http://www.antaranews.com/wawancara/1268017650/alam-itu-ibu-mother-of-earth

Alam Itu Ibu, "Mother of Earth"
Senin, 8 Maret 2010 10:07 WIB | | 
Jakarta (ANTARA News) - Alam adalah pengayom, tempat manusia dilindungi, 
seperti ibu menaungi anaknya. Tapi alam telah begitu terdegradasi karena 
manusia tak memperlakukannya sebagai ibu, dari siapa manusia belajar mencinta.  
"Saya selalu mengatakan alam itu ibu," kata Jatna Supriatna. 

Ketiadaan cinta membuat alam menimpakan bencana kepada manusia. Kata Jatna, 
"Karena kita tak bijak mengelola alam."

Jatna Supriatna adalah Perwakilan Conservation International Indonesia, pakar 
dan aktivis lingkungan yang kiprahnya mendapat tempat khusus dalam salah satu 
buku terlaris internasional "Hot, Flat, and Crowded" karangan kolumnis 
terkemuka New York Times, Thomas L. Friedman.

Akhir Februari lalu di kampus Universitas Indonesia, kepada Liberty Jemadu dari 
ANTARA News, doktor bioantropologi itu memaparkan bagaimana seharusnya manusia 
merayu alam untuk tak lagi menghukum manusia dengan bencana dahsyat.

Tanya : Benarkah bencana itu karena ulah manusia, bukankah bencana-bencana 
seperti Longsor Ciwidey jelas-jelas karena alam?
Jatna : Kita tak pernah bijak. Kerawanan longsor di Jawa itu sangat tinggi. 
Gunung Halimun (di Ciwidey) adalah gunung yang kelongsorannya sangat tinggi, 
tapi orang cenderung tinggal di tempat-tempat yang tingkat kelongsorannya 
sangat tinggi.  Tapi, coba lihat orang (Kampung) Naga atau orang Baduy. Mereka 
lebih bijaksana, tak membuat rumah di tempat yang kemungkinan longsornya 
tinggi. Mereka tidak berlebihan. 

Jawab : Bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam? 
Jatna : Kita semua memerlukan alam. Udara, air, sandang pangan, papan, 
disediakan oleh alam, tidak dari yang lain. Kita harus bisa mengelola alam 
dengan baik. Oleh karena itu saya selalu mengatakan alam sebagai ibu, "The 
mother of earth." Ia pengayom, sama seperti kita memperlakukan seorang ibu. 
Tetapi kalau kita menjadi panglima untuk alam, maka akan berbeda.

Tanya : Bedanya di mana?
Jatna : Panglima itu mengatur, begini, begitu. Masalahnya bagaimana kalau 
mengaturnya salah? Lain dari itu, kita cenderung "pemerintah sentris", bahwa 
yang mengelola alam harus pemerintah, padahal kan tidak.

Tanya : Bagaimana persisnya posisi pemerintah? 
Jatna : Kesalahan kerap berasal dari pembuat keputusan, karena ia sering 
reaktif dan kurang terencana. Di sisi lain, kita sering mengambil sesuatu dari 
alam secara berlebihan, serakah. Nah siapa yang bisa mengontrol keserakahan? 
Itulah fungsi government, mengotrol keserakahan.  

Tanya : Jika pemerintah tak boleh mengambil semua peran, pihak lain mana yang 
mesti terlibat?
Jatna : Pemerintah adalah pembuat kebijakan, tapi jangan juga menjadi 
pelaksana. Tak semua kepemerintahan mesti diurusi pemerintah. Check and balance 
perlu. Siapa yang 'membalance? Di sinilah DPR berperan.  Tapi kan kawasan 
konservasi itu luas sekali, mana mungkin cuma ditangani DPR? Untuk itu perlu 
ada civil society (masyarakat madani). Belanda misalnya, konservasi dikelola 
oleh publik karena terlalu berat. Di AS bahkan dibagi ke daerah. Kita belum, 
padahal publik harus segera dilibatkan.  

Tanya : Bukankah upaya seperti itu sulit, karena di zaman kini semuanya harus 
melewati DPR?
Jatna : Yang namanya publik kan semua pihak. Ya parlemen, pemerintah, 
masyarakat, dan sektor swasta. Mengapa konservasi di luar negeri bertambah, 
sementara di Indonesia tidak? Karena kita sering tidak konseptual. Misalnya 
tiba-tiba mencanangkan kebijakan aneh seperti 'doubling oil pump', menanam 
kelapa sawit di hutan yang masih bagus. Bagaimana ini? Itulah karena regulator 
dan implementer menjadi satu. Masyarakat cuma disuruh menonton. 

Tanya : Itukah yang membuat kita dituduh telah merusak hutan oleh negara-negara 
maju?
Jatna : Begini, saya kasih analogi, semua obat berasal dari alam. Semua 
diproduksi alam, lalu diproduksi lagi secara massal oleh ilmuwan. Kini kita 
kehilangan, karena kita sering meremehkan unsur-unsur alam itu dengan berkata 
'ah itu kan tidak ada gunanya' padahal kita nanti memerlukannya. Sikap inilah 
yang menguntungkan negara maju.

Tanya : Maksudnya?
Jatna : Mereka mendapatkan obat-obatan berharga jutaan dolar, sementara negara 
yang mempunyai biodiversity" (keanekaragaman hayati) untuk obat itu tak 
mendapat apa-apa.  Di Madagaskar misalnya, ada satu jenis tumbuhan yang diambil 
oleh satu perusahaan AS dan dipasarkan menjadi jutaan dolar, sementara 
Madagaskar tidak dapat apa-apa.  Mereka yang mempunyai teknologi diuntungkan, 
sementara yang memiliki "biodeversity" terus disalahkan.  Saya katakan ini 
kepada Thomas, "It's not fair"  (Itu tidak adil). 

Jatna Supriatna mengalami pencerahan pada 1970an, bahwa konservasi itu 
mempunyai keinginan luhur, dan harus lebih didekati, lebih dari sekedar 
meneliti dan kampus.  "Science' itu penting, tapi ia harus beradapatasi dengan 
lingkungan di mana dia berada."  Thomas L. Friedman menuliskan kecerdikan Jatna 
Supriatna dalam mengawal Taman Nasional Batang Gadis di mana pemerintah pusat 
memberikan izin penambangan emas di kawasan konservasi yang membuat Jatna jatuh 
takut bahwa izin itu memicu terdegradasinya kualitas alam.  Jatna tak mengambil 
jalan frontal melawan pemerintah atau menantang pengusah, tetapi dia juga tak 
"membakar" masyarakat. Sebaliknya, Jatna mendekati ketiganya sekaligus, dengan 
meyakinkan mereka bahwa tak ada yang diuntungkan dari alam yang terdegradasi. 
"Bahasa yang dipakai oleh masyarakat akan berbeda dengan bahasa yang dipakai 
pejabat dan juga berbeda dari bahasa yang dipakai LSM," katanya. "Yang satu 
jangka pendek, yang satunya lagi jangka panjang."

Jatna : Misalnya, kita berada di daerah komunitas muslim pesantren, ya kita 
harus menyesuaikan dengan keperluan mereka, misal dalam soal wudhu. Mereka 
mempunyai 15 ribuan santri yang tiap hari bergantung kepada sungai. Kalau 
sungainya kotor karena terkena polusi tambang emas, bagaimana dengan 
santri-santri itu? Apakah mau menggali sumur? Santri itu maunya airnya 
mengalir, segar, dan dingin. Tetapi kalau airnya bau, bagaimana mereka bisa 
berwudhu? Dari situ, saya membangunkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya 
menurunnya kualitas alam.

Tanya : Kita masih harus menghadapi pengusaha, bagaimana kita menarik mereka 
untuk terlibat dalam konservasi?
Jatna : Mereka harus mempunyai kepedulian. Mereka mengekstrak dari alam, dan 
mereka harus mengembalikannya ke alam. Kalau semua mempunyai pemikiran seperti 
ini, maka alam tidak akan rusak seperti ini. (*)

pewawancara: liberty jemadu
editor : jafar sidik

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke