*Kolom IBRAHIM ISA * *Selasa, 08 September 2009 *
*---------------------------------- * *Seminar 10 Th. TIMOR LESTE Di KITLV * Bersama Cisca Pattipilohy, dua manula ini memberanikan diri menerjang angin kencang dan hujan rintik-rintik. Tambah lagi suhu mulai menurun. Dikuduk terasa silir-silir angin dingin yang melabrak siapa saja yang merintanganinya. Kami memerlukan pergi ke Leiden. Menganggap penting hadir di seminar yang diselenggarakan KITLV bersama Universiteit Leiden dan IIAS. Seperti tertera dalam undangan seminar itu adalah untuk -- ***Commemorate the 10** **^th **^ **anniversary of East Timor s vote on self-determination, 30 August 1999 . **Begitulah seperti diumumkan drs Siegers dari KITLV.** * *Tidak ada maksud berceritera panjang-lebar. Sekadar mengajak pembaca mengikuti yang paling berkesan pada hari Jum'at tanggal 3 September itu. * *Sungguh terasa beruntung sekali, kami memperoleh dua sahabat baru. Kehadirannya bikin suasana Timor Leste lebih terasa. Mereka itu: Dua orang pemuda Timor Leste. Tegap, berseri-seri dan penuh semangat. Langsung datang dari negerinya. Di Belanda, demi melanjutkan studi antropologi di Universitas Tilburg. Sengaja tidak disebutkan nama masing-masing. Soalnya belum runding bahwa nama-nama mereka akan dimunculkan dalam tulisan ini. Yang jelas mereka bukan mahasiswa biasa. Di Timor Leste sana sudah dosen universitas. Mungkin di sini akan menambah studi untuk memperoleh Ph.D.** * ** * *** * *Gerrry van Klinken, pakar di KITLV, moderator sore itu, membuka seminar dengan sekadar penjelasan. Gerry bertindak sebagai moderator. Berikutnya bicara Irene Cristalis** **, seorang jurnalis Belanda. Ia pernah berpangkalan di Hongkong, Beijing, Bangkok, New Delhi dan Timor Timur.** * *Irene membawakan cerita yang telah dituangkannya di dalam bukunya 'EAST TIMOR, A Nation Bitter Dawn' (Reedited and updated June 2009).** * *Di situ diceriterakan terciptanya secara teraumatik negara Asia yang termuda. Timor Timur, yang sedang berjuang untuk membangun kembali negeri sejak Indonesia dengan 'berat' sekali dipaksa mundur dalam tahun 1999. Irene mengisahkan situasi pada hari-hari terakhir pendudukan Indonesia atas Timor Timor. Semua ceriteranya itu didasarkan pada riset bertahun-tahun dan wawancara langsung di lapangan dengan para pemimpin Timor Timur: Para pendeta, biarawati, mahasiswa dan pejuang-pejuang gerilya. Ia juga menunjuk pada kerumitan dalam intern-politik Timor Timur.** * *MENJADIKAN MEREKA ORANG-ORANG INDONESIA. ANAK-ANAK TIMOR YANG DIKIRIM KE INDONESIA.** * *Bicara selanjutnya - seorang sarjana Australia, Helen van Klinken. Ia mengisahkan cerita memilukan. Betapa penguasa Indonesia pada periode pendudukan atas Tim-Tim, berusaha mengubah anak-anak Timor Timur menjadikannya orang-orang Indonesia. Anak-anak itu berasal dari a.l penculikan oleh tentara. Lainnya adalah korban perang agresi dan pendudukan yang dilancarkan Indonesia, terhadap rakyat Timor Timur. * *Alasan perikemanusiaan yang dinyatakan Indonesia mengirimkan anak-anak yatim itu untuk diadopsi oleh keluarga-keluarga Indonesia, tak sesuai dengan kenyataan. Banyak dari anak-anak itu ternyata belakangan dipaksa menjadi semacam budak. Diperas. Sebagian lagi dikirimkan ke pesantren-pesantren Islam. Padahal sebagian besar penduduk Timor Leste, adalah pemeluk agama Katolik.** * ** * *** * *'KOLABORATOR' yang kemudian BERGABUNG DNG PERJUANGAN PERLAWANAN MELAWAN INDONESIA.** * *Paling menarik dan penuh pelajaran, ialah dipertunjukkannya sebuah film dokumenter. Gerry van Klinken menjelaskan sebelumnya bahwa film dokumenter itu berisi wawancara seorang Timor Leste. Ia (tadinya) seorang 'k o l a b o r a t o r' dengan Indonesia. Pada awalnya sang 'kolaborator', percaya pada Indonesia. Percaya pada janji-janji muluk Indonesia. Maka ia mau 'kerjasama' dengan penguasa Indonesia. Melalui pengalaman pahit, dipenjarakan dan disiksa, karena berani menyampaikan surat pengaduan kepada Presiden Suharto, ia berubah. * *Pengaduan itu hakikatnya adalah gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang TNI dan aparat pendudukan RI terhadap rakyat Timor Timur. Juga merupakan gugatan terhadap janji-janji kosong fihak Indonesia terhadap rakyat Timor Timur, yang tak pernah dipenuhi. Juga mengenai kesewenang-wenangan penguasa, 'mengurus' kehidupan ekonomi. Yang hakikatnya adalah manipulasi dan korupsi penguasa* *Karena berani-beraninya sang 'kolaborator' menggugat penguasa Indonesia, ia dipenjarakan, diusung ke Bali, berkali-kali diinterogasi, disiksa, sehingga amat menderita fisik dan mental. Akhirnya ia berfihak pada rakyat yang melakukan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia terhadap Timor dan menentang 'penyatuan' Timor Timur menjadi bagian dari Republik Indonesia.* ** * ** *Dalam kesempatan diskusi, -- kuajukan pertanyaan sbb: Mohon dijelaskan latar belakang penolakan Presiden Ramos Horta terhadap saran Amnesty International untuk mendirikan Pengadilan Internasional Pelanggaran HAM di Timor Timur. * *Tujuan utama stabilisasi, rekonsiliasi, persatuan nasional demi pembangunan ekonomi dan politik negeri, adalah penyebabnya, mengapa saran 'AI' itu ditolak. Namun, alasan utama, ialah politik besar pemerinah Timor Leste untuk tidak 'menganggu' hubungan baik dengan Indonesia. Dijaga betul untuk tidak membikin 'gusar Indonesia'. Politik besar ini sudah demikian ketika Timor Leste di bawah pimpinan Presiden Xanana Gusmao.* *Bisa dimengerti. Terus terang saja. Sampai dewasa ini arus pokok pandangan penguasa, parpol-parpol dan'gusar' dan 'mendongkol' mengapa mayoritas rakyat Timor Timur memilih 'berdiri sendiri' sebagai negara meredeka. 'Lepas dan bebas' dari Indonesia. Tidak sedikit, kalau hendak dikatakan pada pokoknya, pandangan ini masih demikian adanya. Bukankah ini pandangan 'nasionalisme' sempit. Menjurus ke hegemonisme ?* Melengkapi latar belakang politik TimorTimur, khususnya sehubungan dengan masalah rekonsiliasi nasional dan saling hubungannya dengan hubungan Timor-Lester dengan Indonesia, dicuplik di bawah ini tulisan Ibrahim Isa, dalam kolomnya tertanggal 01 Desember 2005. Antara lain, sbb:: *TIMOR TIMUR, HAM & politik "Hubungan baiknya" dengan **INDONESIA** * . . . . . . . . . . . Menurut berita AP, Presiden Timor Lorosae, Xanana Gusmao, telah menyisihkan sebuah laporan komisi mengenai pelanggaran hak-hak azasi manusia (ketika Timor Timur) berada di bawah kekuasaan Indonesia. Xanana Gusmao menganggap bahwa 'rekonsiliasi' dengan Indonesia lebih penting ketimbang keadilan bagi para korban yang telah jatuh selama 24 tahun Timur Timor berada di bawah pendudukan Indonesia. Xanana Gusmao juga tidak mau mengambil oper saran-saran komisi untuk ganti-rugi yang harus dibayar oleh negeri-negeri, yang pada tahun-tahun itu telah menyokong Indonesia, seperti Amerika Serikat. Padahal Komisi Untuk Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah badan yang dibentuk oleh administrasi interim-PBB. Jelas, laporah tsb terdiri dari 2500 halaman berisi kritik-kritik keras sekali terhadap Indonesia. Di sini bisa dilihat bagaimana sebuah negeri kecil yang terjerembab dalam posisi yang sangat tidak mudah, karena terpaksa berbaikan dengan tetangganya; yang jauh lebih besar dan yang angkara murka, seperti rezim Orba Indonesia. Tambahan lagi rezim angkara murka tsb didukung oleh Barat. Meskipun negeri kecil, --- namun kasus Timor Timur, selama lebih dari 20 tahun, menjadi sorotan media dunia, dan menjadi agenda penting kegiatan banyak NGO yang berkepedulian dengan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan pemberlakukan HAM di mancanegara. Timor Timur menjadi salah satu pusat perhatian media dunia, karena negeri kecil yang rakyatnya mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975, dengan pelbagai dalih telah diagresi oleh rezim Orba Indonesia dibawah Jendral Suharto, diduduki dan kemudian dianeksasi. Agresi, pendudukan dan aneksasi yang dilakukan Orba Indonesia telah menimbulkan ratusan ribu korban di fihak rakyat Timor Timur (menurut taksiran internasional jumlah korban di fihak rakyat Timor Timur berkisar di sekitar angka 200.000), dan juga ribuan prajurit TNI menemui ajalnya di bumi Timor Timur. Para prajuti TNI itu dindoktrinasi bahwa mereka berkorban demi kepentingan bangsa Indonesia. Padahal jelas itu agresi, pendudukan dan aneksasi dengan kekerasan. Yang mengenaskan ialah sikap sementara elite politisi Orba yang ikut-ikutan secara absurd menganggap dan melakukan kampanye bahwa Timor Timur adalah bagian dari Republik Indonesia. Argumentasi mereka juga sepenuhnya atas dasar rekayasa. Mereka mimpi bahwa adalah rakyat Timor Timur sendiri yang berhasrat untuk bergabung dengan Indonesia. Tidak jelas apakah sikap para elite Orba itu untuk mencari muka pada presiden Suharto ketika itu, ataukah memang ideologi 'nasionalisme-sempit' mereka sudah begitu merosotnya, sehingga menganggap agresi, pendudukan militer dan aneksasi sebagai tindakan yang 'halal' demi 'kebesaran' Indonesia. Sudah tidak ada lagi bau-baunya nasionalisme yang sehat, nasionalisme yang patriotik dan adil. Sudah demikian merosotnya sikap dan pendirian chauvinis sementara elite, politisi, media dan cencekiawan Orba tsb, sehingga tidak bisa membedakan lagi tindakan begaimana yang merupakan agresi, dan mana yang merupakan penggabungan wilayah dua negeri, yang benar-benar didasarkan atas kehendak rakyatnya masing-masing. Rezim Orba, TNI telah melakukan pelanggaran HAM luar biasa di Timor Timur. Dunia internasional mengutuknya, dan pengadilan mengenai pelanggaran HAM di Timor Timur oleh Orba/tentara, khususnya pada periode "referendum" juga diadakan. Entah bagaimana hasilnya dan follow-upnya sedikit diketahui umum. Agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia, jelas disokong oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat dan Australia. Meskipun apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur sejak 1975 itu melanggar hukum internasional, melanggar prinsip-prinsip PBB, namun, tokh disokong sepenuhnya oleh fihak Barat, karena itu adalah demi kepentingan 'strategi Perang Dingin' mereka. Gembar gembor mereka mengenai keuniversilan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri yang ada di bawah kekuasaan atau pengaruh Uni Sovyet ketika itu, adalah suatu omong kosong besar dan munafik. Bila itu menyangkut Tibet yang ada di bawah RRT atau negeri-negeri Baltik yang ada di bawah kekuasaaan Sovyet ketika itu, maka mereka menabuh genderang meneriakkan keharusan dilaksanakannya prinsip PBB 'hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri' . Tapi begitu terlibat kasus Timor Timur dimana lebih diutamakan kepentingan strategi 'perang dingin' mereka, maka segala prinsip hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, dibuang di keranjang sampah. Rezim Orba yang melakukan pelanggaran tsb malah disokong, secara ekonomi,finansil, politik dan militer. Berkali-kali kita menyaksikan betapa fihak Barat dan yang sefaham dengan sikap Barat tsb, mentrapkan sikap 'double standard' bila itu menyangkut HAM. 'Double standard' dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM ini masih berlaku terus sampai dewasa ini, baik secara internasional, maupun di Indonesia. Sekarangpun kiranya mereka akan membisu juga menghadapi kenyataan bahwa laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk adminstrasi-interim PBB di Timor Timur, begitu saja dimasukkan ke dalam laci. Situasinya serba sulit bagi Presiden Timor Timur Xanana Gusmao. Sebagai negeri kecil yang menghadapi begitu banyak masalah pasca-kemerdekaan, mengatasi pengangguran, pendidikan, kesehatan dan perumahan rakyat, -- yang menyangkut masalah nasional pembangunan ekonomi dan keamanan, memang memerlukan situasi yang 'stabil' dalam hubungannya dengan Indonesia. Suatu Indonesia, yang sudah tidak lagi dipimpin oleh Jendral Suharto, sudah mengalami masa reformasi dan demokratisasi tertentu, namun, masih menganggap bahwa tindakan-tindakan kekerasan militer fihak Orba Indonesia, sebagai akibat dari agresi, pendudukan dan aneksasi terhadap Timor Timur, -- adalah sebagai suatu tindakan yang demi mempertahankan 'kebesaran' Indonesia. Mereka masih menganggap bahwa referendum di Timor Timur di bawah naungan internasional/PBB, yang hasilya adalah 'lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia, sebagai suatu 'kerugian' bagi Republik Indonesia. Mereka-mereka itu, para pendukung dan penyangga Orba masih belum mawas diri. Kantor Berita Associatied Press juga menulis bahwa Timor Timur hampir tidak memiliki kekayaan alam sebagai sumber tambahan, dan tercatat sebagai negeri yang paling miskin di Asia. Itulah sebabnya maka Timor Timur masih berat tergantung dari Indonesia, partnernya dalam perdagangan. Itu pulalah sebabnya Presiden Gusmao tidak mau bikin marah Indonesia dengan permintaan gantirugi bagi korban-korban dan keluarga mereka dan peringatan ke alamat Jakarta agar orang-orang militer Indonesia yang bersalah diberikan hukum yang setimpal. Analisis AP tsb punya dasar. Tentu sebab musabab utama mengapa Presiden Gusmao sampai mengambil sikap demikian itu, ialah, karena ia menyadari betul bahwa di Indonesia militer masih punya suara menentukan, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut masalah nasional, apalagi yang bersangkutan dengan masalah keamanan. Sikap Presiden Xanana Gusmao yang menganggap lebih penting punya hubungan 'tetangga baik' dengan RI, ketimbang memperjuangkan keadilan bagi para korban yang jatuh akibat Orba Indonesia, dengan sendirinya -- bisa difahami. Meskipun situasi politik di Indonesia sudah mengalami perubahan sejak jatuhnya Suharto, dan kini presidennya adalah hasil pilihan langsung rakyat, namun, ---- pandangan politik luarnegerinya, khusus menghadapi masalah Timor Timur, hakikatnya masih sama. * * * ------------------------------------------------------------------------ [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com mailto:wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/