anggota Dewan Pers
Bambang Harimurti. Ali Sadikin adalah gubernur yang paling berjasa membangun
Jakarta.

Sampai ia meninggal 20 Mei 2008 orang masih nyaman memanggilnya Bang Ali.
Ini bukan sapaan yang dibuat-buat, ini bukan sapaan yang asal terdengar
akrab saja. Ia memang akrab dengan warga Jakarta. Ia dapat tempat khusus di
benak warga Jakarta.

“Waktu ditunjuk menjadi Gubernur Jakarta, Bang Ali bingung bagaimana mau
membangun. Anggarannya cuma Rp66 juta,” kata Bambang, dalam Pelatihan Ahli
Dewan Pers, di Batam, Selasa lalu.

Padahal waktu itu, Jakarta – yang oleh Belanda disiapkan hanya dihuni oleh
600-800 ribu orang - sudah disesaki 3,4 juta jiwa. Jakarta adalah raksasa
tidur yang perlu dibangunkan dengan dana dinosaurus. Masalahnya ekonomi saat
itu sedang buruk sekali. Inflasi 600 persen. Bangunan sekolah, pusat
pelayanan kesehatan, dan rumah ibadah minim. Jalanan mulai disesaki
kendaraan. Infrastruktur lain? Huh, sama buruknya. Sebagai ibukota Negara,
Jakarta memalukan.

Naluri Presiden Soekarno yang menunjuk Bang Ali waktu itu tepat. Bang Ali -
Letnan Jenderal Angkatan Laut itu, orang yang ‘kopig’ alias keras kepala itu
- tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan padanya.

Memang, cara yang ia tempuh, kelak ia sadari, adalah jalan penuh
kontroversi: Ia melegalkan judi. Ia satukan kawasan pelacuran. Ia legalkan
panti pijat dan tempat hiburan. Ini bukan perkara mudah. Tapi dari situ,
saat itu, sekitar Rp 40 miliar masuk kas daerah DKI Jakarta tiap tahun.
Mesin pembangunan pun bisa diputar cepat.

Puaskah Bang Ali? Dia cemas. Uang sebesar itu rawan dikorupsi. Aparat yang
biasanya mengelola anggaran cekak, kini harus pegang uang banyak. Godaan
makin besar.

Bagaimana Bang Ali menghindari ini? Kita beralih ke cerita lain lebih
dahulu.

Pada zaman Bang Ali pula Adnan Buyung Nasution bergerak dengan Lembaga
Bantuan Hukum. Ini sebuah kantor pengacara yang banyak mengadvokasi orang
kecil, korban dari gerak laju pembangunan kota metropolitan itu. Ribuan
gugatan dialamatkan oleh LBH ke Pemerintah DKI Jakarta. Pada banyak kasus,
pemerintah kalah. Padahal, penopang dana utama dari lembaga hukum ini adalah
Ali Sadikin juga, ya Bang Ali yang Gubernur DKI itu juga.

Pada zaman Bang Ali pula, pemerintah DKI lewat PT Pembangunan Jaya, memberi
modal pada Goenawan Mohamad dan kawan-kawan mendirikan Majalah Tempo. Kita
tahu, Tempo adalah majalah yang sejak awal menenggakkan idealisme
jurnalistik yang ketat. Dan Pemerintah DKI Jakarta – si pemberi modal bagi
Tempo - bukan obyek yang haram untuk ditelanjangi.

“Saya heran, dan semasa Bang Ali hidup pernah saya tanya langsung ke
beliau,” kata Bambang Harimurti, petinggi di Tempo, yang pernah jadi
Pemimpin Redaksi juga di majalah itu.

Apa jawaban Bang Ali, tokoh kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 itu? “Itulah
cara saya mengawasi pegawai dan pembangunan di DKI. Itulah cara paling
efektif agar korupsi tidak terjadi,” katanya.

Ini pilihan yang luar biasa cerdasnya. Dan tepat. Bang Ali tidak menempuh
jalan memperbanyak aparat pengawas atau inspeksi yang hanya akan menambah
anggaran gaji dan kemungkinan besar kelak akan tergoda korupsi juga.

“Kalau saya kasih dana untuk LBH Buyung dan Tempo-nya Goenawan, berapa
besar, sih? Tapi, efektivitas pengendaliannya luar biasa,” kata Bang Ali,
sebagaimana ditirukan oleh Bambang.

Bang Ali tentu tidak sempurna. Tapi, pilihannya pada banyak hal kini harus
diakui adalah warisan teladan atas konsep, pemikiran dan tindakan yang
hebat. Bang Ali memilih pers yang bebas dan penegakan hukum. Dengan dua hal
itu, pengawasan jadi ketat, dan dana pembangunan tak mengalir ke kantong
koruptor.

Bang Ali mendahului apa yang kelak ditemuka oleh Bank Dunia. Hasil
penelitian lembaga tersebut, di Negara-negara yang persnya dijamin
kebebasannya, kesejahteraan rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan
Negara-negara yang refresif terhadap pers.

Ia berteriak keras menentang dan mengritik pemerintahan Suharto, dan ia
dicap sebagai pembangkang! Ia membidani kelompok diskusi bernama Petisi 50
pada tahun 1980 yang bersuara keras terhadap ketidakberesan pemerintah saat
itu. Karena aktivitasnya itu ia cekal pemerintahan Orde Baru, walaupun ia
tak pernah diadili dan dipenjarakan.

Konsistensinya ia pertahankan sampai ia mati. Ia dimakamkan menumpang di
makam istrinya. Ini adalah wasiat lamanya, karena selain cintanya pada
wanita yang memberinya lima anak yang telah mendahului itu - dia tahu, lahan
di Jakarta semakin sempit.

***

Batam 2010, tentu bukan Jakarta 1966. Tapi, saya amat yakin, kota ini perlu
dipimpin oleh orang yang ‘kopig’, sekeras kepala Bang Ali. Keras, tidak asal
keras. Ia harus tahu – mengutip lirik lagu pop – mau dibawa kemana kota ini.
Lalu dengan pengetahuan itu, ia cerdas mencari cara agar kota ini berkembang
ke arah itu.

Saya sangat mencintai momentum saat menyetir di sepanjang jalan Sekupang –
dari simpang ke Tanjungriau ke pelabuhan itu. Kenapa? Pohon-pohon di median
jalan dan di kiri-kanannya tumbuh sempurna dan membikin keteduhan yang luar
biasa. Saya kira ini adalah ruas jalan terbaik di Batam.

Saya bayangkan ada pemimpin yang dengan keras kepala memerintahkan agar
pohon peneduh di jalan utama ke Batam Center itu dicabut dan ditanami ulang,
karena saya yakin pohon-pohon itu tak akan tumbuh hingga serindang jalan di
Sekupang. Saya kira ada kesalahan sejak awal penanaman di situ.

Saya bayangkan ada pemimpin yang seperti Bang Ali di Jakarta memimpikan
pusat perfilman Usmar Ismail menjadi seperti Hollywood. Saya bayangkan ada
pemimpin yang mengonsep dan mewujudkan pusat kesenian di Batam, seperti
Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Yang bicara soal ini banyak. Tapi, saya
belum melihat ada yang punya konsep yang baik, dan kemudian melangkah untuk
sungguh-sungguh mewujudkannya.

Kota-kota terbaik di dunia, adalah kota yang berkembang dengan perencanaan
yang ketat. Bukan kota yang tumbuh asal-asalan saja. Kawan saya yang
sepelatihan kemarin, melihat Batam belum terlalu melenceng perkembangannya.

Artinya? “Ini bisa dikembalikan ke konsep semula, ke rancangan awal yang
dibuat dengan sangat bagus oleh Otorita Batam. Seperti mimpi-mimpinya Pak
Habibie waktu itulah,” katanya.

Jangan sampai, Habibie, kelak semakin menyesal dan menjadi seperti Bang Ali
merasa “dikhianati”. Di mata Bang Ali, gubernur Jakarta sesudahnya, membuat
Jakarta tumbuh menjadi kota yang tidak nyaman. Padahal dia dulu berkata,
"Sebagai pemimpin, saya harus melindungi dan menyejahterakan rakyat. Itu
prinsip saya."

Batam perlu pemimpin yang seperti itu. Orang yang sadar menyebut dirinya
adalah Pemimpin, tahu tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat,
dan kukuh memegang itu sebagai prinsip. Adakah? Harus ada. Kita harus
menemukannya, tapi mungkin tidak di baliho kepagian yang memamerkan senyum
lebar yang sama sekali tidak manis. ***

--

Kirim email ke