http://www.christianpost.co.id/dbase.php?cat=editorial&id=145&divider_list=5|11|15&page=1

Kesadaran Politis Rakyat Pekerja




Friday, Jan. 23, 2009 Posted: 9:18:28AM PST   Melalui segala taktik dan 
strateginya, kapitalisme mampu tumbuh subur dalam sistem yang biasa disebut 
negara. Negara dalam konsep dialektiknya Hegel mengatakan bahwa negara adalah 
ungkapan roh obyektif dimana roh obyektif tersebut merupakan cerminan dari 
kehendak pikiran dan hasrat masing-masing individu (roh subyektif). Dengan 
demikian negara merupakan institusi yang paling paham atas kehendak para 
individu; rakyat tak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah negara, 
karena ia secara objektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara 
"subyektif" (Magnis Suseno, 1992).

Sebuah retorika yang sangat indah ketika gambaran sebuah sistem dicita-citakan 
untuk kepentingan luhur. Namun hal itu akan terwujud jika tinjauan historis 
pembentukan negara didasarkan dengan meniadakan segala bentuk kepentingan 
manusia untuk mendominasi manusia yang lain dan biasa kita kenal dengan 
aktivitas politik, tentulah negara baru bisa disebut merupakan roh objektif. 
Walaupun hari ini konteks tersebut memang tidak terjadi, sehingga menjadikan 
negara merupakan suatu alat untuk mengakuisisi kepentingan suatu kelompok. 
Sehingga akan memunculkan kelompok lain yang termarginalkan dan tertindas. 
Kontradiksi historis yang terjadi hampir tidak ada negara yang mampu memberikan 
jaminan kesejahteraan dan keadilan. Ideologi apapun yang dipakai oleh negara 
semodern atau sebesar apapun hampir tidak ada yang bisa melepaskan diri dari 
dosa penindasan. Entah apa yang terjadi?. Hari ini realitasnya kita sudah 
terjebak pada bangunan sistematis yang dinamakan negara. 

Melihat bangunan sistematis hari ini, negara kita sendiri seakan menggambarkan 
realitas sosial bahwa telah terjadi dominasi, mendominasi dan terdominasi. 
Dominasi dan mendominasi atau lebih tepatnya adalah hegemoni hari ini dilakukan 
oleh kaum pemodal yang memanfaatkan dan mendomplengi negara. Sudah jelas yang 
terdominasi adalah kelas proletar atau yang biasa disebut sebagai kaum pekerja. 
Kaum pemodal yang akrab disapa sebagai kelas borjuis dengan segala kelihaiannya 
untuk mengelola uang yang dikatakan pada peradaban modern adalah merupakan 
simbol dan kunci untuk mencapai kesejahteraan, menghegemoni dan mampu 
menciptakan sebuah tatanan rekayasa sosial baik dalam sisi budaya, politik dan 
hukum sampai memasuki ranah religi, hingga mampu membiaskan konteks tentang 
pemaknaan manusia itu sendiri. 

Negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat, kini dijadikan oleh 
rezim yang hari ini memimpin sebagai alat untuk mengkontrol masyarakat, agar 
tetap tunduk, diam dan mengikuti permainan rezim untuk mempertahankan, 
melindungi dan menyelamatkan kaum kapitalis. Jika ditinjau dari peran negara 
yang teramanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti negara tidak mampu 
untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal ini mungkin disebabkan 
karena ketidakpercayadirian dari negara untuk mengelola sumber daya alam dan 
kekayaannya yang ada di Republik Indonesia. 

Penindasan, pemarjinalan hingga hari ini akan tetap dan terus terjadi. Dan yang 
akan menjadi korban adalah rakyat yang tidak mempunyai perspektif politik 
negara apapun kecuali hanya ingin tetap untuk bertahan hidup. Maka penyelamatan 
dari golongan tersebut harus segera dilakukan. Karena hal tersebut merupakan 
kunci menciptakan peradaban yang lebih humanis.


Persatuan dan pembangunan watak kelas sosial

Dalam perkembangan kapitalisme modern hari ini, strategi yang dilakukan adalah 
pemecahan kelas sosial. Sehingga ketika terjadi perpecahan, otomatis 
solidaritas dan persatuan di antara satu kelompok kelas sosial menjadi hilang. 
Strategi inilah yang sangat mujarab untuk menanamkan dan memuluskan rekayasa 
sosial masyarakat untuk mendukung dan menjalankan arus kepentingan kaum 
kapitalis. Negara hanya dijadikan sebagai penghasil regulasi untuk 
didoktrinisasikan sebagai tata aturan main dalam menjalankan kehidupan. Hal 
tersebut semakin memperlengakap strategi pemecahan kelas sosial, dengan dalih 
jika tidak dijalankan maka otomatis eksistensi negara menjadi hilang. Sehingga 
banyak muncul jargon-jargon yang dilakukan oleh elit birokrasi, "Jika cinta 
terhadap tanah air maka jalankan, ikuti prosedural yang dipakai oleh negara, 
demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara."

