Keganjilan Seputar Penangkapan ABB

Bukti kuat seharusnya tidak berubah-ubah. Tetapi mengapa Polri selalu
berubah-ubah terkait delik restu dan dana dari ABB untuk pelatihan militer
di Aceh?

Polisi Republik Indonesia (Polri) sudah mulai tidak percaya diri seperti
masa lalu karena menerapkan 'prinsip'  tangkap dulu bukti dicari kemudian.
Hal tersebut nampak dalam berbagai kasus, termasuk dalam kasus penangkapan
Ust Abu Bakar Ba'asyir, Amir Jamaah Ansharu Tauhid (JAT) pada beberapa waktu
lalu.

 

Berbagai keganjilan seputar delik penangkapan ABB pun diungkap Tim Pengacara
Muslim saat DPP Hizbut Tahrir Indonesia bersilaturahmi dan buka puasa
bersama dengan para advokat TPM, Rabu (25/8) sore di Kantor TPM Jl
Fatmawati, Jakarta Selatan.

 

Nampak hadir dari delegasi HTI tersebut di antaranya adalah, Ketua DPP HTI
Rokhmat S Labib, Ketua Lajnah Fa'aliyah Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah
I'lamiyah Farid Wadjdi. Sedangkan dari tuan rumah nampak hadir pula Ketua
Dewan Pembina TPM Mahendradatta dan anggota Dewan Pembina Achmad Michdan.

 

Menurut Mahendradatta, awalnya Polri menyatakan mempunyai bukti kuat terkait
penangkapan ABB tersebut, yakni berupa video rekaman restu ABB atas
pelatihan militer yang diikuti sebanyak 50 orang di Aceh dan lebih dari itu
ABB pun mendanai latihan terbukti dengan adanya aliran dana melalui
rekeningnya.

 

Memberikan Restu?

 

Namun bila sekedar pelatihan militer saja tentu tidak bisa dijadikan delik
tindak pidana terorisme. Maka dikatakanlah bahwa pelatihan itu ditujukan
untuk membunuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan kemerdekaan
RI pada 17 Agustus 2010. Tentu saja Pasukan Pengamanan Presiden
(Paspampres)tersinggung, karena seolah-olah Polri meragukan kemampuannya
menjaga Presiden dan di samping itu tidak ada informasi intelijen yang
menyatakan akan ada aksi teror tersebut.

 

"Karena Paspampres tidak terima, Polri pun merubah tuduhannya dengan
mengatakan pelatihan militer tersebut ditujukan untuk mendirikan Negara
Islam," ujarnya.Kalau begitu, berarti tidak bisa dikategorikan terorisme
tetapi kalaupun mau itu dikategorikan tindakan makar.

 

Jadi ABB tidak layak disebut tahanan tindak teroris tetapi tahanan politik
kalau memang benar bahwa pelatihan militer tersebutu ditujukan untuk itu dan
memang terkait ABB.

 

"Karena Ust Abu itu memang orangnya polos dan lugu, tetapi tidak tolol!"
ujar Mahendra. Sehingga tidak mungkin mengerahkan 50 orang tersebut melawan
ribuan Tentara Nasional Indonesia. ABB memang menginginkan mengganti sistem
thagut (berhala) ini dengan syariah Islam. Maka dalam berbagai kesempatan ia
selalu melakukan upaya penyadaran kepada umat tentang kewajiban menegakkan
hukum-hukum Islam tanpa tindak kekerasan atau militer.

 

Makanya, Polri pun tidak bisa menunjukkan video ABB yang memberikan restu
tersebut, karena ABB tidak pernah datang ke tempat dimaksud Polri. Polri pun
meralatnya dengan menyatakan ABB memberikan restunya bukan di Aceh, tetapi
di Kantor JAT, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. ABB menonton video rekaman
pelatihan itu dan di situlah ia memberikan restu.

 

Tuduhan itu pun dibantah ABB. Achmad Michdan, pun menegaskan bahwa video
tersebut sebelum ditonton ABB, sudah beredar luas di tengah publik melalui
Youtube. Apakah semua orang yang menontonya akan dianggap terkait?Kan tidak.
Lantas mengapa ABB dianggap terkait? Polri pun beralasan karena ABB dianggap
memberikan restu.

 

Restu yang dimaksud Polri pun hanyalah kebohongan belaka karena dengan tegas
ABB menyatakan tidak setuju dengan adanya senjata api dalam pelatihan
tersebut.ABB pun memahami dalam Islam ada yang disebut dengan i'dad
(persiapan jihad). Tujuan dari i'dad tersebut adalah untuk melatih fisik
agar sehat dan kuat sehingga siap sedia untuk melawan setiap penzaliman
terhadap umat Islam di manapun. "Jadi tidak berarti pelatihan pisik itu
harus menggunakan senjata!" ujarnya menirukan argumen yang disampaikan ABB.

 

Makanya tidak aneh, saat ditanya hakim dalam persidangan Bom Bali I, Muklas
(salah satu terpidana mati Bom Bali I) mengatakan "kalau saya minta restu
Ust Abu jelas saya tidak akan diizinkan, karena saya tahu prinsip Ust Abu,
beliau tidak akan pernah setuju melakukan pengeboman."

 

Lantas dari mana senjata pada latihan militer di Aceh itu didapat dan siapa
yang menyuplainya? Tanya saja kepada Polri. Karena itu semua terkait erat,
minimal dengan tiga anggota Polri yakni Sofyan Tsauri, bekas anggota Sabhara
Polda Meto Jaya; Brigadir Satu Tatang Mulyadi; dan Brigadir Satu Abdi
Tunggal dari Satuan Logistik Bagian Gudang Senjatadi Markas Komando Brigadir
Mobil (Mako Brimob) Polri di Depok.

 

Sofyanlah yang mengajak orang-orang untuk latihan militer menggunakan
senjata api asli. Sedangkan Tatang dan Abdi Tunggal yang menyediakannya.
Bahkan pada Maret 2009 latihan tersebut dilakukan di dalam Mako Brimob.

 

Menurut Mahendradatta, data tersebut dihimpun berdasarkan keterangan banyak
saksi yang pernah bertemu Sofyan Tsauri. Para saksi ini diajak latihan
militer itu bahkan diiming-imingi uang variatif, ada yang 100 juta, ada pula
yang 200juta. Jadi bocornya senjata itu dari Densus 88 sendiri. Sedangkan
pernyataan Polri yang menyebutkan Tatang dan Abdi Tunggal itu sudah
ditangkap, hanyalah pernyataan orang yang terdesak karena ketahuan akal
bulusnya.

"Kapan polisi ngomong sama mereka, tidak pernah. Karena kepepet saja jadi
ngomong, iya mereka sudah diproses," ujar Mahendradatta kepada mediaumat.com
di sela-sela buka puasa bersama tersebut.

 

Sebelum latihan militer itu, Sofyan Tsauri memperlihatkan kepada saksi telah
dipecat dari kepolisian karena  jihad. Jelas itu sangat mengada-ada. Kalau
ia dipecat karena hal lain bisa jadi. Tapi kalau karena jihad tentu saja ia
tidak boleh dipecat. Dalam hukum nasional tidak boleh ada pemecatan akibat
jihad.

 

Karena dengan demikian sudah jelas penantangan negara ini terhadap hukum
Islam, jadi tidak boleh seseorang itu, dipecat karena kepercayaannya, jihad
itu termasuk keyakinan agama.

"Jadi Sofyan Tsauri sudah kelihatan bohongnya!" apalagi setelah pemecatan
tersebut bisa bebas keluar masuk Mako Brimob dan melakukan pelatihan militer
di dalamnya dengan menggunakan senjata asli kepada orang-orang yang dituduh
teroris oleh Polri itu.

Kepada mediaumat.comAchmad Michdan pun menegaskan bahwa ABB tidak ada
hubungan sama sekali dan tidak tahu menahu dengan ketiga anggota Polri
tersebut. Bahkan adanya pelatihan militer bersenjata asli itu pun ABB tidak
tahu menahu.

 

Aliran Dana?

 

Terkait bukti kuat yang berupa dana yang dituduhkan Polri pun menunjukkan
keganjilan. Kalau buktinya kuat mengapa angkanya berubah-ubah dan cara
pemberiannya pun berubah. Awalnya dinyatakan ABB memberikan dana 1,2 milyar
melalui rekeningnya. Kemudian turun menjadi hampir satu milyar.

 

Namun ketika TPM membantah dengan mengatakan bahwa ABB itu tidak mempunyai
rekening karena ABB berkeyakinan bertransaksi melalui lembaga yang
menghalalkan riba itu haram, Polri pun merubah tuduhannya.

 

Kemudian Polri menuduhnya ABB memberikan uang kontan sebanyak 175 juta untuk
mendanai pelatihan militer tersebut. Lantas uang sebanyak itu dari mana? Dan
disimpan di mana? Karena ke mana-mana ABB tidak pernah membawa tas dan tidak
ada saku gamisnya yang dapat memuat uang sebanyak itu.

 

Karena menyadari hal itu tidak masuk akal, lantas tuduhan Polri pun berubah.
Kini dinyatakan bahwa ABB memberikan uang kontan sebanyak 5 juta untuk
mendanai pelatihan militer tersebut.

 

Lho, ABB itu bukan orang yang suka pergi atau berdiam sendirian. Dia selaku
amir ia selalu ditempel dan dikawal para santrinya. Coba Polri katakan di
mana, tanggal berapa dan jam berapa penyerahan itu dilakukan. "Nanti kita
tanya pengawalnya, mereka melihat tidak penyerahan uang sebanyak itu!" ujar
Mahendra. Jadi memang harus ada saksinya, jangan main tuduh sembarangan.

 

Mahendra pun merasa miris, mengapa Polri begitu bernafsu untuk menangkap
ABB. "Jadi mereka itu tadinya asal tangkep saja, kemudian ingin menjual ini
ke internasional, ternyata enggak laku, sekarang mereka kebingungan
sendiri," paparnya.

 

Ia pun menyatakan hal ini ini dilakukan sebenarnya untuk menutupi berbagai
kebohongan dan kebobrokan Polri atas berbagai kasus lainnya yang
terus-terusan disorot publik. Seperti kasus Susno Duadji, kasus mafia pajak,
perampokan, dll. "Itulah saya fikir, Polri sebagai suatu kelompok yang
terlalu banyak   melakukan rekayasa, sudah saatnya akan  kena batunya!"
pungkasnya.

(mediaumat.com, 26/8/2010)

 

 





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke