http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/10722-dualisme-nikah-sirri.html


      Kamis, 11 Maret 2010 10:07  

      Dualisme Nikah Sirri  
      Oleh: Hermanto Harun & Adi Irfan Jauhari 


      Nampaknya, dialetika 'komunikasi' agama versus negara di Republik ini 
seolah tak kunjung usai. Karena pada satu sisi, negara seolah tidak ingin 
campur tangan dalam gawe keagamaan. Namun sisi lain, negara berkewajiban 
menertibkan segala persoalan rakyatnya, termasuk urusan keagamaan. Secara 
spesifik, dialetika ini bisa dilihat dalam perdebatan RUU tentang perkawinan. 
Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan 
memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. RUU tersebut sempat 
dihebohkan oleh media negeri demokratis ini.

      Sebelum kontroversi RUU ini, persoalan yang hampir serupa juga pernah 
mencuat. Kasus Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji yang mengawini Luthfiana 
Ulfa gadis belia usia 11 tahun juga tak kalah heboh. Meski nuansa hukumnya 
berbeda, tapi akar permasalahanya bisa dipandang sama yaitu polemik seputar 
nikah sirri. Pujiono dengan gaya eksentriknya, membuat penjara nikah sirri 
sebagai aksi, bahwa jika nikah sirri memang tidak sah, maka ia siap dipenjara 
pada bangunan yang telah dibuatnya sendiri. Semenjak itu, pro-kontra nikah 
sirri menjadi polemik yang cukup seksi untuk dikupas, apatah lagi jenis 
pernikahan ini dibalur dengan kepentingan-kepentingan para pihak yang merasa 
diuntungkan. Juga, jika pembahasan ini ditarik ke ranah perdebatan fiqih, 
semakin mempertegas pro-kontra tersebut. 

      Dalam perspektif fiqih yang memiliki karakter opsional sebagai 
konsekwensi perbedaan hasil ijtihad, sudah dapat dipastikan, perbedaan sudut 
pandang (ikhtilaf) akan selalu ditemukan. Selama masalah tersebut tidak masuk 
wilayah qath`I, maka pasti dtemukan dua pendapat yang saling berhadapan. 
Wilayah silang pendapat ini sering menjadi grey area (wilayah abu-abu) yang 
kerap terasa samar dan bahkan disamarkan. Di Wilayah perbedaan dan perdebatan 
ini yang kemudian dijadikan justifikasi para pelaku nikah sirri. 

      Term nikah sirri sendiri berasal dari kata sirr yang secara bahasa 
berarti sembunyi atau sepi. Sebab jenis perkawinan ini pada umumnya 
dilaksanakan dengan dihadiri oleh kalangan terbatas, secara diam-diam dan tanpa 
adanya pegawai pencatat nikah. Kontroversi sah dan tidaknya perkawinan ini 
seakan mempertegas adanya ambiguitas hukum ditengah masyarakat muslim Indonesia 
antara hukum formal dan agama (fiqih). Satu sisi pernikahan sirri dikatakan sah 
dalam perspektif fikih (jika telah terpenuhi syarat dan rukun), tanpa 
menghiruakan pencatatan perkawinan. Sementara pada dimensi hukum formal, 
pernikahan ini tidak diakui oleh hukum perdata nasional (Illegal) yang 
berimplikasi pada konsekwensi administrasi dan legal standing dari perkawinan. 
Dalam hal ini, yang paling menderita dan menanggung kerugian dalam kasus ini 
adalah pihak wanita. 

      Dualisme antara hukum formal (negara) dan agama (fikih) sepanjang sejarah 
negeri ini sangat berliku, karena usaha transformasi hukum fikih ke dalam 
undang-undang negeri ini tidak lah mudah. Pada masa pendudukan Hindia Belanda, 
dikenal salah satu teori formulasi hukum agama ke dalam perundangan yaitu teori 
Receptio in cemplexu. Teori ini menyatakan bahwa tiap individu muslim terikat 
secara utuh dengan hukum Islam sebagai sebuah agama yang dianutnya. Faham teori 
ini dibesarkan oleh tokoh-tokoh seperti LWC Van Den Berg, Salomon Keizer, dan 
C. Frederik Winter. Berlandaskan teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda 
membentuk pengadilan agama di pulau Jawa dan Madura pada tahun 1882 yang 
memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa perkawinan dan kewarisan. Dalam 
perjalanannya kemudian, bermunculan teori-teori hukum di negeri ini sebagai 
anti tesa dari teori sebelumnya, salah satunya adalah teori eksistensialisme 
yang mengemukakan bahwa ; Hukum Islam adalah sebagai bagian integral dari hukum 
nasional.
      Hukum Islam ada sebagai sebuah kemandirian, kekuatan dan kewibawaan yang 
diakui oleh hukum nasional dan merupakan hukum nasional Indonesia.
      Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional

      Petikan sejarah di atas merupakan sebuah embrio dari upaya positivisasi 
hukum agama, mengingat selama kurun waktu 13 abad, Huku Islam hanya menjadi 
serpihan teks-teks fiqih. Meski harus diakui bahwa pelembagaan hukum Islam 
belum sampai pada totalitas lini kehidupan muslim Indonesia. Kendati demikian, 
pada era kekinian, geliat pelembagaan hukum Islam yang merasup via Perda di 
berbagai daerah cukup signifikan, khususnya provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 
Pelembagaan fiqih ke dalam undang-undang (taqnin) adalah sebuah keharusan dalam 
rangka implementasi teks hukum menjadi aturan yang bersifat mengikat dan 
imperative, sebab harus diakui bahwa hukum fiqih tidak memiliki daya jelajah 
dalam wilayah penerapanya (tathbiq) sebagai aturan yang mengikat selama tidak 
diundangkan. Bukan kah orang bebas untuk memilih atau memformulasi mana 
pendapat yang ia yakini atau hanya sekadar ia sukai dengan tendensi yang 
masing-masing individu miliki (talfiq). Maka dalam catatan sejarah Islam, 
Khalifah Umar ra. Dikenal sebagai seorang pemimpin yang mempunyai nalar ijtihad 
dalam mengimplementasikan hukum (thatbiqi). Nalar Umar ra, begitu memukau, 
bahkan sebagian ulama menyebutnya "kontroversial". Hal ini memperjelas bahwa 
hukum pada ranah teks sangat dimungkinkan mengalami pergeseran ketika memasuki 
ranah implementasi, tentu dengan catatan tidak keluar dari substansi hukum itu 
sendiri. 

      Kekakuan teks hukum menjadi sebuah kekhasan bagi dirinya (lex dura sed 
tamen scripta) atau hukum itu keras, kaku tetapi begitulah sifat tertulis itu. 
Sejak hukum itu berubah dari substansinya menjadi teks dan skema kebahasaan 
maka kita berhadapan dengan subtansi pengganti (surrogate) bukan lagi barang 
asli. Dari sini, tidak lagi membicarakan "hukum sebenarnya" melainkan 
"mayat-mayat hukum". Ketika berpegang pada teks hukum semata, maka ada satu 
lorong yang terabaikan atau paling tidak menyempit, yaitu berhukum dengan akal 
sehat (fairness, reasonableness dan common sense). Berhukum berdasarkan teks 
semata memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif. 
Cara berhukum yang demikian itu, apalagi yang sudah bersifat eksesif 
menimbulkan berbagai persoalan besar, khusunya dalam kehidupan bermasyarakat 
dan berkeadilan. Maka atas dasar ini, berhukum haruslah memperhatikan pula 
aspek yang ditimbulkan secara determinisme atau sebab musabab yang ditimbulkan. 
Ini yang dikenal dalam kerangka metode istinbat dengan nama illat dan atau 
manathu al-hukm. 

      Dalam konteks pernikahan sirri, secara de facto telah melahirkan setumpuk 
permasalahan, kemudaratan dan memiliki nilai minus secara moral. Dengan hanya 
bersandar pada legitimasi fikih dan mengabaikan subtansi dan tujuan perkawinan 
itu sendiri, sirri merupakan proses desakralisasi perkawinan yang sejatinya 
merupakan ikatan mulia dan kuat. Kekuatan ikatan ini yang dibahasakan al-Qur'an 
dengan mitsaqa ghaliza. Pembiaran terhadap jenis perkawinan ini adalah 
merupakan dukungan terhadap penjajahan dan imperialisme kaum hawa melalui 
tameng legitimasi hukum Islam. 

      Dengan kasat mata, kasus-kasus sirri, nilai-nilai moral menjadi sisi yang 
dimarginalkan dan dikesampaingkan begitu saja. Sebab, terlalu mengandalkan 
hukum normative pada dimensi sah dan tidak. Padahal menurut Jeremy Bentham, 
hukum dan moral itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. hukum harus 
bermuatan moral dan moral memiliki kemestian muatan hukum. Hukum yang sehat 
adalah hukum yang memiliki legitimasi atas keabsahan yang logis, etis dan 
estetis dalam bidang hukum yuridis. 

      Maka sudah dapat dipastikan, sebagaimana sifat hukum perdata yang 
mengatur (aanvullrenrecht) dan membatasi (to restrict), akan melahirkan 
segmen-segmen tertentu yang merasa tidak puas terhadap hukum. Lebih lanjut, 
Bentham menyatakan bahwa manusia pada umumnya akan bertindak dan berusaha untuk 
mendapat kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Namun dengan adanya hukum, hal 
tersebut menjadi tereduksi dikarenakan adanya persinggungan individu dalam 
meraih kebahagiaan tersebut. Dalam konteks ini, tentu kebahagiaan yang akan 
didapat oleh masyarakat lebih luas akan dikedepankan. Hal tersebut tergambar 
dalam teori utilitarisme yang terkenal dengan semboyan the greatest happiness 
for the greatest number (memberikan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat 
banyak). 


      Akhirnya, dengan kalimat sederhana, agaknya dapat diambil kongklusi, 
bahwa, pada intinya, hukum adalah bertujuan untuk kemaslahatan umum, dus 
mencegah kerusakan. Maka, bagi mereka yang tetap bertahan dengan legitimasi 
sirri dengan berargumentasi normativitas fiqih, tepat untuk merenungkan sebuah 
kaidah "mencegah kemudaratan itu lebih diutamakan dari mendatangkan manfaat 
(dar`u al-mafasid muqaddam ala jalbi al-masalih). Bukankah begitu? Wallahu 
a`lam.



      *Kandidat Doktor Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) & Praktisi Hukum 
dan Hakim Pengadilan Agama NTB. 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke