Tuh kan, abidah bukan anak salafy, dia anak hmi.  Ngajinya memang dulu di 
persis.

------Original Message------
From: Penerbit Mizan 
Subject: [PasarBuku] Abidah El Khalieqy: Cinta Kiai dan Pesantren

Abidah El Khalieqy: "Saya Cinta Kiai dan Pesantren"

  
Abidah El Khalieqy tidak hanya dikenal sebagai
penyair, tapi juga novelis yang produktif. Lima novel telah ditulisnya, selain
buku kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya, Geni
Jora, (diterbitkan Qanita, Mizan Grup), memenangi Lomba Penulisan
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2004. 


Novel ini berkisah tentang pemberontakan seorang perempuan
santri bernama Geni Jora. Ia melawan perlakuan-perlakuan tidak adil terhadap
perempuan, yang dibungkus oleh budaya patriarki, dalam bahasa agama dan jubah
tradisi. Dengan latar dunia pesantren di Jawa, melanglang ke alam dan budaya
Timur Tengah dan Maghribi, diekspresikan melalui bahasa yang lincah, cerdas,
nakal, dan jenaka, novel ini membalut pemberontakan gender dalam jalinan
kisah cinta dan pencarian diri yang kompleks dan memikat.






Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965,
yang mulai menulis sejak usia 12 tahun ini pernah memperoleh penghargaan seni
dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1998). Tahun lalu ia
menerima Ikapi dan Balai Bahasa Award.

 

Melalui karya-karyanya, istri penyair Hamdy
Salad ini menyuarakan persoalan perempuan. "Dalam benak saya, perempuan di
Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi perempuan sudah
sangat parah," ujar ibu tiga anak ini.

 

Namanya melambung setelah novelnya, Perempuan
Berkalung Sorban (2001), diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hanung
Bramantyo. Apalagi setelah film tersebut menuai kontroversi. Beberapa adegan di
film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dianggap melecehkan pesantren dan kiai.

 

"Mana yang melecehkan? Ini adalah kritik
bagi kiai dan pesantren yang kami cintai," kata perempuan yang pernah
mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan,
Jawa Timur, ini.

 

Di kediamannya, kawasan Maguwoharjo,
Yogyakarta, Abidah menerima wartawan Tempo Muhammad Syaifullah untuk sebuah
wawancara, Rabu lalu. Berikut ini petikannya.

 

Bagaimana proses kreatif Perempuan
Berkalung Sorban?

 

Pada awalnya ini ide YKF (Yayasan
Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta, untuk membuat
suatu novel tentang pemberdayaan perempuan. Maka dirancang novel Perempuan
Berkalung Sorban ini dan saya sebagai penulisnya. 

 

Tujuan menulis PBS?

 

Novel ini untuk mensosialisasi hak-hak
reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB. Jadi saya ketika itu
diminta mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua
tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama
tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah. Di satu kampung ada
banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Saya juga menemukan
orang-orang yang naik kuda. Sesudahnya, mengikuti seminar-seminar yang
dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian saya menulis selama
sembilan bulan. Karena kontraknya hanya satu tahun, dua tahun saya lakukan di
luar kontrak.

 

YKF dan Ford Foundation yang membiayai proyek
ini. Saya mau bekerja sama dengan Ford Foundation karena saya sebagai sastrawan
dalam menulis, apa isinya, saya memiliki otoritas pribadi. Mereka tidak boleh
ikut campur tangan. Sebetulnya semua isi dan teknik penulisan murni dari saya
sebagai sastrawan. Ini memang sifatnya pesanan soal reproduksi perempuan.
Tetapi kenapa saya mau--yang sebagai sastrawan memiliki independensi--karena
yang diinginkan mereka adalah yang selama ini tema-tema yang menjadi sorotan
saya. Kebetulan misi dan sorotannya sama.

 

Apa yang Anda sampaikan dalam PBS?

 

Saya ingin perempuan memiliki kemandirian,
perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib
perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu.

 

Kenapa memilih tema feminisme?

 

Awal-awal saya kuliah, saya aktif di HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) dan kemudian saya tidak tertarik masalah politik.
Ketika itu, isu tentang feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di
Titik Nol karya Nawal El Sadawi dibahas di mana-mana. Saya juga mulai tertarik
untuk membahas persoalan perempuan. 

Dan dalam benak saya, perempuan di Indonesia
masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi perempuan sudah sangat parah.
Memang harus dicari akar permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya.
Artinya, harus ada revolusi pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat
mendesak. Selama ini soal perempuan memang sudah banyak ditulis, soal
penderitaan mereka dan keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan
untuk menyikapi kondisi seperti ini kan belum ditulis. 

 

Bagaimana Anda menanggapi kontroversi PBS?

 

Ini lucu dan ironi. Kenapa? Yang
dikontroversikan mereka itu, ya, itu yang dikritik dalam film dan buku (novel).
Anehnya, para pengkritik tidak mau nonton. Mereka tidak tahu sebetulnya dialog
itu sebuah dialog (dalam novel dan film).

 

Misalnya adegan oleh para pelakon protagonis
dan antagonisnya. Dalam film tersebut ada antagonisnya yang selalu menjawab.
Contohnya, dalam Islam perempuan tidak boleh naik kuda. Menurut (dalam dialog)
Annisa, perempuan boleh naik kuda. Zaman Nabi saja perempuan boleh naik kuda.
Jadi dalam film itu adalah dialog antagonis dan protagonis. Mungkin yang
mengkontroversikan tidak menyimak dialog yang katakan Annisa (tokoh protagonis
dalam film PBS yang diperankan Revalina S. Temat).

 

Dalam PBS, yang mengatakan perempuan tidak
boleh bepergian kecuali ditemani muhrimnya, meskipun untuk belajar, itu
dikatakan oleh Kiai Hanan, yang menjadi oknum kiai yang antagonis. Ini pribadi,
seorang manusia yang mengatakan, meskipun kiai, dia adalah manusia biasa.
Meskipun dia kiai, bisa juga menjadi oknum. 

 

Untuk memahami PBS dengan teori dekonstruksi,
bahwa sesuatu yang baik itu tidak hanya bisa dimunculkan oleh tokoh protagonis,
tapi antagonis pun bisa. Kalau yang disampaikan Kiai Ali Mustafa (KH Ali
Mustafa Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal), mestinya yang diucapkan kiai itu 
harus
yang baik-baik. Kalau itu, semua orang juga sudah tahu. Tapi dalam film itu ada
kiai yang seperti itu. Ini yang kita kritik dalam film PBS. Ini kan juga kritik
untuk kiai yang seperti itu.

 

Kalau berani mengkritik dan berkukuh tidak mau
menonton, kan (dia) tidak tahu. Dalam teori seni, ada teori dekonstruksi. Kalau
saya dikatakan melecehkan pesantren, di mana letak melecehkannya? Tokoh
utamanya kembali ke pesantren kan, untuk memperbaiki pesantrennya. 

 

Apakah film ini melecehkan Islam?

 

Tidak. Ini tidak melecehkan Islam. Justru film
dan novel PBS mengkritik para kiai dan kitab kuning, khusus untuk hadis-hadis
misoginis, hadis-hadis yang berkarakter menyudutkan perempuan. Di beberapa
pesantren salaf, masih ada buku-buku yang diajarkan, seperti Kitab Uqudullujain
fi uqudizzujain. Seakan-akan kitab-kitab seperti Riyadlussholihin, yang
kesahihannya sudah dijamin, malah dikesampingkan, meskipun juga diajarkan
dengan porsi sedikit. Yang akan kita kritik, ya, itu. Kenapa mengkritik para
kiai dan kitab kuning? Karena saya cinta mereka, mosok saya bisa membiarkan ini
berlanjut turun-temurun dari abad ke abad. Pesantren adalah satu institusi
tempat pola pikir dari zaman ini dibentuk. Karena pesantren merupakan agen
perubahan untuk zaman ini. Kalau mereka melakukan seperti itu, mereka bisa
menciptakan pola pikir yang keliru dari zaman ke zaman. Novel PBS menawarkan
upaya reinterpretasi Al-Quran dan rekonstruksi fikih. 

 

Maksudnya?

 

Bahwa fikih kita yang diajarkan di pesantren
sudah kedaluwarsa. Fiqih merupakan hukum-hukum yang menjawab tantangan zaman
dari para ulama. Dan zaman ini selalu berubah. Tetapi fiqih kita dari zaman
tabiuttabiin sampai sekarang tidak berubah. Itu yang perlu direkonstruksi. 

 

Kenapa sampai sekarang perempuan masih
tertindas? Karena ada referensinya, ketika para ulama mengartikan
"arrijalu qowwamuna alannisa". Laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan. Benarkah kata qowwamuna di sini berarti pemimpin? Ternyata para
tokoh feminis Muslimat, baik dari Pakistan, Maroko, maupun Saudi, melakukan
penelitian dan terbukti kata-kata itu dalam kamus kuno bukan berarti pemimpin.
Artinya adalah pembimbing atau mitra sejajar. 

 

Yang dipakai oleh orang Arab sendiri dari kata
qoum, yang berarti pembimbing, teman sharing, mitra sejajar. Tapi selama ini
para ulama, terutama yang menafsirkan Al-Quran, masih mengartikannya sebagai
pemimpin. Itu sudah dari abad ke abad. Ini jadi landasan bagi para laki-laki
menganggap dirinya sebagai pemimpin. Maka perempuan menjadi kelas dua, konco
wingking (teman di belakang). Pola pikir ini membentuk pola pikir zaman dan ini
membentuk kebudayaan.

 

Adakah adegan yang tak ada di novel tapi
ada di film?

 

Ada beberapa: pembakaran buku, adegan rajam.
Kalau dialog dalam bahasa Arab, untuk keperluan penggambaran pesantren biar
lebih hidup.

 

Bagaimana kalau film dan novel ditarik dari
peredaran?

 

Sebelum di-launching, film PBS kan sudah lulus
sensor melalui LSF (Lembaga Sensor Film), sedangkan di LSF kan juga ada unsur
dari MUI, ya, para kiai. Dan itu tidak disensor.

 

Apa ada permintaan novel PBS ditarik?

 

Tidak. Banyak yang menganggap dilarang. Malah
sudah 13 ribu eksemplar dibagikan. Sekarang dicetak lagi. Dalam tiga minggu
sudah lebih dari 50 ribu kopi terjual. Tapi royalti belum dibicarakan, sampai
sekarang belum ada.

 

Apa pengaruh pesantren dan pendidikan Anda
di Universitas Islam Negeri dalam tulisan?

 

Pemikiran dari pesantren yang saya serap, saya
berawal dari pesantren dan kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta). Mungkin saya kesulitan menulis PBS jika tidak didasari
dua institusi itu. Basis pesantren memudahkan saya mengetahui karakter
pesantren. 

 

Bagi Anda, lebih sulit mana, menulis novel
atau puisi?

 

Menulis novel lebih bebas mengekspresikan ide.
Menulis puisi itu mewah; memerlukan energi yang luar biasa. Butuh kesiapan,
intensif dengan refleksi. Lebih berat menulis puisi. Dari sekian gagasan harus
dikristalkan dengan beberapa kata. Tetapi banyak yang mengkritik novel saya
puitis.

 

 

BIODATA

 

Nama: Abidah El Khalieqy

Lahir: Jombang, 1 Maret 1965

Pendidikan: Fakultas Syariah IAIN (UIN) Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 1990

Pekerjaan: Penulis

Status: Menikah (suami Hamdy Salad, dengan
tiga anak)

Karya:

    *
Ibuku Laut Berkobar (puisi, 1997)

    *
Menari di Atas Guntingv (cerita pendek, 2001)

    *
Perempuan Berkalung Sorban (novel, 2001)

    *
Atas Singgasana (novel, 2002)

    *
Geni Jora (novel, 2004)

    *
Mahabbah Rindu (novel, 2007)

    *
Nirzona (novel, 2008)

    *
Mikraj Odyssey (cerita pendek, 2009)



Sumber Koran Tempo,
15 Februari 2009

salam,



------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 
....Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke