Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 22 Sept 2008

-----------------------------------------

*SELESAIKAN SOAL SEJARAH LEWAT ADMINISTRASI, Adalah -- MENIPU DIRI SENDIRI!*

*<Dengan Sewenang-wenang Mencabut Paspor WN Bukan Soal Administratif>*

Masalah masa lampau, yang tercatat atau terdokumentasi di pelbagai 
lembaga, seperti Arsip Nasional, perguruan tiggi, lembaga studi dan 
riset, perpustakaan musium-musium, di dokumentasi pelbagai media, dsb, 
-- last but not least di kamar-kamar dokumentasi intel tentara dan 
polisi -- terutama adalah pencatatan peristiwa-peristiwa yang terjadi 
pada suatu periode tertentu dalam sejarah suatu bangsa. Pencatatan fakta 
atau peristiwa sejarah, kapanpun merupakan dokumentasi, catatan dan 
warisan penting generasi sebelumya untuk dipelajari sebagai salah satu 
cara yang baik untuk memahami bangsa sendiri.



Dengan sendirinya catatan sejarah dibuat -- sekali-kali bukan untuk 
dipeti-eskan. Bukan dengan maksud untuk dirahasiakan, tidak dibuka atau 
dibaca kembali. Bahan-bahan dokumentasi tsb seyogianya digunakan sebagai 
bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin 
dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai 
hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bahan-bahan tsb, kapan saja, 
diperlukan dan berguna dipandang dari segi perkembangan ilmu. Tujuan 
penting a.l. ialah mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua 
itu demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai 
dirinya sendiri.



Sebagai contoh, ambillah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh 
tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Rawagede (1947), Jabar, pada 
periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. 
Ratusan orang-orangtua, perempuan dan anak-anak yang tak bersalah di 
desa itu, telah menjadi korban. Syukur alhamduillah, masih ada para 
peneliti dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah 
sejarah bangsa. Masih ada para korban yang dengan sabar menuntut dan 
memperdjuangkan keadilan! Menuntut keadilan terhadap nasib mereka di 
bawah kekejaman tentara Belanda yang melakukan kejahatan perang. Bila 
tidak ada uasaha tsb, maka peristiwa 'pembunuhan masal Rawagede', akan 
lenyap ditelan waktu, akan terlupakan samasekali. Menjadi jelaslah bahwa 
tidaklah benar memperlakukan masalah sejarah --- sebagai 'masa lampau 
yang 'traumatik', 'yang jangan diungkit-ungkit kembali demi tidak 
membuka kembali luka-luka lama'. Terhadap masalah sejarah tidak tepat 
bila menggunakan pandangan 'sudahlah, yang lalu biarkan lalu', 'let 
bygones be bygones'. 'Mari melihat kedepan' dsb, sikap yang demikian, 
selain tidak ilmiah, juga tidak jujur dan tidak adil terhadap korban.



* * *



Pelajaran yang ditimba dari pengalaman sejarah, lebih-lebih lagi amat 
berguna dan diperlukan bagi generasi muda. Agar mereka bisa menarik 
pelajaran dari masa lampau, dengan tujuan di masa depan menjadi lebih 
bijaksana. Pada setiap periode, pemahaman mengenai sejarah bangsa 
merupakan dasar penting bagi pendidikan dan pengokohan KESADARAN 
BERBANGSA, mencintai tanah air dan rakyat. Bagi memupuk patriotisme dan 
nasionalisme progresif. Juga untuk mencegah agar bangsa ini jangan 
sampai terjurumus ke dalam jurang nasionalisme sempit, chauvisime atau 
fikiran maupun kegiatan yang bertentangan dengan prinsip Bhinneka 
Tunggal Ika, sekularisme dan pluralisme positif.



Sama-sama diketahui bahwa pencatatan peristiwa sejarah itu tidak jarang, 
bahkan sering dilakukan sesuai pemahaman atau versi dan visi si 
pencatat. Maka tak luput dari subyektivisme. Pencatatan dilakukan 
menurut apa yang disaksikan dan dialami sendiri. Menurut ingatan, 
pilihan maupun apa yang dianggapnya benar-benar terjadi. Yang dianggap 
bukan rekayasa untuk tujuan kepentingan tertentu. Pencatatan yang 
dilakukan menurut ingatan juga bisa subyektif. Karena tidak jarang orang 
mengingat apa yang ingin diingatnya kembali. Dan 'lupa' terhadap apa 
yang tidak ingin dihapuskan dari ingatannya. Bisa juga disebabkan oleh 
latar belakang malapetaka yang menimpa diri, kesedihan dan peneritaan 
keluarga atau golongannya. Disebabkan oleh 'trauma'.



Setelah bangsa ini mengalami gerakan Reformasi yang menggelora pada 
tahun 1998, pencatatan dan penulisan sejarah, studi dan analisis, syukur 
alhamdulillah, tidak lagi menjadi monopoli penguasa, elite cendekiawan 
yang mengabdi penguasa, atau segolongan orang dalam masyarakat. Tetapi 
dilakukan oleh pelbagai lapisan masyarakat. Banyak dilakukan oleh 
kalangan lembaga studi dan riset maupun oleh para pakar dan ilmuwan, 
teristiemwa oleh generasi muda. Masing-masing menurut kemampuan dan 
kondisinya. Berbagai hasil pencatatan, penulisan dan studi sejarah, 
memberikan kesempatan yang baik sekali, yang belum pernah terjadi 
sebelumnya, bagi bangsa, khususnya bagi generasi muda, untuk berhadapan 
dengan bahan-bahan tsb, membaca, memikirkanya serta menarik 
kesimpulannya sendiri. Mengembangkan semangat berfikir berdikari, tak 
jemu dan tak khawatir bersusah payah dalam usaha mencari kebenaran dan 
keadilan melalui belajar dan pemahaman sejarah itu sendiri.



* * *



Dengan pandangan sejarah seperti diuraikan diatas, maka tak bisa 
dibenarkan kebijakan Menteri Menhuk Dan HAM, Andi Matalatta, 
bersangkutan dengan 'orang yang terhalang pulang', yang setelah terjadi 
Peristiwa 1965, oleh penguasa Orba paspornya dicabut dengan 
sewenang-wenang tanpa proses apapun.



Menteri Andi Matalatta menganggap seolah-olah masalah sejarah, dengan 
alasan 'orientasi ke depan' , soal pelanggaran undang-undang, hukum dan 
hak azasi menusia warganegara Indonesia, bisa dipecahkan, diselesaikan 
dengan acara adminstratif semata. Dengan pemberlakuan Undang-Undang 
Kewarganegaraa yang baru. Sikap Menteri, sikap pemerintah yang 
diwakilinya, bukankah itu suatu pecobaan untuk menyederhanakan suatu 
masalah yang tidak sederhana? Suatu pendekatan dan cara penyelesaian 
masalah yang menggunakan pandangan 'burung unta'. Seperti 'burung unta 
yang meyembunyikan kepalanya ke dalam pasir'. Karena dia sendiri tidak 
mau melihat kenyataan, maka dikiranya kenyataan itu tak ada.



Jelas, masalah pancabutan paspor warganegara yang tak melakukan 
pelanggaran hukum apapun, yang kebetulan sedang ada di luar negeri 
mengemban pelbagai tugas, seperti tugas belajar dan tugas-tugas lainnya 
dari pemerintahan Presiden Sukarno, --- adalah suatu pelanggaran hukum, 
menyalahi UUD RI. Itulah sebabnya a.l mereka-mereka itu menjadi apa yang 
dikenal sekarang, sebagai 'orang-orang yang terhalang pulang'.



Apa yang terjadi adalah pelanggaran hukum serius yang dilakukan oleh 
penguasa ketika itu, yaitu fihak militer di bawah Jendral Suharto. Harus 
selalu diingat dan dicacat, mereka-mereka yang paspornya dicabut, 
kewarganegaraannya direnggutkan, adalah warganegara yang patuh hukum, 
yang setia pada Republik Indonesia, setia pada Presiden Sukarno, yang 
ketika itu adalah kepala pemerintahan dan kepala negara Republik 
Indonesia. Banyak diantaranya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan.



* * *

Dalam wawancaranya dengan korespoenden A. Supardi dari 'Rakyat Merdeka' 
(Den Haag, 20 Sept 2008), pandangan 'administratif' Menhuk Dan Ham Andi 
Mattalata, jelas sekali diuraikan seperti dikutip sebagian di bawah ini sbb:

_A. Supardi: _

*Berdasarkan UU Kewarganegaraan, pencabutan paspor dan sekaligus juga 
kewarganegaraan eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas) dan "orang-orang 
yang terhalang pulang" lainnya adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh 
karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan mereka 
seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang 
pelanggaran HAM tersebut. Pendapat Anda?*

_Mentri Andi Mattalata: _

Undang-undang 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI yang baru ini 
pendekatannya sebenarnya untuk mengakhiri semua masalah-masalah dasar 
kenegaraannya, siapa yang menjadi warganegara. Termasuk mengakhiri 
masalah-masalah kewarganegaraan yang bisa dikaitkan dengan masalah 
politik, dengan orientasi kami ke depan.

Karena itu UU Kewarganegaraan ini lahir hampir bersamaan dengan UU 
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di DPR. Cuma sayang, ketika ke 
Mahkamah Konstitusi, MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 
ini.

Karena itu pada saat UU Kewarganegaraan RI tahun 2006 (yang diberlakukan 
hingga bulan Agustus 2009) dibuat berdasarkan pikiran kita ke depan, 
bukan ke belakang.

_A. Supardi:_ *Alasannya apa?*

_Mentri Andi Mattalata:_

Ya kita mau membangun negeri ini menyamakan dan menyatukan seluruh 
potensi bangsa ke depan. Kalau tentang masalah masa lalu, biarlah hukum 
yang menyelesaikanya.

_A. Supardi:_
*Tetapi persoalannya, mereka itu kan dicabut paspornya. Dalam UU 12/2006 
tentang Kewarganegaraan RI, misalnya menganggap bahwa eks-Mahid dan 
"orang-orang yang terhalang pulang" lainnya itu telah lalai dalam 
melapor ke KBRI setempat lima tahun berturut-turut adalah tidak sesuai 
dengan kenyataan yang sesungguhnya. Penjelasan Anda?*

_Mentri Andi Matalata:_

Ya, setiap problem itu kan ada penyelesaiannya: 1) melalui hukum; 2) 
melalui /management//administrasi. *Yang ditempuh UU 12/2006 ini ialah 
penyelesaian melalui management/administrasi. Demikian a.l.kutipan 
wawancara koresponden A. Supardi dengan Menhuk dan Ham Andi Mattalata. 
(20 Sept d008). Sedemikai yang dikutip dari wawancara tsb. *

** * **

Seperti yang pernah berkali-kali diuraikan di ruangan ini, maupun tukar 
fikiran yang pernah dilakukan dengan fihak KBRI Den Haag menjelang 
kedatangan (sekarang mantan) Mentri Awaluddin Hamid tempohari, sikap 
yang paling tepat dari fihak pemerintah seharusnya, ialah:

1. Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa tindakan pencabutan paspor 
dan dengan sewenang-wenang merenggutkan kewarganegaran orang-orang 
Indonesia yang berlangsung sesudah Peristiwa 1965, adalah suatu 
pelanggaran serius oleh penguasa ketika itu terhadap hukum, UUD-RI dan 
Hak-Hak Azasi Manusia.

2. Secara terbuka pemerintah yang sekarang menyatakan minta maaf kepada 
para korban yang paspornya telah dicabut, serta kewarganegaraanya telah 
direnggutkan, yang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang sah..

3. Pemerintah segera memulihkan serta merehabilitasi hak kewarganegaraan 
dan paspor para korban tsb.

4. Terserah kepada mereka-mereka yang paspornya dicabut, apakah mereka 
yang, disebabkan keterpaksaan telah mengambil kewarganegaran asing, 
bersedia atau tidak secara formal memulihkan kewarganegara Republik 
Indonesia.



* * *




























        


        



        


        



        



        




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke