Hari Jumat ini, untuk ke sekian kalinya, aku jadi khatib di sebuah mesjid di 
kota kelahiranku. Aku bukan ustaz, apalagi ulama. Ilmu agamaku hanya sebatas 
apa yang aku dapat dari madrasah tsanawiyah dulu. Tapi berbagai kebetulan 
memaksaku jadi khatib.

Aku pertama kali jadi khatib saat kuliah. Ketika itu aku terlibat dalam 
organisasi yang menyelenggarakan kegiatan dakwah di kampus. Selain berdakwah di 
kampus kami juga membina anak-anak SMA. Salah satu kegiatan mereka adalah salat 
Jumat di sekolah. Nah, pada salat Jumat ini kami sebagai pembina diminta untuk 
memberi khutbah.

Itu sebenarnya hanya terjadi beberapa kali. Aku baru sering memberi khutbah 
saat aku sekolah di Jepang. Sejumlah mahasiswa muslim dari berbagai negara 
mengusahakan pinjaman ruangan dari kampus sebagai tempat salat. Bergiliran kami 
memberi khutbah. Aku termasuk yang diberi kepercayaan untuk itu.

Lama-lama aku menikmati ini. Menjadi khatib bagiku adalah sebuah kebebasan. 
Bebas dari kewajiban mendengar khutbah-khutbah yang menjemukan. Kalau tidak 
sedang bertugas sebagai khatib aku harus duduk di barisan jamaah. Mendengarkan 
khutbah yang tak memberi manfaat, memicu rasa kantuk.

Khatib-khatib laksana pita rekaman. Mengucap hal yang sama berulang-ulang. 
Hal-hal yang sering kali tak ada hubungannya dengan hidup kita. Ada khatib 
berkhutbah tentang satu hal, aku dengar dia waktu aku kecil. Kelak ketika aku 
sudah besar hal yang sama, nyaris sama persis hingga ke setiap titik komanya, 
diulang lagi.

Tak cuma itu. Khatib-khatib itu laksana robot. Mereka bicara tanpa cita rasa. 
Datar. Tanpa tekanan. Tanpa irama. Bunyinya tak beda dengan lenguhan kereta api 
kuno yang menempuh perjalanan panjang. Monoton, mengulang bunyi yang sama. Yang 
berdiri di mimbar itu tak tampak seperti manusia, yang dengan kasih sayang 
mengajak orang kepada kebaikan, atau meyakinkan orang tentang sesuatu yang baik.

Sebagai khatib, tentu aku tak perlu mendengar itu semua. Akulah yang didengar. 
Tak cuma soal bebas dari posisi sebagai pendengar, tentu. Jadi khatib adalah 
kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku berbeda dengan para kereta api tua itu. 
Aku tak membahas hal-hal yang sudah jamak dibahas khatib lain. Aku membahas 
hal-hal yang terjadi sehari-hari. Lalu aku beri makna, aku beri sentuhan, 
dengan sudut pandang kitab suci. Aku bahas keseharian manusia.

Dan aku punya retorika. Setidaknya aku sangka aku punya. Ketika berdiri di 
mimbar, aku adalah orang yang sedang bicara pada pendengarku. Aku tatap mata 
mereka. Aku sampaikan kata-kata, seakan aku sedang bicara kepada mereka satu 
per satu. Aku ajak mereka. Aku yakinkan.

Ternyata banyak yang menyukai khutbah-khutbahku. Ada yang mendatangiku usai 
salat untuk sekedar mengatakan, „Nice speech, brother.g Ada yang 
mengajakku berdiskusi lebih lanjut tentang apa yang sudah aku khutbahkan. 
Walhasil, aku diminta untuk sering berkhutbah, lebih sering dari yang lain.

Pulang ke tanah air ke kotaku, aku tetap seorang khatib. Abangku pengurus 
organisasi Islam, sekaligus pengurus mesjid di dekat rumahnya. Dia juga sering 
jadi khatib. Dia tahu aku juga biasa berkhutbah. Maka dia menyodorkan aku untuk 
khutbah di sana sini, di kota kami. Mulanya mengisi jadwal yang telah 
ditetapkan untuk dia sendiri. Lalu orang mulai mengenalku, dan memintaku untuk 
khutbah di mana-mana.

