yang tersurat dan yang tersirat: cara berfikir bisa berbeda, tujuan sama, 
melawan penindasan!
   
  salam, heri latief
  amsterdam, 6 agustus 2007

BISAI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  To: "AKSARA SASTRA" <[EMAIL PROTECTED]>, <[EMAIL PROTECTED]>,
<[EMAIL PROTECTED]>,
"SASTRA PEMBEBASAN" <[EMAIL PROTECTED]>
From: "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Fri, 5 Jan 2007 23:57:02 +0100
Subject: #sastra-pembebasan# Re: {Spam?} [HKSIS] Kesan membaca nuku 
Alhamdulillah - Asahan Aidit

        Terima kasih bung Putu Oka.
Harapan saya agar bung memberikan komentar sebebas bebasnya tanpa beban atau 
keseganan apapun, telah bung penuhi dan juga saya merasa telah terpenuhi. Saya 
jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh seorang krtikus sastra bangsa 
Rusia (abad ke 19) Dobroliubov, seorang demokrat klassik Rusia, dia bilang: 
"Tidak penting apa yang ingin kau(penulis) bilang, yang terpenting apa yang 
telah kau tulis (tertulis)". Bila setuju, (saya pribadi tidak sepenuhnya 
sependapat dengan Dobroliubov) , maka itulah semua yang telah saya bilang atau 
tulis. Tapi tidak sekedar cuma apa yang telah tertulis seperti adanya, mungkin 
saja masih ada yang belum tersirat dan tersurat sebagai sesuatu yang juga 
penting. Dan di sinilah masaalahnya bisa menjadi rumit karna sebuah karya tulis 
telah lahir tapi sang penulis masih mungkin kececeran di sana sini oleh 
berbagai sebab luar dan dalam. Salah satu sifat manusia yang paling menonjol 
adalah pelupa dan pembuat kesalahan. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul
 dari bung Putu Oka Sukanta setelah membaca "Alhamdulillah" mungkin salah satu 
dari kececeran-kececeran sang penulis yang tak tersirat dalam tulisannya 
sedangkan maksudnya mungkin masih ada yang lain.
Saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan bung Putu Oka yang mungkin mampu 
saya jawab karena pertanyaan memang memerlukan jawaban.
Soal "kediktatoran proletariat"sebagaimana kita ketahui, menuai banyak kritik 
bukan hanya dari kalangan non Sosialisme tapi juga di kalangan kaum Sosialis 
sendiri setelah mendapat pengalaman yang cukup kaya dalam kehidupan bernegara 
sosialis selama hampir satu abad. Ini sesunggguhnya sebuah tema yang besar 
untuk didiskusikan dan tentu saja bukan maksud saya untuk mendiskusikan tema 
tsb dalam ruang sesempit ini. Saya menyentuh soal "kediktatoran 
proletariat"dalam sebuah roman atau yang saya maksudkan sebagai roman dan 
ditambah lagi dengan roman memoar. Saya merasa lebih leluasa "bicara 
politik"dalam sebuah roman karena saya bukan seorang politikus tapi yang merasa 
wajib mengetahui atau belajar politik meskipun bukan sebagai seorang politikus. 
Demikian pula ketika saya bicara soal "Politik adalah panglima", saya 
merasakannya enak dimasukkan ke dalam roman meskipun Tam, Nga, Svieta tidak 
saja ajak berdiskusi. Tapi soal "Diktator proletariat "belum saya anggap 
sebagai "bangkai
 busuk yang menjijikkan" apalagi hingga "mengundang hama penyakit yang perlu 
dijauhi secepat mungkin supaya tidak tertular". Saya hanya sedikit bergurau 
dengan keduanya meskipun keduanya telah banyak menimbulkan masaalah besar dan 
dramatis.
Meninggalkan Vietnam tidak dengan maksud mengahiri kekecewan karena kekecewaan, 
seperti akan tetap abadi. Tapi soal penderitaan memang masih banyak yang bisa 
diceritakan tapi ini tema terlalu umum, namun menceritakannya hingga mencapai 
kesamaan dengan "kerak neraka" barangkali belum saya lakukan.
Mengenai apa yang diidamkan si "Sulai" saya kira cukup jelas tertulis dan bisa 
ditemukan: dia ingin menjadi skenario dari hidupnya sendiri dan cukup jelas 
pernyataannya hingga sampai ia memutuskan untuk meninggalkan Vietnam. O, ya 
nama Sulai adalah nama fiksi protagonis yang dia jelaskan sejak ia menerima 
ijazah sekolah rendah yang namanya cuma SULAI tidak ada tambahan nama belakang. 
Dalam roman ini sebagian besar adalah nama fiksi atau nama roman dan hanya 
sebagian kecil yang bernama sungguh yang itu bisa dianggap nama memoar atau 
nama asli. Mengenai nama-nama fiksi dan nama asli ini tentu atas pertimbangan 
subyektif penulisnya meskipun tanpa meremehkan logika.
Soal beberapa ungkapan seperti : "menyambung nyawa"dan "mencuci maki"yang 
seharusnya "menyabung nyawa" dan" mencaci maki"adalah sepenuhnya kesalahan saya 
yang teledor dalam proses mengkoreksi kembali. Tapi mengenai soal "mencuci 
maki"di daerah saya (Belitung) memang kadang-kadang orang bilang
"mencuci maki" maksudnya adalah mencuci dengan makian atau dicuci dengan makian 
yang artinya mencaci secara amat berat.
Pemberian sub judul, adalah juga kesalahan saya yang tidak memberi tahu kepada 
para redaktur saya agar sub judul itu dihilanglan dan hanya diberi nomor dengan 
kepala-kepala judul yang masih perlu disebutkan dalam setiap bab. Saya kira 
mulanya hal itu akan dilakukan oleh para redaktur saya secara otomatis, karena 
sebagian besar (tidak semuanya) naskah itu sudah saya internetkan yang setiap 
kali diinternetkan selalu harus disebutkan sub judulnya agar pembaca internet 
mudah mengingatnya. Tapi ini bukan berarti saya menyalahkan para redaktur saya, 
karena hal itu memang saya sendiri yang harus melakukannya.
Bung Putu Oka Yang baik,
Terima kasih atas komentar bung yang jujur. Saya merasakan ketulus ikhlasan 
bung dalam memberikan pendapat yang justru itu yang saya harapkan dan saya 
sedikitpun tidak merasa tersinggung apalagi kecewa meskipun mungkin saja 
terdapat perbedaan penanggapan atau berpikir di antara kita. Dan bila itu 
terjadi maka adalah sangat wajar dan logis. Kita punya pengalaman yang berbeda 
dan juga di negeri yang berbeda meskipun satu bangsa. Tentang Sosialisme 
umpamanya. Saya berada dan hidup serta mendapat pendidikan Sosialisme selama 
hampir puluhan tahun. Sedangkan bagi yang tinggal di Indonesia, Sosialisme 
cumalah teori atau pengetahuan yang tidak langsung dialami seperti kami-kami 
yang pernah tinggal di negeri-negeri Sosialis.Kritik terhadap Sosialisme belum 
berarti telah memusuhi Sosialisme atau mengharamkan Sosialisme. Kita bisa 
berbeda dalam mengertikan Sosialisme dalam praktek kenegaraan di negeri-negeri 
Sosialis di waktu yang lalu. Tapi kita tetap satu dalam tujuan agung dan
 mulia kita, satu barisan dan satu tekad: melawan penindasan dan ketidak adilan 
yang hanya dengan cita-cita Sosialisme bisa diwujudkan. Sosialisme tidak akan 
pernah basi dan yang mungkin basi adalah cara pandang, cara melihat dan cara 
mempraktekkan dan bahkan cara mengkritik. Sosialisme butuh kritik agar dia bisa 
ujud terus dan tidak mandek dan mati. Dan cara mengkritik akan selalu berbeda, 
abadi berbeda. Kita ambil sarinya sebagai tujuan kita bersama.
Salam sehangat-hangatnya dan sekali lagi terima kasih.
asahan,
Hoofddorp,
512007

----- Original Message ----- 
From: Putu Oka 
To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, January 05, 2007 9:37 AM
Subject: {Spam?} [HKSIS] Kesan membaca nuku Alhamdulillah - Asahan Aidit

ALHAMDULILLAH oleh Asahan Aidit.

Kesan pembaca, Putu Oka Sukanta.

Saya menggarisbawahi kata kesan pembaca, karena tulisan ini bukan resensi buku.

Sebuah hasil seni bagi saya yang penting adalah kesan yang ditimbulkannya. 
Bukan kemauan penulis atau penerbitnya. Karya seni sebagai sebuah kehidupan 
baru, ia akan berjalan kemana saja ia mau, tetapi terkadang ia bisa mati ketika 
baru lahir. Dibunuh oleh pengarangnya sendiri atau oleh kekuasaan yang tak 
elakkan. Kalau ia mampu menembus halangan ia akan terus mengembara mampir ke 
hati dan pikiran pembaca tanpa kendali. Dalam jaman pasar bebas, peran pers, 
media elektronik dan mafia distributor memang ikut membantunya atau 
membunuhnya. Tetapi karya yang mandul, yang malnutrisi memang tidak akan 
beranak pinak dan tidak akan hidup lama.

Estetika bagi saya tidak pernbah universal, tetapi ia kontekstual.

Buku Alhamdulillah, ditulis oleh seorang marxist abangan (hal 177), yang pernah 
dikirim oleh PKI atau pemerintah Indonesia belajar ke Uni Soviet sebelum 
tragedi kemanusiaan 65/66.. Sesudah tragedi tersebut, ia berlajar ilmu revolusi 
di Vietnam untuk membebaskan negerinya dari penghancuran oleh Orde Baru. Kawan 
Abang ini, juga sempat mampir ke RRT. Tetapi ia tidak betah di Vietnam. Ia 
terus menerus melontarkan kritik dan ketidak puasannya terhadap keadaan orang 
Indonesia (aktivis PKI?) yang tidak bisa pulang ke Indonesia dan kondisi 
Vietnam yang sosialis dipimpin oleh Partai Komunis. Slogan Politik adalah 
panglima, (219) Oto Kritik PKI, ajaran Mao atau dan Maoist tidak benar, ia 
dimusuhi di Vietnam karena dianggap Maoist. Bahkan Diktator proletariat yang 
pernah menjadi acuan bagi kaum Marxist, dikuliti sehingga sepertinya menjadi 
bangkai busuk yang menjijikkan, mengundang hama penyakit yang perlu dijauhi 
secepat mungkin supaya tidak tertular. 

Buku ini memperkaya wawasan pikiran saya tentang bangunan kejiwaan sebagian 
aktivis PKI yang diceritakannya, sesudah peristiwa tragedi 65/66 Terkesan 
bangunan kejiwaan itu begitu rapuh. Lalu dengan sendirinya muncul pertanyaan: 
apakah mungkin karena mereka dikarbit, atau dibangun dari bahan dasar yang 
memang kualitasnya rendah, atau bahan dasar yang salah. Sehingga ketika 
rumahnya diambrukkan oleh Suharto, muncul galau dalam hati, ketidak puasan dan 
tuduhan yang mengesankan semuanya salah, kecuali dirinya sendiri. Mencari 
kambing hitam, dimana ia berada. Saya tidak tahu apakah sebelum peristiwa tsb. 
bangunan kejiwaan mereka, solid, atau hanya tampak solid ? Pertanyaan juga 
muncul akibat kritik tajam terhadap sosialisme: Apakah teori sosialisme yang 
salah atau orang yang mengimplementasi teori dan ajaran sosialisme yang tidak 
mampu mengejawantahkan ajaran tersebut? Karena sebab-sebab atau faktor apa? 
Andaikata si Kawan Abang ini menukik menganalisa hal-hal tersebut dengan
 Tam, Nga, Svieta, Mang P, dan tante Annie, saya sebagai pembaca akan mendapat 
manfaat yang mendasar tentang perkemangan masyarakat.

Untuk mengakhiri kekecewaan dan penderitaan si kawan Abang yang sepertinya 
seolah sudah berada di kerak neraka, maka ia mengupayakan pergi ke negara 
kapitalis yang menjadi musuh bebuyutan sosialisme.Teman Vietnamnya bertanya 
"mengapa harus ke kapitalis? Si kawan Abang hanya menjawab pertanyaan itu 
dengan mengatakan,"...saya bukan takut kemiskinan, tetapi saya memang takut 
kalau harus menunggui kemiskinan selama hidup tanpa berdaya untuk bergerak 
mengatasi keadaan demikian." 

Saya bertanya sendiri, Apakah kader Partai dari negara lain tidak boleh atau 
tidak dibolehkan ikut membangun cita-cita sosialisme-nya di negera tempatnya 
bermukim. Apa begitu ? Lantas apa makna kata internasionalisme itu ?

"Di negeri kami tidak ada orang miskin yang tinggal di hotel, dapat makan 
minum, dapat pelayanan kesehatan, dapat jaminan keamanan oleh negera dan Partai 
tanpa bekerja dan berbuat sesuatu"

"..saya hanya tidak boleh melakukan apa yang saya ingin." ( hal.22)

Sebagai pembaca terus mencari di halaman-halaman berikutnya, apa sebenarnya 
yang diinginkan ? Tetapi tidak saya ketemukan. Apakah karena tidak bisa kawin 
dengan Nga, pacarnya yang kader partai? Dari pada menebak-nebak dan 
berprasangka yang bukan-bukan, kan lebih bagus mempertanyakannya. Buku ini 
banyak merangsang saya untuk bertanya. Tetapi sayang teman diskusi saya Joebaar 
Ajoeb sudah almarhum, sehingga belum menemukan teman diskusi yang sedemokratis 
dia.

Mengenai penggunaan nama Sulai, membingungkan saya. Bukankah penggunaan nama 
Sulai,(233) adalah nama yang dipakai sejak bersekolah universitasHamoi (1970), 
sebagai pengganti nama Vietnam ? Tapi mengapa nama ini juga dipanggilkan kepada 
si kawan Abang oleh kakak sulung ketika masih di Jakarta sebelum berangkat ke 
Soviet dan juga ketika bertemu di Peking?

Sebelum mengakhir tulisan saya , saya ingin bertanya kepada kawan Abang atau 
pembaca tulisan saya tentang istilah Politik adalah panglima. Yang benar apakah 
politik adalah panglima, atau politik sebagai panglima? Juga saya ingin 
bertanya: solidaritas anggota Partai Netherlands, apakah bisa dikatakan 
berdasarkan atas Politik sebagai panglima? Atau atas dasar belaskasihan, 
sodakoh, si kaya kepada si miskin?

Buku ini juga memberikan informasi akurat kepada saya perihalasal usul nama 
Dipa Nusantara Aidit 

Sebagai teks bahasa Indonesia, terkadang saya harus berhenti membaca sejenak 
untuk memahami kalimat-kalimat yang panjang, beranak pinak. Juga terhadap 
istilah, misalnya di hal 42, menyambung nyawa atau menyabung nyawa? Cuci maki 
atau caci maki (364). Pemberian sub judul, pada bab-bab tertentu saya tidak 
merasa terbantu olehnya untuk lebih memahami isi . Bahkan sering seperti 
kelilipan, ada debu di pelupuk mata. Editor terasa perlu bekerja lebih keras 
dan teliti sehingga bacaan ini menjadi lebih cair mengalir ke dalam sukma.

Untuk mengakhiri kesan saya sebagai pembaca, saya tutup dengan kutipan dari 
halaman 163: Kesadaran akan kerapuhan diri sendiri ini membuat saya mencari apa 
yang masih tertinggal dalam diri saya, sesuatu yang lebeih kenyal, lebih tahan 
sentuhan yang mungkin meskipun tidak terlihat tapi masih terasa ia ada pada 
diri saya, sesuatu yang diri saya, yang sesungguhnya, yang tak terlihat dengan 
mata kasar. Saya ingin melihat diri saya di dalam apa yang saya pikirkan, saya 
fantasikan, saya abadikan dan karenanya saya menulis yang barangkali tidak 
cepat saya temukan dalam satu kali tulis, mungkin harus berkali kali saya 
lakukan atau mungkin seumur hidup hingga saya menemukannya atau tidak pernah 
menemukannya. Hal itu penting untuk saya, karena saya memburu waktu sebelum 
saya yang rapuh ini sirna begitu saja. Saya masih ingin melihat diri saya, 
siapakah saya, bukan hanya bagaimana rasanya menjadi saya sendiri. 

BRAVO bung Asahan !!!**

Rawamangun 5 Januari 2007.

[Non-text portions of this message have been removed]



         


      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke