http://www.tempointeraktif.com/hg/profil/2008/12/26/brk,20081226-152583,id.html

Nurul Arifin Ingatkan Politik Uang Masih Terjadi

Jum'at, 26 Desember 2008 | 00:31 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta :"Tantangan baru" Itulah jawaban Nurul
Arifin saat ditanya ihwal keputusan Mahkamah Konstitusi tentang
penetapan calon legislator terpilih dengan menggunakan ukuran suara
terbanyak.

Bagi perempuan bernama asli Nurul Qomaril Arifin itu, mekanisme itu
berarti juga telah membuka babak baru : persaingan yang lebih ketat
dan terbuka.

Pasalnya, hanya mereka yang benar-benar banyak dipilih lah yang berhak
menjadi wakil rakyat.

"Sehingga, bagi aku. Ketentuan itu memacu aku untuk terus berjuang,
berjuang. Itulah tantangan pertama," tutur Nurul saat dihubungi Tempo
di Jakarta, Kamis (25/12) malam.

Tantangan kedua, kata aktris kelahiran Bandung 18 Juli 1966, ini
adalah soal modal. Sebab tak bisa dimungkiri, sebutnya, fakta di
lapangan juga menunjukkan, praktik politik uang masih kerap terjadi.

Meski itu sulit dibuktikan, namun kenyataannya kerap berlangsung.
"Sehingga, dengan free fight system (persaingan bebas) itu, bila tidak
ada pengawasan yang ketat terhadap aturan dana kampanye calon, maka
hanya mereka yang bermodal besar yang memenangi persaingan," paparnya.

Namun, kemungkinan seperti itu tak membuat pemeran dalam film Naga
Bonar ini merasa ciut. Malah sebaliknya, ia meresa terlecut untuk
membuktikan bahwa dirinya bisa. Terlebih, pengalamannya membuktikan
bahwa ia pernah dipercaya masyarakat pemilih.

Pada pemilihan umum 2004 lalu misalnya, istri Mayong Suryolaksono itu,
berhasil meraup suara terbanyak di daerah pemilihannya. Hanya saja,
kala itu, Dewi Fortuna tak berpihak padanya. Ia harus tersisih, karena
harus mematuhi aturan penetapan berdasar nomor urut dan penjatahan.

Lantaran itulah, keputusan mahkamah konstitusi yang menetapkan pentuan
calon legislator terpilih dengan suara terbanyak sebagai sebuah angin
segar. Terlebih, menurutnya, saat ini masyarakat juga semakin cerdas
dalam menentukan pilihan.

Baginya, bisa saja masyarakat mau menerima pemberian seorang calon
legislator, tapi soal pilihan tetap saja sesuai dengan kehendak dan
ketetapan mereka sesuai dengan hati nurani.

"Karena itulah, bagi aku tantangan yang tak kalah besarnya adalah
bagaimana membuktikan dan mewujudkan bahwa aku benar-benar ingin
menjadi wakil rakyat yang membawa dan menyuarakan mereka. Bukan hanya
menggunakan mereka sebagai alat," ungkapnya.

Memang, ketentuan Mahkamah Konstitusi ini juga masih menyisakan
kesangsian, terutama bagi calon legislator kaum perempuan. Sebab,
mereka tak terbiasa menggunakan strategi dan taktik politik uang,
serangan, dan semacamnya.

Tapi bagi Nurul, hal itu tak perlu dikhawatirkan manakala pengawas dan
lembaga penyelenggara pemilihan umum tidak mencederai kepercayaan
rakyat. "Ini juga termasuk tantangan bagi aku. Bagaimana membuktikan,
di tengah situasi seperti itu, ternyata aku bisa memenangi suara,"
akunya.

Dan satu hal lagi, bila ia mampu lolos sebagai wakil rakyat dengan
cara dan sistem seperti itu, maka akan menjadi satu bukti, bahwa
keberadaan perempuan sebagai wakil rakyat bukan atas dasar pemberian.

"Bukan pemberian aatu taken for granted. Tapi melalui sebagai
mekanisme persaingan yang ketat dan transparan. Untuk membuktikan itu,
adalah sebuah tantangan," ujarnya mantap.


ARIF ARIANTO

Kirim email ke