+++

Hari ini, entah untuk yang ke berapa kali, aku memberi khutbah. Sudah biasa. 
Tak ada kecanggungan, tak ada kegugupan. Aku mulai berkhutbah. Aku tak membaca 
teks. Menurutku itu menghalangi aku untuk menjaga kontak mata dengan hadirin. 
Kontak mata sangat penting dalam public speaking, begitu yang aku tahu.

Lalu pandangan mataku tertumbuk pada mata di wajah itu. Sebuah wajah yang 
biasa. Lelaki berumur sekitar lima puluh tahun. Perawakannya kecil. Tak ada 
ciri khas di wajahnya. Wajah orang kebanyakan. Sorot matanya juga biasa saja. 
Bulan sorot yang tajam. Menatapku penuh perhatian.

Tapi entah mengapa, wajah dan tatap mata yang biasa itu menyedot perhatianku. 
Tak pernah selama khutbah aku memberi perhatian khusus pada seorang pendengar. 
Tapi yang ini lain. Aku selalu menatap wajahnya, matanya. Entah kenapa. 
Pandangan matanya selalu mengundang aku untuk melihat, lagi, dan lagi. Meski 
dengan perasaan aneh, aku selesaikan tugasku memberi khutbah.

Satu dua minggu berikutnya aku kembali berkhutbah di sebuah mesjid lain, yang 
jaraknya cukup jauh dari mesjid tempat aku khutbah sebelumnya. Saat aku memberi 
salam kepada jamaah sebelum azan, mataku sudah tertumbuk pada wajah itu lagi. 
Aku agak sedikit heran. Aku tak menduga akan melihat wajah itu di sini. Tapi 
sadar dengan kenyataan bahwa kota kami tak begitu besar, aku menerimanya 
sebagai sebuah kebetulan.

Tapi kali ini wajah itu tak hanya menatapku. Saat pandangan kami bertemu, aku 
mendengar suara. Aku yakin dia yang berkata. Karena kata-kata itu hanya 
terdengar saat tatapan mata kami bertemu.

„Ittaqullah.....g

„Apa kau merasa pantas menyuruh orang lain?g

„Ittaqullah haqqa tuqaatihi.g

gApa takwa kamu sendiri sudah haq?g

Terkejut aku dengan suara itu. Menusuk. Tapi aku coba menguasai diri. Aku 
sedang melaksanakan tugas penting. Tak boleh ada sesuatu yang mengacaukan tugas 
itu. Untunglah, aku hanya mendengar dua kalimat itu. Setelah itu tak ada lagi. 
Aku selesaikan tugasku, meski dengan perasaan tak nyaman.

Usai salat Jumat suara itu sesekali menggiang di telingaku. Tapi aku anggap ini 
sebagai suara hatiku sendiri. Kadang aku memang membisiki diriku sendiri, agar 
senantiasa bercermin, apakah yang aku khutbahkan sudah aku laksanakan.

Kali berikutnya aku khutbah, aku lihat wajah itu lagi. Kali ini aku tak lagi 
menganggapnya kebetulan. Dan kali ini suara-suara itu lebih banyak. Lebih 
berani.

„Ittaqullah.g kataku memulai khutbah.

„Sadarkah kamu, di tempat apa kamu berdiri sekarang ini? Sadarkah kamu, 
siapa yang berdiri di situ pertama kali?g

Aku mulai kehilangan konsentrasi. Untung aku kebetulan membawa naskah khutbah. 
Sesuatu yang sebenarnya jarang aku lakukan. Kehilangan konsentrasi, aku 
putuskan untuk membaca saja naskah itu.

„Rasulullah. Itu mimbar rasul. Dia dulu yang pertama berdiri di situ.g

Aku sedang berkhutbah. Tidak. Aku sedang membaca sesuatu. Membacakan sesuatu. 
Hanya mulutku yang membaca. Fikiranku sama sekali tak sadar dengan apa yang 
sedang aku baca. Aku justru sedang dikhutbahi oleh sebuah sorot mata.

gYang berhak berdiri di situ mengkhutbahi orang lain adalah rasul Allah. Dan 
orang-orang yang serupa dengan dia. Yang benar-benar patuh pada Allah.g

„Kamu fikir ini mimbar pidato? Seminar? Atau panggung? Di mana kamu bisa 
memamerkan intelektualitasmu. Di mana kamu bisa memamerkan kemampuan oratormu. 
Di mana kamu fikir kamu bisa mempesona orang-orang.g

„Bukan. Ini adalah mimbar rasul.g

„Apa kamu merasa layak berdiri di mimbar rasul?g

Kalimat-kalimat senada itu terus bergema selama aku berdiri di mimbar. Aku 
berkeringat. Tanganku gemetar. Cepat-cepat aku akhiri khutbah. Lalu meminta 
pengurus mesjid untuk jadi imam. Tak sanggup aku mengimami salat.

Usai salat aku mencoba mencari pemilik wajah itu. Tapi sia-sia. Aku duduk di 
barisan terdepan. Tak mungkin aku bisa segera pergi seusai salat. Banyak orang 
yang masih berzikir di belakangku. Lagipula, biasanya aku harus sedikit 
berbincang dengan pengurus mesjid. Saat semua itu usai, lebih dari separuh 
hadirin sudah pulang. Pemilik wajah itu mestinya sudah pulang juga.

+++

Aku kembali ke Jepang. Ke kota tempat aku belajar dulu. Belum lama aku 
tinggalkan kota ini. Masih banyak teman yang dulu aku kenal, masih berada di 
situ. Dan tentu saja, mereka kembali memintaku memberi khutbah.

Aku agak takut sebenarnya. Sejak kejadian itu aku tak pernah berkhutbah lagi. 
Aku takut. Untungnya, kebetulan tak ada yang memintaku sampai aku berangkat ke 
Jepang. Tapi di sini, di tempat yang sangat jauh dari kotaku, apa yang aku 
takutkan? Tak mungkin dia ada di sini. Aku sanggupi permintaan temanku.

Tepat saat memberi salam, jantungku sejenak berhenti berdetak. Dia ada di sini! 
Di baris ke dua dari depan. Sangat dekat dengaku, karena ruang kecil tempat 
salat kami cuma bisa diisi empat baris. Dia duduk tak lebih dua meter dari 
tempat aku berdiri.

Kali ini dia tak menggangguku dengan suara-suara. Dia hanya menatapku seperti 
kala pertama kali aku melihatnya dulu. Tapi tetap saja dia mengganggu. 
Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini. Sebuah kebetulan yang mustahil!

Sengaja aku tak mengimami salat. Aku berdiri tepat di belakang imam. Dia ada di 
baris ke dua. Tepat di belakangku. Diapit oleh dua orang yang aku kenal. Satu 
orang Mesir, satu lagi orang Pakistan. Kali ini aku pasti bisa menangkapnya. 
Akan aku tanyai dia. Siapa dia sebenarnya.

Usai memberi salam di akhir salat, aku langsung menoleh ke belakang. Tapi dia 
tak ada di situ. Dua orang tadi, orang Mesir dan Pakistan, duduk berdampingan. 
Dia tak ada. Aku sungguh heran. Tidak. Aku takut.

Aku masih mencoba meyakinkan bahwa pandanganku tak salah. Aku tanya beberapa 
orang Indonesia yang kebetulan salat di barisan kedua. Siapa tahu mereka kenal 
orang ini. Tapi tak ada satupun yang mengiyakan kehadiran orang itu. Aku 
jelaskan bagaimana wajahnya, postur tubuhnya. Tapi tak seorangpun yang memberi 
kesaksian bahwa orang itu wujud di ruang salat Jumat tadi.

Itulah terakhir kali aku memberi khutbah.

http://berbual.com


Kirim email ke