“Sang Pemimpi”: Potret Indonesia Masa Kini
Oleh Arief Setiawan 21 12 2009 ”Sang Pemimpi.” Film yang baru beberapa pekan lalu diputar sebagai kelanjutan cerita “Laskar Pelangi” karya sutradara Riri Riza dan diproduseri Mira Lesmana menyuguhkan epos tersendiri. Cerita tentang potret buram Indonesia atas nasib warganya yang hidup di daerah pertambangan. Kekayaan alam melimpah ternyata tak linear baiknya kondisi kehidupan. Namun, bergerak berlawanan arah dengan kenyataan sesungguhnya. Menjadi penonton saja kala jaya, dan harus menerima akibat terburuk bila tandas. Cerita dalam fim “Sang Pemimpi” itu hanyalah sedikit gambaran kecil dari situasi Indonesia sesungguhnya. Pahitnya kehidupan masyarakat sekitar daerah tambang nan kaya raya diceritakan dengan vulgar oleh Ikal. Bagaimana tidak? Ikal begitu gamblang bercerita tentang nasib Bapaknya serta keluarga lainnya yang harus bergantung dengan pertambangan. Mereka bukan menjadi pemain, tapi sekedar penonton yang harus melihat dari jauh semua pertunjukan di depan mata. Bahkan tak pernah menikmati hasil dari melimpahnya kekayaan alam itu. Anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan layak sangat sulit untuk bisa merasakannya. Episode ‘Laskar Pelangi” yang menampilkan sosok Lintang adalah bukti nyata dari hal itu. Tak luput pula tentang anak-anak yang harus bekerja di daerah pertambangan sebagai buruh kasar yang sesungguhnya bukanlah bagian dari mereka. Kehilangangan masa kanak-kanak dan tentu juga hari depan. Bekerja selayaknya para orang tua mereka dari pagi hingga matahari bersembunyi di balik peraduannya. PREVALENSI GIZI KURANG/UNDERWEIGHT (W/A <-2SD) PADA ANAK SEKOLAH 2003 Sumber: DR. ATMARITA, Direktorat Bina Gizi Kesmas, Depkes RI ”Sang Pemimpi” juga menyajikan suatu realitas post-exploitated of natural resources. Film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana ini menampilkan keadaan kampung halaman Ikal ketika harga timah di pasaran dunia merosot. Para pekerja tambang tak bisa bekerja lagi. Mereka di ”PHK” sebagai buruh lepas. Kemiskinan pun semakin menjadi saja. Paling runyam, lubang-lubang bekas galian tambang timah bak kawah di bulan itu juga jadi pemandangan tersendiri. Kerusakan alam harus ditanggung penduduk setempat, bukan korporasi. Situasi seperti ini bisa dikatakan sebagai tragedi sejarah manusia. Sejarah hanya diam saja seperti Karl Marx katakan, ”sejarah tidak berbuat sesuatu; itu tidak memiliki kekayaan besar, tidak melawan pertempuran…” Sungguh tragis melihat fenomena nyata di depan mata kita. ”Sang Pemimpi” adalah gambaran nyata pahitnya kehidupan masyarakat di daerah sekitar pertambangan. Tanah mereka kaya, tapi kehidupannya miskin sampai titik nadir. Hanya menyisakan semangat untuk bisa bertahan hidup dari huru-hara kenyataan. Tabel: Large-scale Extractive Industry Concessions Pulau kaya bernama Belitong dengan tambang timah dan kemiskinan yang menjerat warganya tidaklah sendirian. Di Indonesia, kondisi demikian menjadi suatu yang jamak karena terjadi di mana-mana. Kaya sumber daya alam, tapi miskin dalam kesejahteraan. Papua, NTT, Aceh, dan Kalimantan Timur adalah segelintir contoh dari ”kekejaman” itu. Bumi yang mereka injak kaya, tapi tak pernah bisa merasakan, hanya jadi penonton saja dan itu pun dari jauh di balik bukit. Salah satu contohnya adalah Papua. Kekayaan alam yang melimpah dari proven deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas&tembaga (konsesi Freeport saja), 540 juta m3 potensi lestari kayu komersial, 9 juta ha hutan konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar, panjang pantai 2.000 mil, luas perairan 228.000km2, 1.3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun tak membuat masyarakatnya sejahtera. Pada pertengahan 2006, menurut Pemprov Papua, rumah tangga miskin di propinsi paling ujung timur Indonesia ini berjumlah 83,04% (482.184 rumah tangga). Nusa Tenggara Timur dapat juga menjadi contoh betapa pertambangan tak membantu menuntaskan masalah kemiskinan. Malah berkebalikan, semakin membuat penduduk sekitar semakin miskin saja. Berdasar data BPS pada pertengahan 2009, penduduk miskin NTT berjumlah 1.013.200 jiwa atau sekitar 23,52 persen dari 4,6 juta jiwa penduduk. Standar BPS yang ”rendah” untuk kategorisasi penduduk miskin ini bisa dikatakan sangat ”membantu.” Tentu jumlah ini jauh lebih besar bila menggunakan standar Bank Dunia yang membagi kategori miskin bila berpendapatan kurang dari USD 2 per hari. Sumber: Presentasi Sri Palupi pada Lokakarya Nasional HAM 9 Desember 2009 Kembali lagi ke ”sang Pemimpi.” Apa yang disuguhkan dalam film itu merupakan potret nyata atas buramnya keadilan di negeri ini. Ini bukanlah suatu konsolasi, melainkan tamparan keras bagi penguasa tentang ketamakan yang mereka miliki. Tamak untuk terus membetuk korporatokrasi. Seperti yang Ikal katakan dalam ”sang Pemimpi”, ” kekayaan tambang bisa menjadi sebuah kutukan bagi warga sekitar. Warga hanya jadi penonton, dan ketika alam rusak, mereka juga yang harus menanggungnya.” Sumber: http://arieflmj.wordpress.com/2009/12/21/sang-pemimpi-potret-indonesia-masa-kini/ Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://sastrapembebasan.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]