ALHAMDULILLAH oleh Asahan Aidit
   
  Kesan pembaca, Putu Oka Sukanta.
   
  Saya menggarisbawahi kata kesan pembaca, karena tulisan ini bukan resensi 
buku.
   
  Sebuah hasil seni bagi saya yang penting adalah kesan yang ditimbulkannya. 
Bukan kemauan penulis atau penerbitnya. Karya seni sebagai sebuah kehidupan 
baru, ia akan berjalan kemana saja ia mau, tetapi terkadang ia bisa mati ketika 
baru lahir. Dibunuh oleh pengarangnya sendiri atau oleh kekuasaan yang tak 
elakkan. Kalau ia mampu menembus halangan ia akan terus mengembara mampir ke 
hati dan pikiran pembaca tanpa kendali. Dalam jaman pasar bebas, peran pers, 
media elektronik dan mafia distributor memang ikut membantunya atau 
membunuhnya. Tetapi karya yang mandul, yang malnutrisi memang tidak akan 
beranak pinak dantidak akan hidup lama.
   
  Estetika bagi saya tidak pernah universal, tetapi ia kontekstual.
   
  Buku Alhamdulillah, ditulis oleh seorang marxist abangan (hal 177), yang 
pernah dikirim oleh PKI atau pemerintah Indonesia belajar ke Uni Soviet sebelum 
tragedi kemanusiaan 65/66.. Sesudah tragedi tersebut, ia berlajar ilmu revolusi 
di Vietnam untuk membebaskan negerinya dari penghancuran oleh Orde Baru. Kawan 
Abang ini, juga sempat mampir ke RRT. Tetapi ia tidak betah di Vietnam. Ia 
terus menerus melontarkan kritik dan ketidak puasannya terhadap keadaan orang 
Indonesia (aktivis PKI?) yang tidak bisa pulang ke Indonesia dan kondisi 
Vietnam yang sosialis dipimpin oleh Partai Komunis. Slogan Politik adalah 
panglima, (219) Oto Kritik PKI, ajaran Mao atau dan Maoist tidak benar, ia 
dimusuhi di Vietnam karena dianggap Maoist. Bahkan Diktator proletariat yang 
pernah menjadi acuan bagi kaum Marxist, dikuliti sehingga sepertinya menjadi 
bangkai busuk yang menjijikkan, mengundang hama penyakit yang perlu dijauhi 
secepat mungkin supaya
  tidak tertular.
   
  Buku ini memperkaya wawasan pikiran saya tentang bangunan kejiwaan sebagian 
aktivis PKI yang diceritakannya, sesudah peristiwa tragedi 65/66 Terkesan 
bangunan kejiwaan itu begitu rapuh. Lalu dengan sendirinya muncul pertanyaan: 
apakah mungkin karena mereka dikarbit, atau dibangun dari bahan dasar yang 
memang kualitasnya rendah, atau bahan dasar yang salah. Sehingga ketika 
rumahnya diambrukkan oleh Suharto, muncul galau dalam hati, ketidak puasan dan 
tuduhan yang mengesankan semuanya salah, kecuali dirinya sendiri. Mencari 
kambing hitam, dimana ia berada. Saya tidak tahu apakah sebelum peristiwa tsb. 
bangunan kejiwaan mereka, solid, atau hanya tampak solid ? Pertanyaan juga 
muncul akibat kritik tajam terhadap sosialisme: Apakah teori sosialisme yang 
salah atau orang yang mengimplementasi teori dan ajaran sosialisme yang tidak 
mampu mengejawantahkan ajaran tersebut? Karena sebab-sebab atau faktor apa? 
Andaikata si Kawan Abang ini menukik menganalisa hal-hal tersebut dengan
 Tam, Nga, Svieta, Mang P, dan tante Annie, saya sebagai pembaca akan mendapat 
manfaat yang mendasar tentang perkemangan masyarakat.
   
  Untuk mengakhiri kekecewaan dan penderitaan si kawan Abang yang sepertinya 
seolah sudah berada di kerak neraka, maka ia mengupayakan pergi ke negara 
kapitalis yang menjadi musuh bebuyutan sosialisme. Teman Vietnamnya bertanya 
"mengapa harus ke kapitalis? Si kawan Abang hanya menjawab pertanyaan itu 
dengan mengatakan,"...saya bukan takut kemiskinan, tetapi saya memang takut 
kalau harus menunggui kemiskinan selama hidup tanpa berdaya untuk bergerak 
mengatasi keadaan demikian."
   
  Saya bertanya sendiri, Apakah kader Partai dari negara lain tidak boleh atau 
tidak dibolehkan ikut membangun cita-cita sosialisme-nya di negera tempatnya 
bermukim. Apa begitu ? Lantas apa makna kata internasionalisme itu ?
   
  "Di negeri kami tidak ada orang miskin yang tinggal di hotel, dapat makan 
minum, dapat pelayanan kesehatan, dapat jaminan keamanan oleh negera dan Partai 
tanpa bekerja dan berbuat sesuatu"
   
  "..saya hanya tidak boleh melakukan apa yang saya ingin." ( hal.22)
   
  Sebagai pembaca terus mencari di halaman-halaman berikutnya, apa sebenarnya 
yang diinginkan ? Tetapi tidak saya ketemukan. Apakah karena tidak bisa kawin 
dengan Nga, pacarnya yang kader partai? Dari pada menebak-nebak dan 
berprasangka yang bukan-bukan, kan lebih bagus mempertanyakannya. Buku ini 
banyak merangsang saya untuk bertanya. Tetapi sayang teman diskusi saya Joebaar 
Ajoeb sudah almarhum, sehingga belum menemukan teman diskusi yang sedemokratis 
dia.
   
  Mengenai penggunaan nama Sulai, membingungkan saya. Bukankah penggunaan nama 
Sulai,(233) adalah nama yang dipakai sejak bersekolah universitas Hanoi (1970), 
sebagai pengganti nama Vietnam ? Tapi mengapa nama ini juga dipanggilkan kepada 
si kawan Abang oleh kakak sulung ketika masih di Jakarta sebelum berangkat ke 
Soviet dan juga ketika bertemu di Peking?
   
  Sebelum mengakhir tulisan saya , saya ingin bertanya kepada kawan Abang atau 
pembaca tulisan saya tentang istilah Politik adalah panglima. Yang benar apakah 
politik adalah panglima, atau politik sebagai panglima? Juga saya ingin 
bertanya: solidaritas anggota Partai Komunis Netherlands, apakah bisa dikatakan 
berdasarkan atas Politik sebagai panglima? Atau atas dasar belaskasihan, 
sodakoh, si kaya kepada si miskin?
   
  Buku ini juga memberikan informasi akurat kepada saya perihal asalusul nama 
Dipa Nusantara Aidit
   
  Sebagai teks bahasa Indonesia, terkadang saya harus berhenti membaca sejenak 
untuk memahami kalimat-kalimat yang panjang, beranak pinak. Juga terhadap 
istilah, misalnya di hal 42, menyambung nyawa atau menyabung nyawa? Cuci maki 
atau caci maki (364). Pemberian sub judul, pada bab-bab tertentu saya tidak 
merasa terbantu olehnya untuk lebih memahami isi. Bahkan sering seperti 
kelilipan, ada debu di pelupuk mata. Editor terasa perlu bekerja lebih keras 
dan teliti sehingga bacaan ini menjadi lebih cair mengalir ke dalam sukma.
   
  Untuk mengakhiri kesan saya sebagai pembaca, saya tutup dengan kutipan dari 
halaman 163: Kesadaran akan kerapuhan diri sendiri ini membuat saya mencari apa 
yang masih tertinggal dalam diri saya, sesuatu yang lebeih kenyal, lebih tahan 
sentuhan yang mungkin meskipun tidak terlihat tapi masih terasa ia ada pada 
diri saya, sesuatu yang diri saya, yang sesungguhnya, yang tak terlihat dengan 
mata kasar. Saya ingin melihat diri saya di dalam apa yang saya pikirkan, saya 
fantasikan, saya abadikan dan karenanya saya menulis yang barangkali tidak 
cepat saya temukan dalam satu kali tulis, mungkin harus berkali kali saya 
lakukan atau mungkin seumur hidup hingga saya menemukannya atau tidak pernah 
menemukannya. Hal itu penting untuk saya, karena saya memburu waktu sebelum 
saya yang rapuh ini sirna begitu saja. Saya masih ingin melihat diri saya, 
siapakah saya, bukan hanya bagaimana rasanya menjadi saya sendiri.
   
  BRAVO bung Asahan !!!**
   
  Rawamangun, 5 Januari 2007
   


      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 
---------------------------------
Don't pick lemons.
See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke