Ibarruri Putri Alam
   
  Oleh Suar Suroso
  
Hasta Mitra berjasa lagi dengan menerbitkan buku Ibarruri Putri Alam—Putri 
Sulung D.N.Aidit. Dan Pak Joesoef Ishak serta Goenawan Mohamad menambah bobot 
buku ini dengan memberi Kata-Kata Pengantar.
   
  Iba menulis otobiografinya secara ”apa adanya”. Yang dipaparkannya adalah 
kisah hidupnya selama rentang waktu paruh kedua abad ke-XX dan tahun-tahun 
pertama abad ke-XXI. Saya terharu dan kagum akan penulisan Iba yang berdasarkan 
ingatannya itu. Sebab, sosok-sosok yang diungkapkannya adalah saya kenal secara 
pribadi. Mulai dari Bapa dan Ibunya, Paman-pamannya Murad suami isteri, Sobron 
suami isteri dan Asahan serta Akbar Mudigdio. Juga pribadi-pribadi lainnya 
seperti Bung Eska, Mbah Ramidjo, Bung Anwar Dharma, Pak Umar, Mas Bud (Budhiman 
Sudharsono), Warok, Eko Darminto, Tomas Sinuraya serta isteri, Drugov A.Y., 
Olga Cyecyotkina, Yakovliyev, komandan kompi wanita Birma A Miao, semua saya 
kenal baik. Dan peristiwa-peristiwa besar yang dilukiskannya, termasuk yang 
juga saya alami. Iba dan Ilya saya kenal semenjak mereka baru datang di Moskow.
   
  Masa hidup Iba yang dipaparkan dalam roman biografis itu adalah mulai dari 
usainya Perang Dunia ke-II. Berlanjut dengan gelora pancaroba susul menyusul 
menimpa dunia. Dunia dilanda Perang Dingin. Indonesia berlumuran darah dengan 
pembantaian atas kaum komunis dan Sukarnois, berlangsung penggulingan Bung 
Karno. Terpukulnya PKI di tanah air melahirkan kekisruhan dahsyat di kalangan 
komunis Indonesia di luar negeri. Berlangsung kontradiksi bahkan konflik antara 
Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis Tiongkok, kontradiksi paling hebat 
dalam sejarah gerakan komunis internasional. Vietnam dipanggang perang dengan 
seperempat juta pasukan Amerika dikerahkan membasmi komunis Vietnam. Tak kurang 
dari 23.000 pemuda Amerika korban dan lebih dari 2000 pesawat terbang AS musnah 
ditembak jatuh atau dihancurkan. Di Eropa, Tembok Berlin dirobohkan. Disusul 
bendera merah berpalu-arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. URSS 
lenyap dari peta politik dunia. Negara-negara sosialis
 Eropa Timur dan Tengah brantakan. Di Tiongkok bergelora Revolusi Besar 
Kebudayaan Proletar. Dalam masa yang penuh pergolakan inilah Iba hidup. 
Biografinya berselimut pencerminan suasana pergolakan ini. Iba bukan hanya 
pemantau pasif. Dia terlibat dan ikut merasakan akibatnya.
  Itulah keistimewaan roman biografis ini. Iba menulis ”apa adanya”. Tulisannya 
berbobot. Sebagai orang muda, romantikanya tidaklah cengeng. Tapi berbenang 
merah patriotisme. Cinta tanah air yang tak terbatas. Sekian dasawarsa 
terlunta-lunta di luar negeri, sampai akhirnya memegang paspor Perancis, tapi 
Iba tetap mengaku bangsa Indonesia, merindukan tanah air, kampung halaman 
tercinta. Iba merindukan budaya bangsanya. Secara pengenalannya, Iba 
membandingkan peradaban Jawa, peradaban bangsanya dengan peradaban Barat. 
Kesempatan Iba mengenal Budhisme tidaklah melenyapkan pandangan materialisme 
yang dianutnya. Ini dibuktikan dengan analisanya terhadap keadaan sekarang dan 
masa depan Indonesia. Dengan tajam dan penuh perasaan Iba menulis: bangsa kita 
”bangsa yang begitu ramah, jenaka, murah senyum dan lapang dada, berhati 
lembut, dan yang kadang bersifat lugu, tapi cukup cerdas, berjiwa kreatif dan 
berani. Oh, bangsa yang pernah memiliki jiwa besar penakluk samudra, yang pernah
 dengan bangga memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia serta berani 
membelanya sampai titik darah penghabisan. Aku tak percaya bangsa sedemikian 
ini akan terus-menerus membiarkan dirinya dihimpit beban-beban masa lalu, 
membiarkan bathinnya terkoyak-koyak.”
   
  Optimisme Iba tak hanya menyangkut masa depan bangsanya, Indonesia. Terhadap 
generasi muda yang sudah menjadi korban pembodohan jahiliyah yang dibina rezim 
orba, Iba mencatat bahwa betapapun mereka selama ini dikungkung, tetap 
mencari-cari ilmu pegangan demi perobahan sosial di Indonesia. Generasi muda 
Indonesia akan tampil dan maju membela Indonesia.
   
  Membantah tuduhan bahwa PKI atheis, anti Tuhan dan anti agama, Iba menulis:
  Orang-orang PKI, sepengetahuanku, terlalu sibuk, terlalu banyak urusan: 
melawan nekolim, memperjuangkan pembebasan Irian Jaya, melaksanakan  
UUPA/UUPBH, melakukan pendidikan dari mulai pembrantasan buta-huruf sampai 
membangun Universitas Rakyat, membangun penerbitan buku-buku marxis yang 
dianggap sangat kurang, urusan menyelenggarakan koran partai, masih harus 
melakukan pekerjaan sampai ke bawah-bawah dari mengurusi kehidupan sampai 
masalah kesehatan, olahraga, dari peningkatan produksi sampai kenaikan gaji (di 
kalangan kaum tani, buruh, nelayan) mengangkat dan mengembangkan kebudayaan 
serta kesenian rakyat...  Kalau kita sekarang melihat dan membaca barang-barang 
 langka seperti dokumen-dokumen PKI ketika itu, pidato-pidato wakil-wakil 
partai di kongres-kongres partai, musuhnya PKI itu memang tidak sedikit, bahkan 
mungkin memang terlalu banyak. PKI ketika itu adalah sebuah partai politik yang 
sangat galak, semua mau "diganyang"; olde-lah, nekolim-lah, Belanda-lah yang
 masih bercokol di Irian Jaya, Tengku Abdurrahman-lah yang menjadi antek 
nekolim, kapiotalis birokrat yang mencaplok hasil nasionalisasi yang dilakukan 
kaum buruh, OKB-OKB-lah (orang kaya baru), tuantanah yang anti-manipolis, 
tengkulak-lah, lintah darat, tukang ijon, bahkan sampai ke tikus-tikus dan 
hama-hama di pedesaan mau diganyang¡­. Tapi dalam "keserbagalakannya" itu, 
tunjukkanlah satu saja ucapan pemimpin PKI atau satu saja dokumen PKI yang mau 
"mengganyang" atau katakanlah mencela agama atau Tuhan.
   
Iba tak ragu-ragu mengungkapkan segi-segi gelap sejarah Uni Sovyet. Walau pun 
itu bersumber dari mulut orang yang anti-Sovyet. Juga tak ragu-ragu memaparkan 
suka-duka dalam kehidupan selama di Uni Sovyet, termasuk sikap-sikap tak 
bersahabat dari sementara pejabat PKUS terhadap PKI. Tak ragu-ragu bahkan 
dengan tajam memaparkan suka-duka dalam kekisruhan yang menimpa orang-orang 
komunis Indonesia di luar negeri. 
  Sebaliknya, Iba mengangkat pujiannya terhadap sikap ramah dan bersahabat 
pemimpin-pemimpin Tiongkok terhadap PKI. Iba melukiskan sambutan hangat berupa 
undangan makan dari Deng Yingzhao isteri PM Zhou Enlai, pertemuan dengan Mao 
Zedong, juga dimuatnya sajak Mao Zedong, menyatakan belasungkawa atas wafatnya 
D.N. Aidit berjudul: Belasungkawa buat Kawan Aidit, Pejuang Komunisme 
Internasional. Iba kagum akan kemajuan ilmu kedokteran Tiongkok.
   
  Tak ada gading yang tak retak. Betapa pun baiknya isi roman biografis Iba 
ini, tentu juga ada kekurangannya. Sayang, Iba tak mengungkap segi-segi unggul 
kejayaan Uni Sovyet, dan sikap-sikap bersahabat rakyat Sovyet terhadap rakyat 
Indonesia yang semestinya juga dia kenal.
   
2 November 2006


      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 
---------------------------------
Sucker-punch spam with award-winning protection.
 Try the free Yahoo! Mail Beta.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke