Oleh Husein Muhammad
Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Bale Rante, Cirebon
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/03/sorotan/2549123.htm
--------------------------------------------------------

Beberapa hari lalu saya hadir sebagai pembicara pada sebuah lokakarya
di sebuah pesantren di Jawa Tengah. Lokakarya ini membincangkan
masalah metodologi Bahtsul Masail yang selama ini dipraktikkan di
kalangan ulama Nahdlatul Ulama. Saya diminta mengkritisi Bahtsul
Masail dan bagaimana seharusnya metode yang lebih relevan dengan
konteks sosial baru.

Tema ini, menurut sejumlah kiai di sana, penting dikaji kembali
karena, meskipun metode Bahtsul Masail yang dihasilkan Musyawarah
Nasional Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung tahun 1992 sudah cukup
relevan, hal itu belum banyak dipraktikkan. Apalagi pada konteks
mutakhir terlihat kecenderungan sebagian ulama yang berpikiran mundur
bahkan mengarah pada wacana fundamentalistik, suatu yang tidak biasa
dalam NU.

Belum lagi soal istilah kitab mu'tabar dan ghair mu'tabar sampai hari
ini belum dirumuskan secara lebih jelas. Seorang peserta juga
mempertanyakan kembali soal kepemimpinan perempuan dan lebih khusus
lagi presiden perempuan yang masih menimbulkan kontroversi di
kalangan ulama NU.

Yang menarik adalah seorang ibu nyai terkemuka yang sudah cukup usia
mempertanyakan banyak hal tentang relasi jender yang dinilainya belum
adil. Ibu nyai ini mendesak para ulama memikirkan hukum yang adil
bagi perempuan.

Dan seperti sering saya lakukan, saya mengkritisi banyak hal tentang
metode Bahtsul Masail dan membela perempuan sambil mengajukan usulan
metodologi kontekstual.

RUU APP

Seusai berbicara dan beristirahat, seorang kiai muda menemui dan
menanyakan pendapat saya tentang Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang tengah ingar-bingar
dibicarakan masyarakat.

Setelah menjelaskan sedikit tentang substansi RUU yang masih ambigu
dan multitafsir, saya kemudian mengemukakan keputusan Muktamar NU
tentang perempuan menari. "Bagaimana hukum tari-tarian lenggak-
lenggok dan gerak lemah gemulai?" begitu pertanyaan yang diajukan
dalam Muktamar I di Surabaya, 21 Oktober 1926.

Forum Bahtsul Masail pada muktamar NU tersebut dalam jawabannya
mengatakan, "Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian hukumnya boleh
meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak
terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum lelaki dan gerak kelelaki-
lakian bagi kaum wanita. Bila terdapat gaya-gaya tersebut, maka
hukumnya haram." (Baca: Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas
Ulama NU himpunan KH Aziz Masyhuri, diterbitkan PPRMI dan Qultum
Media cetakan I 204.)

Sebagaimana tradisi NU, setiap keputusan selalu merujuk pada kitab
kuning (buku klasik abad pertengahan). Keputusan di atas juga mengacu
pada sejumlah kitab dan pendapat ulama di dalamnya. Fatwa tersebut
dirujuk dari kitab Al Ittihaf, syarh (komentar) kitab Ihya Ulumiddin
karya Imam al-Ghazali.

Di dalamnya disebutkan, para ulama berbeda pendapat mengenainya dalam
batas antara makruh dan mubah. Di antara ulama yang berpendapat
menari hukumnya makruh adalah Imam Qaffal, tokoh mazhab Syafi'i
aliran Khurrasani.

Adapun ulama yang menghukumi mubah antara lain Imam Haramain,
Ibnu 'Imad al Sahrawardi, dan Imam Rafi'i. Semuanya pengikut mazhab
Syafi'i aliran Iraqi. Imam Haramain mengatakan, "Al ruqash laisa bi
muharram fa innahu mujarrad harakaat 'ala istiqamah aw i'wijaj
(Menari tidaklah haram karena ia sekadar gerakan-gerakan tubuh yang
bisa tegak lurus bisa juga lenggak-lenggok)". Akan tetapi, beliau
segera memberi catatan, "Asal goyangannya tidak banyak
(keterlaluan)."

Nah, begitulah para ulama NU menjawab soal hukum menari. Saya tidak
tahu apakah keputusan ini masih berlaku hari ini atau sudah mansukh
(dibatalkan) oleh keputusan pada muktamar berikutnya.

Saya juga tidak tahu apakah lenggang-lenggok dan gerakan tubuh
perempuan yang gemulai termasuk dalam kategori erotika dan dengan
demikian termasuk pornoaksi? Saya tidak tahu sejauh mana goyangan
tersebut tidak banyak (keterlaluan).

Saya juga tidak tahu apakah menari seperti itu pada waktu
lampau "dinilai" para ulama, termasuk ulama NU, tidak menimbulkan
rangsangan dan hanya sekadar gerak seni?

Pengalaman di Cairo

Yang lebih menarik dari itu adalah pengalaman saya di Cairo, Mesir.
Tahun 1994 saya diundang mengikuti konferensi internasional tentang
kependudukan dan kesehatan reproduksi di sana. Konferensi yang dibuka
di universitas Islam tertua dan terkemuka Al Azhar itu diikuti
puluhan negara Islam yang diwakili ulama dan pakar kesehatan
terkemuka di negaranya masing-masing. Peserta dari Universitas Al
Azhar termasuk yang paling banyak.

Pada hari terakhir konferensi, seluruh peserta diajak panitia makan
malam ('asya) di atas kapal pesiar sambil mengarungi Sungai Nil yang
terkenal itu. Kami menyantap makan malam sambil memandangi indahnya
Nil di waktu malam dan diiringi musik Arab modern. Di tengah-tengah
kami makan, tiba-tiba muncul penari perempuan mengenakan
pakaian "sangat menarik" dan dengan perut terbuka. Tepuk tangan pun
menggelegar.

Sang penari melenggak-lenggokkan tubuhnya yang terbuka itu sambil
menyanyi dan berjalan-jalan mendekati atau mengajak penonton ikut
menari. Saya dan teman-teman Indonesia berbisik-bisik dan tertawa-
tawa kecil sambil melirik ke kanan ke kiri, melihat reaksi ulama Al
Azhar yang ikut bersama kami. Saya melihat mereka bersikap biasa-
biasa saja dan sepertinya menikmati tarian itu. Orang Mesir
menyebutnya al Ruqash al Syarqiyyah (Tarian Timur/Timur Tengah).

Tentu saja para ulama Al Azhar tidak mempersoalkannya karena tarian
itu merupakan seni yang sudah lama membudaya di Mesir dan tidak
menimbulkan bahaya apa-apa. Sementara saya sedikit gugup, lalu
keluar. Bukan apa-apa, saya takut dihampiri sang penari dan diajak
menari. Jadi, saya menikmati tarian itu di luar dan dari balik pintu
kaca.

Saya sendiri sering menyaksikan al Ruqash al Syarqiyyah melalui
televisi maupun langsung pada waktu orang Mesir mengadakan hajatan
pernikahan ketika saya berada di Cairo 23 tahun lalu.

Selesai makan malam kami pulang tanpa tebersit dalam pikiran kami
untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan mana pun.





Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke