rupanya gm bisa ASBUN juga ya. hl
---- From: Burhan Azis <mann...@hotmail.com> Subject: Kompromi kaum Adat dan Islam dlm sejarah Minangkabau To: "Latief Heriansyah" <herilat...@yahoo.com> Date: Monday, August 31, 2009, 9:26 PM From: Burhan Azis [mailto:abur...@planet.nl] Sent: 2009年8月25日 16:39 To: 'nasional-l...@yahoogroups.com' Subject: Kompromi Kaum Adat dan Islam di Sumbar Semua ytc, Tulisan Caping Goenawan Muhamad di Tempo Interaktif 24-08-2009 dibawah ini menarik. 1. Yang saya ketahui perumusan kompromi yang dituturkan turun temurun di masyarakat Minangkabau bukanlah “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”, melainkan “Adat basandi (bersendi) sarak, sarak basandi Kitabulah”. Perumusan “Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah” lahir dari suatu kompromi antara dua kubu filsafat yang berbeda. Sebelum agama Islam masuk ke Minagkabau, masyarakat Miangkabau mengatur kehidupan masyarakatnya berdasarkan adat Minangkabau. Dasar filsafah adat Miangkabau adalah “Nan satitiek(setitik) jadikan lauik (laut), nan sakapa(sekepal) jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru” (Lihat tulisan Mr. Nasroen). Singkatnya dasar adat Miangkabau adalah hukum alam yang terhampar dalam setiap segi kehidupan kita. Sedangkan agama Islam yang mendasarkan ajarannya kepada kitab Alquran sebagai petunjuk Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pertentangan keduanya telah meahirkan persengketaan yang mendalam antara kaum adat dan kaum agama. Setelah melalui peperangan dan tindakan kekerasan, akhirnya para yang bersengketa mencari solusi damai dengan rumusan “Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah. Ini adalah contoh win-win solution. Kaum adat tidak perlu mengubah ajarannya, demikian juga dengan kaum agama. Mengapa ? Menurut ajaran agama Islam, alam terkembang adalah ciptaan Tuhan. Adat Minangkabau menjadikan alam terkembang sebagai dasar perumusan hukum-hukum adat. Dengan demikian tidak seharusnya dipertentangan antara hukum adat dengan hukum Islam, Karena kedua-duanya berasal dari ciptaan Tuhan. Maka lahirlah perdamaian antara kaum agama dengan kaum adat berdasarkan rumusan : “adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabulah”. 2. “kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah.” Kompromi ini lahir bukan karena kerajaan Pagaruyung, melainkan seperti yang saya jelaskan diatas sebagai win-win solution antara kaum adat dan kaum agama. Maka ia bukanlah mitos, juga bukanlah “sesuatu Entah”, sesuatu yang diragukan yang ada bersama sejarah. Ia nyata dan merupakan sesuatu kearifan manusia dalam mencari kedamaian dan menghindari pertentangan dengan win-win solution. Kedua pihak tidak ada yang merasa kalah maupun menang. Yang menang adalah seluruh masyarakat Minangkabau yang terhindar kehancuran akibat pertentangan antara ajaran adat dan ajaran agama Islam. Burhan Azis From: nasional-l...@yahoogroups.com [mailto:nasional-l...@yahoogroups.com] On Behalf Of Akhmad Asaad Sent: 2009年8月24日 16:30 To: a...@cbn.net.id; bon...@globaljust.org; Fed Ser Petani Indonesia; FPK; GSBI; i...@cbn.net.id; Jurnal perempuan; nasional-l...@yahoogroups.com; pp...@indoset.net.id; prppu...@yahoo.com; sastra-pembeba...@yahoogroups.com; serikat.tani.nasio...@gmail.com Cc: Buruh Migran; c...@yahoogroups.com; faridga...@yahoo.com; hk...@yahoogroups.com; koran-sas...@yahoogroups.com; mediac...@yahoogroups.com; pet...@indosat.id; reda...@gusdur.net; reda...@islamlib.com; teamkri...@hotmail.com; W Witular; wahana-n...@yahoogroups.com Subject: [nasional-list] Fw: Goenawan Mohamad - Padri --- On Mon, 24/8/09, B.DORPI P. <bdo...@indopetroleum.com> wrote: From: B.DORPI P. <bdo...@indopetroleum.com> Subject: Re.: Goenawan Mohamad - Padri To: "!B. DORPI P." <bdo...@indopetroleum.com> Date: Monday, 24 August, 2009, 4:36 AM http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2009/08/24/mbm.20090824.CTP131207.id.html Senin, 24 Agustus 2009 Padri Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemukan kerajaan Pagaruyung. Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648 ia tak pernah lagi diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah kerajaan dongeng, berlanjut sampai hari ini. Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun. Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles mampu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi sejarah, mungkin melalui “a feat of archeological alchemy”. Maka lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung. Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa saja yang “India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan Hindu-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam. Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang yang tak membangun apa-apa. Apalagi Islam, bagi Raffles, adalah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia. Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham. Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu. Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar. Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan barus habis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat? Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dikehendaki kaum Padri. Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs -- yang dipuji Sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku terbaik tentang Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir – menampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini. Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya. Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bagaimana pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih. Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepada adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, administratior Belanda mencatat bagaimana masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”. Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri – juga seandainya perang Padri diteruskan. Paguruyung tersisa atau tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah. Goenawan Mohamad [Non-text portions of this message have been removed]