*Kolom IBRAHIM ISA*

*Senin, 05 Oktober 2009*

------------------------------


*BANGSA INI HARUS MEMBEBASKAN DIRI*

*DARI KEADAAN SAKIT 'AMNESIA'*

*<Apresiasi Thdp Artikel BONNIE TRIYANA>*


Jurnalis, sejarawan muda BONNIE TRIYANA, menulis sebuah artikel yang 
bagus berjudul 'BANGSA YANG AMNESIA'. Maksudnya mengenai bangsa 
Indonesia kita ini. Tulisan itu kritis dan tajam. Analitis dan historian!


Sebagai *apresiasi* aku menulis kepada Bonnie Triyana. Dengan sedikit 
di-edit kembali apresiasiku jadinya sbb:


Tulisan Bonnie Triyana, berjudul 'Bangsa Yang Amnesia' bagus sekali! 
Maka sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Khususnya kaum muda. Oleh 
karena itu, aku publikasikannya di network dengan didahului oleh sebuah 
apresiasi, sbb:

Sungguh, -- tadinya aku tidak tau, apa artinya kata 'amnesia' itu. 
Diliat di kamus 'An English-Indonesian Dictionary', by John M Echols and 
Hassan Shadili, Cornell University Press, 1975. Di situ tertera -- 
'AMNESIA' terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah 'AMNESIA'. 
Masyaalah! Kamus Cornell University Press ini guyon apa gimana? Terpaksa 
dicari di 'KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA', Departemen P & K, terbitan 
Balai Pustaka, 1988. Nah, baru ada makna dari kata 'AMNESIA'. Tetapi, 
karena kata itu dicantumkan dalam kamus Indonesia, asumsinya ialah bahwa 
kata 'amnesia 'itu sudah diadoptasi jadi kata Indonesia. Cuma aku yang 
belum tau.

Menurut kamus tsb 'Amnesia' itu artinya 'hilangnya ingatan, terutama tt 
masa lalu, hal menjadi lupa tt apa yang terjadi sebelumnya'.

Kata 'amensia' ini memang sengaja kuangkat di sini, supaya kita tau 
persis apa maksudnya. Apa pula sangkut pautya dengan kasus 1965. Supaya 
tau betul, bahwa kata 'amnesia' itu maksudnya 'LUPA INGATAN'.

Nah, soalnya: Mengenai kasus sejarah 1965, TERISTIMEWA, menyangkut 
peristiwa persekusi, pembunuhan masal terhadap warga tak bersalah, dan 
kebiadaban yang terlibat di situ. APA BENAR mengenai kasus tsb orang 
jadi LUPA INGATAN? Janganl upa, baik selalu diingat, bahwa 'amnesia' itu 
adalah suatu keadaan sakit. Apa betul yang bersangkutan sakit?

Banyak disebut tentang 'SELEKTIF MEMORI'. Ada yang bilang 'ignorance'. 
Malah ada yang menyebutnya 'insomnia'. 'Insomnia' artinya 'tak bisa 
tidur'. Juga suatu penyakit. Mungkin dimaksudkan kalau orang mengingat 
kasus 'pembantaian masal 1965' lalu terjangkit penyakit 'insomnia' - 
Orang jadi tidak bisa tidur. Ini bisa terjadi bila itu menyangkut 
pelaku. Bisa juga menyangkut korban. Tapi, bila itu korban, orang bilang 
itu 'trauma'. Jelasnya lata 'trauma' artinya 'luka berat'. Atau 'keadaan 
jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat tekanan jiwa 
atau cedera jasmani, atau luka herat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Nyatanya ketika membicarakan peristiwa sejarah 'kasus persekusi dan 
pembantaian masal' sesudah terjadinya G30S, orang menggunakan kata-kata: 
'AMNESIA', 'SELEKTIF MEMORI', 'IGNORANCE', 'INSOMNIA', 'TRAUMA' dan 
mungkin ada kata lain lagi. Apakah sama pengertian kita tentang 
kata-kata tsb. Tampaknya masing-masing punya tafsiran sendiri. Atau 
tidak mengerti tapi pura-pura mengerti.

Baik juga melihat kasus pilot AS yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima 
menjelang berakhirnya Perang Pasifik. Ia kemfuisn jadi 'trauma' . Karena 
ia menjadi sadar, begitu kolosal penderitaan rakyat Jepang sampai turun 
temurun karena ledakan bom atom itu. Kondisinya kemudian berkembag. 
Pilot itu menjadi penderia sakit jiwa. Juga di kalangan korban 
Hisroshima-Nagasaki, tidak sedikit yang menderita 'trauma'. Tetapi bagi 
sang pilot, 'traumanya' itu jelas disebabkan hati nuraninya yang mulai 
bicara.

Namun begitu, aktivis-aktivis perdamaian Jepang, tiap tahun memperingati 
didropnya bom atom di atas kota Hirosyima dan Nagasaki. Meskipun ada 
yang trauma, peringatan berlangsung terus tiap tahun. Maksudnya mendidik 
rakyat dan seluruh dunia, tentang ganasnya peperangan lalu. Supaya 
jangan terulanglagi!

Tetapi di Indonesia, orang se-enaknya saja menggunakan kata 'trauma' 
bersangkutan dengan 'kasus 1965'. Disitu jelas ada maksud untuk 
'memeti-eskan kasus 1965'. Hendak menyembunyikan sesuatu yang busuk 
dimana yang bersangkutan sendiri terlibat sebagai pelaku dalam 
pelanggaran tsb. Bagi yang benar-benar 'trauma' memang hendak 
melupakannya, agar bebas dari kenang-kenangan horor.
Bagi pelaku, mereka seolah-olah 'trauma', menggunakan dalih untuk bebas 
dari tuntutan hukum. Mereka hendak mempertahankan situasi 'ketiadaan hukum'.

Sering sekali keadaan 'sakit' dijadikan dalih untuk menutupi suatu 
'sikap politik'. Sepert halnya mantan presiden Suharto yang setiap kali 
harus diopname di rumah sakit, begitu ada tanda perkara korupsinya akan 
disidangkan di pengadilan dimana ia harus hadir. * * *

*Bonnie Triyana: *
*Bangsa yang Amnesia -- *

*(Koran Tempo, 5 Oktober 2009)*

Bonnie Triyana, sejarawan alumnus Universitas Diponegoro, Semarang. 
Menulis skripsi pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di 
Purwodadi 1965-1969.

Beberapa saat setelah bebas dari Rutan Salemba pada 1977, wartawan 
senior Joesoef Isak dibawa berkeliling Jakarta oleh anak-anaknya. Mereka 
ingin menunjukkan perubahan Jakarta selama Joesoef berada di dalam 
penjara. "Lihat, Yah, sekarang Jakarta banyak gedung tinggi," kata 
Joesoef (almarhum) menirukan anaknya. Mendengar itu, Joesoef menjawab, 
"Persoalannya terletak siapa yang punya gedung-gedung itu dan apakah 
gunanya buat rakyat? Membangun gedung itu bukan perkara susah. Datangkan 
saja investor, perintah tentara untuk menjaga kepentingan mereka. Dalam 
sekejap, semua sudah jadi."

Tahun 1965, mengutip pendapat sejarawan Asvi Warman Adam, adalah tahun 
pembatas zaman. Setelah 1965, politik luar negeri berubah total. Dari 
non-blok menjadi pro-Barat, pengikut Amerika Serikat. Ekonomi berdikari 
berubah jadi ekonomi yang bergantung pada modal asing. Dalam bidang 
sosial-budaya juga terjadi perubahan sangat besar. Selain itu, menurut 
Asvi, pada masa lampau orang boleh mempersoalkan tanah, tapi pada masa 
Orde Baru penelitian tentang agraria hilang. Dalam bidang kebudayaan, 
sebelum 1965, kita bebas berpolemik. Sesudah 1965, budaya kita 
seolah-olah satu, menjadi monolitik. Pendeknya, pada masa Orde Baru cuma 
ada penyeragaman, sementara keberagaman cuma ilusi.

Pada era reformasi, secara perlahan gerbang kebebasan mulai dibuka. 
Namun, satu hal yang belum berubah adalah cara pandang sebagian 
masyarakat (dan penguasa) terhadap peristiwa G-30-S 1965 dan peristiwa 
pembunuhan massal jutaan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia 
pada kurun 1965-1969. Peristiwa G-30-S masih diwarnai perdebatan karena 
ada begitu banyak versi yang menyelubungi peristiwa itu, sementara fakta 
baru dan sahih mengenai siapa aktor utama di balik peristiwa itu belum 
juga ditemukan.

Sejarawan John Roosa dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal: G.30.S dan 
Kudeta Soeharto, mengatakan, tanpa informasi baru mengenai G-30-S, orang 
hanya dapat mengunyah ulang fakta-fakta yang sudah diketahui umum yang 
tidak memuaskan dan menambah spekulasi yang sudah demikian banyak. 
Kendati demikian, perdebatan masih saja menyoal siapa dalang pembunuhan 
jenderal dan sibuk menuduh tanpa dilengkapi bukti kuat, kecuali 
serangkaian asumsi yang nilai kebenarannya masih perlu dikaji lagi. 
Sementara itu, sebagian besar masyarakat (dan sebagian elite) telanjur 
percaya pada monoversi Orde Baru yang menjadikan PKI satu-satunya dalang.

Roosa berpendapat bahwa Orde Baru adalah rezim yang setia kepada sesuatu 
yang bukan peristiwa, melainkan kepada suatu fantasi yang dibuatnya 
sendiri. Sebuah "Kesetiaan kepada citra khayali (simulakrum)," tulis 
Roosa, mengutip filsuf Alain Badiou. Sehingga "kebenaran" dalam narasi 
versi Orde Baru diupayakan agar bisa menjadi seolah-olah menyerupai 
peristiwa yang sesungguhnya. Dan itulah yang selama bertahun-tahun 
disebarluaskan dan diajarkan kepada masyarakat secara berulang-ulang 
sampai pada titik kebohongan itu menjadi kebenaran yang tak bisa lagi 
digugat bahkan dipertanyakan.

Berbeda dengan peristiwa G-30-S yang selalu ramai dibahas pada tataran 
publik, peristiwa pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI jarang 
dibahas. Setelah Orde Baru tumbang, mulai ada pembahasan lebih luas 
mengenai hal ini. Puluhan judul buku, dari karya sejarawan, memoar, 
sampai kesaksian korban, terbit. Anehnya, ada beberapa pihak yang 
menganggap penerbitan buku-buku tersebut sebagai bagian dari upaya 
membangkitkan kembali ajaran komunisme di Indonesia. Beberapa kali 
terjadi peristiwa pembakaran buku, penyitaan buku, dan malah pada 2007 
Kejaksaan Agung RI melarang penggunaan buku pelajaran sejarah yang 
menuliskan G-30-S tanpa embel-embel PKI.

Selain pembakaran buku, para penulis sejarah yang memfokuskan 
penelitiannya pada soal peristiwa pembunuhan massal pun mendapat tuduhan 
sebagai "advokat PKI". Asvi Warman Adam, sejarawan yang getol mengungkap 
peristiwa ini, sempat dikirimi "surat peringatan" oleh sebuah organisasi 
antikomunis agar tidak lagi "membela PKI". Perlakuan itu menjadi kendala 
tersendiri bagi para peneliti yang memang beritikad melakukan penelitian 
serius untuk mengkaji tragedi yang disebut-sebut sebagai genosida 
terbesar seusai Perang Dunia II itu. Padahal seorang sejarawan yang 
menulis tentang sejarah kolonial bukan berarti pula ia pembela penjajahan.

Selain itu, mulai muncul anggapan pada beberapa kalangan yang mewajarkan 
terjadinya pembunuhan massal kaum komunis di Indonesia sebagai perlakuan 
setimpal atas dosa pemberontakan PKI yang dilakukan sejak 1926, 1948, 
sampai 1965. Pendapat itu jelas tidak berdasar dan ahistoris, karena 
setiap peristiwa memiliki latar belakang, dan pola-pola khusus 
kejadiannya tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Kecuali pola umum 
yang serupa, revolusi di Prancis pada 1789 dengan revolusi di Indonesia 
1945 punya jalan cerita yang berbeda.

Pendapat yang kurang berimbang itu didukung oleh anggapan bahwa hampir 
bisa dipastikan seorang anggota atau simpatisan PKI adalah ateis, 
anti-Tuhan dan agama. Dalam beberapa penelitian yang saya lakukan di 
Grobogan, ada seorang modin (petugas masjid) yang turut ditahan di Pulau 
Buru. Seorang guru Katolik dihajar sampai tewas oleh pihak antikomunis 
pada saat itu. Beberapa tahun lalu terbit memoar Dari Gontor ke Pulau 
Buru karya Haji Ahmadi Mustahal, seorang muslim taat yang juga ditahan 
di Pulau Buru. Tidak ada korelasi antara keimanan seseorang dan partai 
politik afiliasinya. Masih lekat dalam ingatan tentang video adegan 
mesum seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga bertugas menjadi 
ketua bidang kerohanian di partainya.

Sejarawan Baskara T. Wardaya mengatakan bahwa ingatan bangsa Indonesia 
selektif dan parsial. Ini akibat dari penyeragaman memori kolektif yang 
selalu mengacu pada keterangan resmi pemerintah. Hitam kata penguasa, 
(harus) hitam pula kata rakyat, itu yang terjadi pada masa Orde Baru. 
Berani tak membeo, hadiahnya hotel prodeo. Akibatnya, bangsa Indonesia 
jadi cepat lupa karena hegemoni ingatan terletak di tangan penguasa.

Sampai kini pengaruh kebiasaan dari zaman Orde Baru itu rupanya masih 
terasa. Ketika mencuat wacana mengadili mendiang mantan presiden 
Soeharto, beberapa elite mengatakan sebaiknya masa lalu dilupakan dan 
menatap masa depan. Jawaban itu pula yang didapat ketika ada gagasan 
mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di 
masa lalu. Berpikir masa depan tentu penting, tapi alangkah baiknya jika 
melaju ke masa depan tanpa dibebani masalah dari masa lalu.

Ketidakmampuan mengingat, kebiasaan mengabaikan, dan ketidakmauan untuk 
tetap bertanya menjadi penyebab kenapa ada begitu banyak persoalan yang 
tak terselesaikan dilupakan begitu saja. Kebiasaan untuk melupakan (dan 
mengabaikan) itu pada akhirnya menimbulkan sikap permisif terhadap 
reproduksi kesalahan yang pernah terjadi pada masa lalu di masa kini.

Walhasil, jangankan soal pembunuhan massal komunis tahun 1965-1969, 
pengungkapan pembunuhan Munir pun tak tuntas dan perlahan mulai 
terlupakan. Sampai detik ini tak satu pun orang (juga media massa) yang 
bertanya di mana koruptor Edi Tansil berada. Belum beres urusan Edi 
Tansil, Joko Tjandra menyusul kabur, menambah panjang daftar koruptor 
buron di negeri ini. Permasalahan itu hanyalah sekelumit dari begitu 
banyak kasus yang tak beres atau (sengaja) tidak dibereskan. Kalau sudah 
begini, masa depan seperti apa yang dapat diharapkan oleh rakyat 
Indonesia? * * *




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke