Menggali Pancasila Kembali 

Oleh Goenawan Mohamad
 
‘Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia 
hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’ --  Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 
1945.  
 
***
 
KITA hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib.  
Gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang ditawarkan oleh Marx dan Engels pernah 
meramalkan tercapainya ‘surga di bumi’, sebuah masyarakat di mana kapitalisme 
hilang dan kontradiksi tak ditemukan lagi. Tapi cita-cita itu terbentur dengan 
kenyataan yang keras di akhir dasawarsa ke-8 abad ke-20:  Uni Soviet dan RRC 
mengubah haluan, dengan menerima ‘jalan kapitalis’ yang semula dikecam.  
Sosialisme pun terpuruk: ternyata ‘ilmiah’ bukan berarti ‘tanpa salah’, 
ternyata Marxisme  sebuah gagasan yang akhirnya harus mengakui bahwa dunia tak 
akan pernah bebas dari kontradiksi. 
 
Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ mungkin satu-satunya yang masih 
percaya bahwa  kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum yang 
hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan 
sosial yang tanpa cacat.  
 
Dengan kata lain, para penganjur ‘Negara Islam’ adalah penggagas yang tak 
membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 abad – sebuah 
sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti,  sebuah sejarah ide dan 
rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah 
yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan.
 
Para penganjur ide ‘Negara Islam’ lupa bahwa agama selamanya menjanjikan 
kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada 
kelak yang ‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak 
mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah 
‘Negara Islam’ yang mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan 
persoalan:  bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? 
 
Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. 
Ketidak-sempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan 
saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya. 
 
Di tahun 1992 Francis Fukuyama mengatakan kita berada di ‘akhir sejarah’. Tapi 
ia tak mengatakan bahwa hidup tak akan lagi dirundung cela. Memang ia merayakan 
kemenangan ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal yang kini tampak di banyak 
sudut. Ia ingin menunjukkan bahwa pandangan alternatif yang yakin untuk 
menggantikan kapitalisme dan demokrasi liberal telah kehilangan daya pikat; 
ideologi telah berakhir, seperti telah dikatakan Raymond Aron di tahun 1955 dan 
Daniel Bell di tahun 1960. Orang terdorong untuk jadi pragmatis. Tapi ada yang 
harus dibayar. 
 
‘Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang amat sedih’,  tulis 
Fukuyama. ‘Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi 
sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang 
menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh 
perhitungan ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan 
konsumen yang kian canggih’. 
 
Fukuyama tak sepenuhnya betul. Kini masih ada orang-orang yang terbakar oleh 
‘kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita’; kita 
mengetahuinya  tiap kali ada seseorang yang meledakkan tubuhnya sebagai alat 
pembunuh musuh.  
 
Bahkan dalam sebuah proses politik yang ‘normal’,  tak semua hal digantikan 
oleh ‘perhitungan ekonomis’ dan ‘pemuasan permintaan konsumen’.  Tapi apa yang 
betul dan tak betul dalam kesimpulan Fukuyama  tetap menunjukkan kesadaran 
zaman ini: nasib manusia adalah ketidak-sempurnaan.

***  
 
SAYA teringat akan Pancasila.  Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, 
perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang 
dunia dan kehidupan,  ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke 
seberang.  Sebab itu, jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang 
terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi --  yang 
bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi pelbagai hal 
yang saling bertentangan yang dihadapi Indonesia. 
 
Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung itu. Sebuah 
pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (Bung Karno 
menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa adalah 
sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan 
untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna – sebuah 
kecenderungan yang makin mengeras di masa ‘Orde Baru’, yang menganggap 
Pancasila itu ‘sakti’.
 
Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah.  Tapi timbul persoalan: bagaimana 
pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan 
Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’?  Kata Bung Karno, 
tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang 
‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak 
ada sebuah negara yang dinamis  ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.
 
Ketika Bung Karno menyebut kalimat ini, ketika ia mengakui bahwa sebuah negara 
mau tak mau mengandung ‘perjuangan sehebat-hebatnya’ di dalam persoalan 
‘faham’, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin membuat tenteram kalangan politik 
Islam.  Ia menganjurkan agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara 
yang ‘satu buat semua, semua buat satu’.  Ia menolak ‘egoisme-agama’. 
 
Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: bisa saja suatu saat nanti 
hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan 
Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan 
rakyat’.
 
Di sini tampak, perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar 
dan sah. Tapi dengan demikian, Weltanchauung yang dirumuskan sebenarnya bukan 
fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, hingga meniadakan kemungkinan 
satu ‘faham’ menerobosnya dan mengambil-alih posisi ‘filsafat dasar’ itu.  
Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ‘sakti’.    

***
    
PANCASILA justru berarti, karena ia tidak ‘sakti’. 
 
Ada tiga kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima ‘prinsip’ itu.  
Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat.  Yang kedua, 
membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa. 
Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.
 
‘Orde Baru’ telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil-alih Sita 
selama bertahun-tahun.   Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, 
tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang 
banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ‘Orde Baru’ runtuh, 
seakan-akan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan 
sang Rahwana.  
 
Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil – sama tak benar dan tak 
adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan 
kesuciannya.
Kini kita membutuhkan Pancasila kembali, tapi tak seperti Rama menerima Sita 
pulang: kita tak perlu mempersoalkan ‘kesucian’, apalagi ‘kesaktian’-nya.  Kini 
kita membutuhkan Pancasila kembali justru karena ia merupakan rumusan yang 
ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang bergulat melintasi lumpur untuk 
dengan selamat  mencapai persatuan dalam perbedaan.  Pidato Bung Karno dengan 
ekpresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan: penuh semangat tapi 
juga tak bebas dari rasa cemas. 
 
Dengan kata lain, kita membutuhkan Pancasila kembali untuk mengukuhkan, bahwa 
kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap yang manusiawi – 
yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat.  
 
Para pembela ide ‘Negara Islam’ gemar mengatakan, mereka lebih baik memilih 
dasar Islam karena Islam datang dari Allah, sedang Pancasila itu bikinan 
manusia. Tapi justru karena Pancasila adalah bagian dari ikhtiar manusia, ia 
tak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengan demikian ia adalah cerminan dan 
juga cahaya dari dalam sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya 
mengandung ‘kurang’, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’.
 
Sebab itu tepat sekali ketika Bung Karno menggunakan kiasan ‘menggali’ dalam 
merumuskan Pancasila.  ‘Menggali’ melibatkan bumi dan tubuh. Pancasila lahir 
dari jerih payah sejarah, dan – seperti halnya hasil bumi --  menawarkan 
sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Ia tak ‘ready-for-use’. Ia tak 
menampik tafsir yang kreatif. Ia membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, 
sebab tiap doktrin akan digugat perkembangan sejarah – dan sebab itu Bung Karno 
mengakui: tak ada teori revolusi yang ‘ready-for-use’. 
 
Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang 
tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: 
 bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan 
Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan 
Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila 
kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan 
begitulah seterusnya.  
 
Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan melahirkan kesewenang-wenangan. Juga tak akan 
berhasil.  Hidup begitu pelik. Masyarakat selalu merupakan bangunan dalam 
proses, hingga politik, dengan segala cacatnya, merupakan hal yang tak bisa 
dielakkan – bahkan tak bisa dihabisi oleh 100 tahun kekerasan.
 
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan 
bahasa untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam sikap 
sewenang-wenang yang juga pongah:  sikap mereka yang merasa mewakili suara 
Tuhan dan suara Islam, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu 
datang ke tangan mereka; sikap mereka yang terbakar oleh ‘egoisme-agama’ dan 
menafikan cita-cita Indonesia yang penting, agar tiap manusia Indonesia 
‘bertuhan Tuhannya sendiri’ – hingga agama tak dipaksakan, dan para penganut 
tak bersembunyi dalam kemunafikan.
 
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka 
yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan 
dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, 
Konghucu, ataupun atheis --  perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.
 
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus 
menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka’. 
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena tak akan ada yang bisa sepenuhnya 
meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar dan Maha 
Besar dan bisa menafikan ketidak-sempurnaan nasib manusia.
 
***

Jakarta, 11 September 2005. 


Ungkapkan opini Anda di: 

http://mediacare.blogspot.com

http://indonesiana.multiply.com
                
---------------------------------
Yahoo! for Good
 Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke