Seratan Her Suganda dina PR ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/052007/19/khazanah/index.html), mung aya koreksi sakedik. Dina alinea ka-11 disebutkeun yen lalampahan Bujangga Manik nu patali jeung Cipamali teh dicaritakeun dina naskah Carita Parahiyangan, nu leres mah naskahna teh naskah Bujangga Manik.
-- sikandar kumincir.blogspot.com (eusi naskah Bujangga Manik tiasa diaos dina arsip milis sababaraha minggu kapengker) -------------------------------------------- Jangan kaget jika sekali waktu menjumpai penduduk Jawa Tengah yang komunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa pengantar bahasa Sunda. Praktik seni dan budayanya pun tidak beda dengan masyarakat Sunda umumnya yang tinggal di Provinsi Jawa Barat. Hanya karena mereka yang tinggal di Jawa Tengah. Bahasa adalah cermin budaya masyarakatnya. Di dalamnya terangkum pengakuan identitas dirinya sebagai sebuah etnis atau bangsa. Namun, budaya suatu etnis tidak dibatasi oleh batas-batas wilayah administratif pemerintahan. Batas wilayah administratif pemerintahan bukanlah batas kebudayaan. Karena itu, tidak mengherankan bila di daerah-daerah tertentu yang letak administratifnya berbatasan, dijumpai kantong-kantong komunitas budaya, sebagaimana komunitas Sunda di Jawa Tengah. Identitas utama dari komunitas budaya itu didasarkan atas bahasa pengantar sehari-hari. Sampai tahun ini (2007), kantong-kantong komunitas Sunda masih dominan dijumpai di kecamatan yang termasuk Kabupaten Brebes dan Cilacap, dua daerah yang letaknya berbatasan dengan Kabupaten Cirebon/Kuningan dan Kabupaten Ciamis di Jawa Barat. Sebaliknya, di wilayah Provinsi Jawa Barat yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, terdapat daerah-daerah yang merupakan kantong kebudayaan Jawa. Di Kabupaten Brebes, komunitas Sunda tersebar di Kecamatan Salem, Bantarkawung, dan Banjarharja. Bahkan, wartawan Rahim Asyik yang mengunjungi daerah itu pada bulan Agustus 2000 sempat menemukan pengalaman unik. Alasannya, di sana juga tinggal masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Ketika salah seorang penduduknya menjadi kepala SD, sekolah itu dinamakan SD Banjarharjo. Sebaliknya, jika kepala sekolahnya dipimpin oleh orang Sunda, nama sekolahnya menjadi Banjarharja. Akibat perubahan hanya satu aksara dari "a" menjadi "o", stempel SD tersebut sering berganti-ganti. Selain di wilayah Kabupaten Brebes, bahasa Sunda juga banyak digunakan warga Kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja Kabupaten Cilacap. Anak-anak di sana tidak terpengaruh oleh tempat di mana mereka tinggal. Di rumah, sekolah, atau tempat-tempat bermain, sehari-hari mereka berbahasa Sunda. Namun, karena berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah, secara bertahap, murid-murid sekolah dasar di sini mulai menerima muatan lokal bahasa Jawa. Pengalaman yang sama dialami anak-anak yang berasal Kabupaten Cilacap ketika tahun 1990-an, mereka menjadi warga Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Saat itu, lebih dari 2.600 warga dari daerah ini berubah "kewarganegaraan" menjadi penduduk Jawa Barat akibat ulah Sungai Citanduy. Hal yang sama pernah pula dialami penduduk Kabupaten Ciamis, ketika tahun 1974 tatkala sungai itu mengalami pelurusan. Beberapa daerah yang sebelumnya termasuk Kabupaten Ciamis berubah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah akibat pelurusan Sungai Citanduy. Namun secara resmi, pertukaran kedua wilayah itu barulah terjadi awal tahun 1991. Sungai Citanduy merupakan batas alam Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Akibat pelurusan sungai tersebut, Jabar menyerahkan 13 desa dengan luas wilayah 146.045 hektare yang terletak di Kabupaten Ciamis kepada Jawa Tengah. Sebaliknya, Jawa Tengah menyerahkan 10 desa dengan luas wilayah 381.072 hektare ke Kabupaten Ciamis. Pertukaran wilayah itu, pada gilirannya menambah kantong-kantong komunitas Sunda di Jawa Tengah, dan kantong komunitas Jawa di Jawa Barat. ** Penggunaan bahasa ibu yang berbeda dengan bahasa daerah yang merupakan kantong-kantong komunitas itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Apalagi wilayahnya masih berada dalam satu pulau dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, keberadaan kantong-kantong komunitas tersebut, terutama kantong komunitas Sunda di Jawa Tengah sebelum terjadi pertukaran wilayah, merupakan hal yang menarik jika ditinjau dari latar belakang sejarahnya. Adanya kantong-kantong komunitas Sunda di Jawa Tengah sangat boleh jadi bukan karena migrasi atau berubah "kewarganegaraan" akibat perubahan batas wilayah administratif pemerintahan. Kantong-kantong komunitas itu sudah ada jauh sebelum kedua wilayah dinyatakan menjadi wilayah administratif pemerintahan provinsi pada zaman kolonial Belanda. Provincie West Java dibentuk berdasarkan *Staatblad* tahun 1925 tanggal 1 Januari 1926. Sejak itu, batas wilayahnya di sebelah timur mengalami perubahan, yakni dari semula Sungai Cipamali dan Sungai Donan digeser ke sebelah barat menjadi Sungai Cisanggarung dan Sungai Citanduy. Batas wilayah Sungai Cipamali tersebut sebenarnya sesuai dengan naskah kuno *Carita Parahyangan* yang menceritakan kisah perjalanan Bujangga Manik. Dalam naskah itu, ia menyebut Sungai Cipamali sebagai "*tungtung *Sunda". * Tungtung* dalam bahasa Sunda artinya ujung sehingga "*tungtung *Sunda" diartikan sebagai ujung wilayah Sunda. Bujangga Manik adalah salah seorang anggota keluarga Kerajaan Sunda Padjadjaran. Ia jauh lebih hebat dari Junghuhn. Bujangga Manik melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa dan Bali dengan cara jalan kaki. Ia memulai perjalannya dari tempat tinggalnya di Pakuan, daerah yang letaknya di Kota Bogor sekarang, melintasi daerah sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Tatkala kembali, ia menyusuri daerah selatan. Sewaktu sampai di pinggir Sungai Cipamali, ia menyebut daerah itu ujung wilayah Sunda. Ketika tiba di seberang sungai tersebut, ia menyebut wilayah itu "datang ka alas Jawa" atau tiba di tanah Jawa. Cipamali saat ini merupakan batas alam wilayah Kabupaten Brebes dengan Kabupaten Tegal di Provinsi Jawa Tengah. Dengan mengacu pada naskah itu, Kerajaan Sunda meliputi wilayah yang sangat luas, meliputi wilayah yang kini termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah. Bahwa sungai itu dinamakan demikian karena perairannya dianggap "pantangan" dilayari oleh masyarakat Sunda. Apalagi untuk sesuatu yang penting dalam hidupnya. Cipamali berasal dari kata *ci *dan *pamali*. Kata *ci *dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari 'air'. Karena itu, tempat-tempat yang banyak mengandung air seperti sungai, selalu didahului oleh kata tersebut. Sementara *pamali *sama artinya dengan 'tabu menurut leluhur'. Jika dilanggar, akan ada akibatnya yang tidak baik. Ada dugaan, nama sungai itu diberikan setelah terjadi Perang Bubat. Saat itu, Prabu Linggabuana dan rombongan dari Galuh mengantarkan Dewi Citraresmi yang akan disunting menjadi permaisuri Hayam Wuruk. Sebaliknya, Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Sunda tanpa peperangan, beranggapan Dewi Citraresmi sebagai "persembahan" dari kerajaan bawahan. Kedua pasukan akhirnya terlibat peperangan sehingga seluruh rombongan Prabu Linggabuana, termasuk Dewi Citraresmi, gugur. Perang Bubat bukan hanya membuat duka Hayam Wuruk dan mengakibatkan Gajah Mada menyepi dari pemerintahan. Kesedihan itu dirasakan oleh orang Sunda sehingga di daerah ini tidak ditemukan nama jalan yang menggunakan nama Hayam Wuruk, apalagi Gajah Mada. ** Kerajaan Galuh sebenarnya merupakan salah satu "kembaran" dari Kerajaan Sunda. Galuh terletak di bagian timur dengan pusat pemerintahan di daerah Ciamis sekarang. Sementara Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan setelah dipindahkan dari Sukabumi. Kedua wilayah dibatasi Sungai Citarum. Berdasarkan bukti-bukti primer dan sekunder, istilah Sunda dalam arti pemerintahan paling tidak sudah digunakan pada abad ke-8. Istilah itu terdapat pada prasasti Kebon Kopi 2 (Bogor) yang antara lain berbunyi: ba(r)pulihkan haji sunda yang artinya memulihkan raja Sunda. Candrasangkalanya ditafsirkan tahun 458 Saka atau 536 M. Namun, ada pula yang menafsirkan tahun 854 Saka atau tahun 932 M karena aksaranya dianggap terlalu tua jika ditafsirkan abad ke-6. Prasasti berikutnya tentang Sunda dijumpai dalam Prasasti Cibadak (Sukabumi) yang dikeluarkan oleh Maharaja Sri Jayabhupati pada tanggal 12 bulan Kartika tahun 952 Saka atau tahun 1030 M. Dinamakan Prasasti Cibadak karena prasasti tersebut ditemukan di Sungai Cicatih di Cibadak. Dalam prasasti itu antara lain disebutkan *prahajyan sunda* atau Kerajaan Sunda. Rajanya sendiri berulang-ulang menyatakan diri sebagai *haji ri sunda *yang artinya Raja Sunda. Sebenarnya terdapat cukup banyak bukti keberadaan Kerajaan Sunda, walau dalam sejarah modern tidak banyak disinggung. Kata Sunda antara lain ditemukan dalam naskah *Sanghyang Siksa Kandang Karesyan* (1518), dan naskah lainnya seperti *Sewakadarma*. Bahkan, Tome Pires (1513), seorang berkebangsaan Portugis, dalam bukunya *The Suma Oriental* menyebutkan, negara yang berkuasa di bagian barat Jawa dan melakukan hubungan dagang dengan Portugis adalah *regno de cumda*, yang artinya Kerajaan Sunda. Saat itu, Kerajaan Sunda Padjadjaran masih berada pada puncaknya. Tome Pires melukiskan keadaan Istana Dayo (*dayeuh*) Pakuan yang dikelilingi 330 buah pilar sebesar tong anggur. Bangunannya indah terbuat dari kayu dan palem. * Dayeuh* artinya sama dengan kota. Kerajaan Sunda berlangsung selama kurang lebih 900 tahun, sejak tahun 669-1579 M. Kerajaan ini sempat mengadakan perjanjian pertahanan dengan Portugis di Malaka pada tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda diwakili Ratu Samiam, penguasa Sangiang dengan Bandar Kalapa-nya. Jika dihubungkan dengan raja-raja Sunda saat itu, yang dimaksud dengan Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14 tahun, dari tahun 1521-1535 M. Kerajaan ini sempat mencapai puncak masa jayanya. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, kedua kerajaan di Tatar Sunda berhasil dipersatukan. Wilayah kerajaan tersebut meliputi Selat Sunda di sebelah barat, dan di timur sebagian wilayah yang kini termasuk Provinsi Jawa Tengah. ** Bahwa keberadaan daerah-daerah pernah menjadi bagian dari wilayah Sunda, antara lain dibuktikan dengan nama-nama tempat di sana. Nama-nama seperti Cipamali, Cilacap merupakan nama khas yang hanya terdapat di daerah Sunda. Begitu pula nama-nama tempat lainnya yang menggunakan kata *bojong* atau * ranca*, atau *pasir*. Bojong atau bobojong artinya tempat yang letaknya agak menjorok, dan ranca artinya rawa, sedangkan pasir artinya bukit. Di daerah Brebes terdapat nama-nama tempat seperti Bojongkadu, Bojongsari, atau Rancamaya. Geolog M.M. Purbo-Hadiwidjoyo pernah mengungkapkan, Gunung Selamet sebelumnya bernama Pasirluhur dan Gombong sebelumnya bernama Kabupaten Roma. Dalam sebuah tulisannya yang mempertanyakan batas Kerajaan Galuh, ia sempat mengutarakan beberapa nama yang ada hubungannya dengan kerajaan tersebut berdasarkan nama-nama tempat. Katanya, Brebes berasal dari kata Baribis, Selawi dari Selaawi, Mempek dari Pameungpeuk, Lebaksiu dari Lebaksiuh, Kroya dari Karoya, dan Mluwung dari Maluwung. Di sebelah utara Gombong terdapat daerah Roma yang semula merupakan keadipatian yang diperintah oleh keturunan Galuh. Namun seusai Perang Diponegoro (1825-1830), nama itu dijadikan nama kabupaten yang terbentang dari Pegunungan Karangbolong sampai Sungai Lukula di sebelah timur. Pembuktian itu bisa saja dianggap lemah. Kecuali jika dilakukan penelitian arkeologis terhadap situs Gunung Jambu di RT 09/RW 07 Desa Cilongkrang, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Temuan benda purbakala di situs itu antara lain yoni berukuran 86x85 sentimeter, batu demprak berukuran 30x35 sentimeter, dan arca sapi Nandi yang mirip dengan arca serupa yang ditemukan di Pangandaran. Kedua situs itu, yakni Situs Gunung Jambu dan Situs Batu Kalde di Pangandaran diduga kuat memiliki hubungan dengan keberadaan Kerajaan Galuh. Selain itu, masih terdapat situs lainnya di Pamarican yang dinamakan Candi Ronggeng. Jika benar, ketiga situs tersebut memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Galuh di masa Hindu, wilayah Sunda memang pernah luas. "*Saupluk-aplak*," menurut istilah orang Sunda sendiri.*** HER SUGANDA *Penulis lepas, tinggal di Desa Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat.*