Dalam dialektikanya Marx berpandangan bahwa negara tidak mengabdi kepada 
kepentingan masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan kelas-kelas sosial 
tertentu saja, menjadi suatu alat bagi klas dominan untuk mempertahankan 
kedudukan mereka (Magnis Suseno, 1991). Masih menurut filsuf ini bahwa 
perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi. Dengan demikian bidang 
ekonomi merupakan basic-structure, sedangkan dua dimensi kehidupan masyarakat 
lainya, institusi-institusi sosial, terutama negara dan bentuk-bentuk kesadaran 
sosial merupakan bangunan atas (super-structure). Sehingga hal tersebut 
mengelompokan kelas menjadi dua pondasi awal yaitu kelas borjuis atau pemodal 
dan kelas proletar atau pekerja.

Dari dua kelompok inilah tataran sistemik negara akan terbangun. Tergantung 
siapa yang paling kuat yang akan berkuasa dan menentukan sistem. Jika ditarik 
kontradiksinya, hegemoni borjuasi memang begitu kuat. Sebab mereka punya 
segala-galanya untuk mencapai tujuan mereka. Hal tersebut terjadi karena tidak 
ada kontrol dari kelas pekerja. Sebab kelas pekerja terjebak logika yang 
dipakai kaum borjuis. Kontradiksi di negara kita adalah bahwa tidak adanya 
persatuan di antara kelas pekerja. Bahkan banyak aktor sosial dari kelas 
pekerja justru menjadi penghisap bagi kelompoknya sendiri. Hal itu disebabkan 
karena kelompok borjuis akan senantiasa menginginkan terjadinya pergolakan 
horisontal. Sehingga tidak terjadi progresivitas pola pikir baik berpolitik dan 
analisis sosial terhadap lingkungan. Hal ini diperparah kelas pekerja di negara 
kita sulit mengakses pendidikan. Adapun pendidikan yang diterima adalah 
pendidikan yang sudah direkayasa oleh kaum borjuasi. Saat ini, langkah yang 
bisa dilakukan adalah membangunkan kembali kesadaran kelas. Sebab dengan 
persatuan kelas pekerja akan memberikan sebuah perlawanan untuk menciptakan 
keseimbangan agar sistem yang dibuat lebih bersifat humanis.

Berpolitik bagi rakyat pekerja 

Politik adalah kunci yang harus dipahami dan dilakukan oleh kelas pekerja. 
Sebab jika kita berkaca pada bangunan yang dinamakan negara, unsur politik 
tidak akan pernah bisa dilepaskan di dalamnya. Sebab tata aturan main dalam 
kehidupan bernegara dibuat berdasarkan unsur tersebut. Siapa melayani siapa? 
Itulah pertanyaan yang harus segera dipecahkan. Negara adalah organ kekuasaan 
kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah 
ciptaan "tata-tertib" yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan 
memoderasikan bentrokan antar kelas. Menurut pendapat politikus-politikus 
borjuis, tata-tertib adalah justru pendamaian kelas-kelas dan bukan penindasan 
atas kelas yang satu oleh kelas yang lain. Meredakan konflik berarti 
mendamaikan dan bukan merampas sarana dan metode-metode perjuangan tertentu 
dari kelas tertindas untuk menggulingkan kaum penindas. Kontradiksi riil adalah 
pembanyolan tentang pembuatan tata-tertib atau yang biasa disebut dengan 
undang-undang. Mayoritas undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak ada 
yang berpihak kepada rakyat. Justru undang-undang tersebut dibuat untuk 
menutupi kelemahan pemerintah dalam mensejahterakan kelompok masyarakat. Yang 
diakomodir dalam undang-undang tersebut hanyalah sekelompok pemilik modal yang 
berperan atau memliki hubungan kekerabatan dengan pemerintah.

Oleh: Ayub Dwi Anggoro 

* Penulis adalah anggota Serikat Berdaya Mahasiswa-Unpas Bandung, sekaligus 
anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

www.prakarsa-rakyat.org




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke