http://www.korantempo.com/korantempo/2008/04/22/Opini/krn,20080422,61.id.html
   
  Selasa, 22 April 2008
  Opini  Kartini dan Islam  
  Nong Darol Mahmada   
Peneliti di Freedom Institute dan Pendiri Jaringan Islam Liberal 

Riwayat Kartini telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Tiap tahun 
di hari kelahirannya pasti bermunculan ulasan tentang tokoh ini dari pelbagai 
perspektif. Selain pribadinya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun 
merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Bayangkan, di 
usianya yang masih sangat muda, dia berhasil merumuskan dan mendeskripsikan 
persoalan-persoalan yang terjadi pada bangsanya dalam korespondensi dengan 
sahabat-sahabat penanya di Belanda. 

Kartini beruntung karena menguasai bahasa Belanda. Dengan menguasai bahasa ini 
Kartini terus-menerus mendiskusikan setiap pemikiran dan persoalannya dengan 
perempuan-perempuan Eropa yang banyak menginspirasikan hidupnya. Kartini adalah 
jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama 
menderita. Dan ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ikut andil 
dalam kebangkitan bangsa ini lewat goresan tangan dan kegelisahannya. 

Saya mencoba membahas percikan pemikiran keagamaan Kartini, khususnya soal 
Tuhan dan poligami. Sangat langka menemukan karya yang mengupas khusus soal ini 
karena selama ini Kartini lebih dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan atau 
kebangkitan nasional. Padahal, sebagai pribadi yang dilahirkan dari ibu yang 
keturunan kiai tapi dari rakyat biasa, pergulatan Kartini dengan tema-tema 
keislaman sangatlah menarik. Yang pernah mengulas secara khusus pemikiran 
keagamaan Kartini adalah Th. Sumartana (alm.) dalam buku yang berjudul Agama 
dan Iman Menurut Kartini. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya 
Panggil Aku Kartini Saja juga sedikit menyinggung konsep Kartini tentang Tuhan. 

Tentang Islam

Di tengah kesepian dalam pingitan, pandangan-pandangan Kartini tentang 
tema-tema keagamaan begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak 
taken for granted. Baginya, berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan 
pemikiran. Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari 
nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama, ia juga tak pernah 
diberikan kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki. Doktrin dan 
ritual diwariskan begitu saja. 

Walau begitu, jiwa pencarian Kartini tak pernah mati, "Tibalah waktunya jiwaku 
mulai bertanya: mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan itu begitu?'" 
Pergolakan Kartini tentang keislaman begitu dahsyat sehingga 'sesuatu' yang 
menurut dia tak dia pahami, dia tinggalkan. Dia lebih mengedepankan hal-hal 
yang masuk akal, hal yang bersifat substantif dibanding formalitas tapi tak dia 
mengerti. Kata Kartini, "Jadi kami putuskanlah untuk tidak berpuasa dan 
melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami 
pikir sekarang ini tak dapat kami kerjakan. Gelap--kami merasa kegelapan--tak 
seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti" (Surat, 
15 Agustus 1902, kepada E.C. Abendanon).

Sikap seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan agamanya. Bahkan proses 
pencarian ini semakin meneguhkan keyakinannya. Ia tetap menjadi Islam meski 
yang paling utama buat dia adalah kepercayaan pada Tuhan. Meski ia diperlakukan 
tidak adil karena posisinya sebagai perempuan, pandangan dia tentang Tuhan 
sangat positif. Kartini tak pernah menyalahkan Tuhan. Ia melakoninya sebagai 
sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif. 

Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga 
kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir 
menurut dia bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus-menerus tentang 
tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang 
terbaik. Ia terus-menerus berproses dan mencari. Maka, tak mengherankan, meski 
dia dikungkung, pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melalui 
tulisan-tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan di mata 
Kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir di dalam hati dan jiwa manusia. 

Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya 
Panggil Aku Kartini Saja, pandangan Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat 
realistis dibanding metafisik. Kata Kartini, "Tuhan kami adalah nurani, neraka 
dan surga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah 
yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang 
memberi kurnia."

Tentang Poligami

Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktek 
poligami merupakan hal yang lumrah. Kebiasaan dan adat istiadat yang hidup di 
kalangan masyarakat khususnya di kalangan priayi Jawa yang berkedudukan tinggi, 
memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum lelaki. Perempuan 
hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan 
itu pun malah menjadi puncak penderitaan perempuan. Karena, meskipun menjadi 
istri sah dari suaminya, para perempuan dituntut dan diharuskan untuk berbagi 
suaminya. 

Kartini melihat kenyataan tak adil ini dengan kegeraman, "Saya akan menyinggung 
kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. 
Celakalah mereka itu, yang menganggap egoisme lelaki semacam sesuatu yang sah 
dan adil!" Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini; ia tidak 
berkhayal, karena ia mengalami kepedihan akibat praktek yang menciptakan 
ketidakadilan ini di dalam keluarganya yang terjadi pada ibunya sendiri.

Ibu kandung Kartini yang bernama Ngasirah bukanlah raden ayu meski ia menjadi 
istri sah Bupati Sosroningrat, ayah Kartini. Meski menjadi istri sah dan telah 
melahirkan delapan anak, Ngasirah tak berhak tinggal di rumah utama dan tidak 
dianggap sebagai seorang ibu. Ia diperlakukan sebagai pembantu dan sekadar 
melahirkan anak. Ngasirah harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia 
berasal dari kalangan jelata, sementara ia dan saudara-saudaranya karena 
berasal dari benih bangsawan bapaknya harus dihormati dan disembah oleh ibu 
kandungnya sendiri. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka 
penderitaan yang dialami ibu kandungnya, bisa dibayangkan bagaimana perasaannya 
melihat keanehan kehidupan keluarganya. "Saya telah melihat neraka dari jarak 
dekat--malahan saya berada di dalamnya. Saya telah menyaksikan penderitaan, dan 
merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya, karena saya adalah anaknya." 

Perlawanan Kartini terhadap poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya 
membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang 
musuh besar yang sedang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan 
lawan yang amat bengis dan kuat yang didukung adat istiadat, bahkan juga 
dibenarkan oleh agamanya, Islam. Tulis Kartini, "Saya putus asa. Sebagai 
manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran 
raksasa itu, dan yang, aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam 
dan dihidupi oleh kebodohan perempuan sebagai korbannya! Aduh! Saya pikir 
mungkin pada suatu ketika nasib menimpa kepada saya suatu siksaan yang kejam 
yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! mulutku menjerit, hatiku menggemakan 
jeritan itu ribuan kali?"(Surat kepada Ny. Abendanon-Mandri tertanggal Agustus 
1902).

Tiga tahun kemudian setelah ia menulis itu, kejahatan besar yang selama ini ia 
lawan menimpa dirinya. Ia menikah dengan lelaki yang sudah memiliki tiga istri 
dan tujuh orang anak. Sebulan sebelum ia menikah, ia menulis surat kepada Ny. 
Abendanon bahwa ia merasa telah mati sia-sia. Secara fisik dan moral telah 
patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam 
perjuangannya, tak suatu pun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita 
telah runtuh oleh egoisme orang-orang karena dilandasi tradisi dan agamanya. 

Setelah menikah, Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahan 
dan protesnya terhadap kedudukan dan nasib perempuan Jawa, termasuk soal 
poligami. Tampaknya Kartini berusaha berdamai dengan keadaan yang dialaminya 
meski, menurut saya, usaha itu tak berhasil. Kartini tetaplah tak bisa 
berlangsung lama dalam kehidupan pernikahannya. Empat hari setelah melahirkan 
anaknya, ia meninggal, membawa cita-cita dan perjuangannya meski cita-cita dan 
perjuangannya itu tak akan pernah mati sampai detik ini. 

  
koran 

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke